Kamis malam ini, Vellice tidak tidur sama sekali. Yang dilakukan gadis itu hanyalah menatap kosong ke arah langit. Ia duduk di balkon kamar. Matanya menatap hamparan langit luas. Tidak ada rasa kantuk sedikitpun. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana jika ia keluar dari dunia ini.
Vellice memang ingin sekali kembali ke dunia asalnya. Banyak sahabat di sana. Keluarga ataupun kakak tingkat yang ia sukai.Namun, sekali lagi ia berpikir. Apa dirinya benar-benar ingin kembali? Kenapa ada yang aneh dari hatinya ketika berpikir akan terbangun di dunia asal.
Saat sedang melamun, alarm handphone berbunyi. Gadis itu segera mematikannya, takut membangunkan Anna.Vellice menatap jam yang sudah menunjukkan pukul 00.01. Gadis itu tersenyum sendu. Matanya mulai menutup, menikmati keheningan dalam kegelapan yang menyelimuti.
Lama sekali gadis itu berada di posisinya. Kemudian, Vellice mengambil buku kecil berwarna hitam yang ada di samping. Masih ingat buku milik Arlan yang ia temukan?
Dibukanya kembali lembaran-lembaran di sana. Dari setiap lembar, selalu ada namanya. Vellice tersenyum. Hatinya kembali terasa sesak. Matanya mulai berlinang. Arlan selalu menuliskan semua yang cowok itu lakukan saat bersama Vellice. Arlan benar-benar takut melupakannya.
Bahkan, kejadian saat di UKS pun diabadikan. Cowok itu ternyata mengingatnya. Mengingat saat ia membawa Vellice ke UKS. Lalu, saat kembali dari kantin, yang ia temukan hanyalah Anna. Ya, hanya sampai sana. Baik cowok itu maupun yang lain melupakan adegan dimana kepala mereka terasa sakit sehingga hidung mengeluarkan darah. Akibat dari tingkah laku Vellice yang mencoba mengubah cerita.
Gadis itu membuka lembaran kosong yang ada di antara banyaknya kertas, bukan bagian belakang. Vellice menuliskan goresan kata tentang dirinya.
Suatu saat nanti, jika sifatku berubah, ingatlah! Itu bukan diriku. Itu ... Vellice yang dari dulu kamu kenal.
Gadis itu meneteskan air mata. Ah, malam ini dirinya begitu sensitif.
Vellice berbaring di lantai yang dingin. Bertambah dingin karena angin malam mulai berembus menerpa tubuhnya. Belum lagi AC kamar yang tidak dimatikan. Hawanya terasa sampai keluar.
Vellice seperti ingin menyiksa diri agar sadar kalau tidak seharusnya ada di sini. Ini bukan dunianya. Ini bukan tempatnya. Pasti, suatu saat nanti dirinya akan menghilang dari tempat ini.
Hah! Sebelum benar-benar terlelap, sebuah pikiran melintas di kepalanya. Apakah mereka semua ingat ini hari ulang tahunnya? Apa yang mereka lakukan sekarang? Biasanya, saat hari ulang tahun, mereka akan menginap 2 hari di apartmennya. Teman-teman yang begitu menyenangkan dan juga... banyak.
***
Sial sekali pagi ini. Vellice sepertinya terkena flu. Sejak bangun tadi, ia bersin-bersin. Hidungnya terasa sangat gatal. Sering kali gadis itu menjepit hidung.
Arlan dating. Cowok itu menghampiri dirinya yang baru saja sampai di anak tangga.
"Ciye enggak lupa," ejek Vellice dengan suara bindeng.
"Enggaklah. Seisi kamar aku isinya foto kamu semua.” Arlan menyengir lebar. Cowok itu mengambil alih tas Vellice begitu sang gadis tiba di anak tangga terakhir.
"Suara kamu, kok, aneh? Hidung kamu juga merah. Kamu sakit? Flu? Demam? Pusing? Mual?"cerocos Arlan. Tangannya menyentuh dahi Vellice.
Vellice bersin tepat di hadapan Arlan. Gadis itu refleks menunduk. Hidungnya menempel di bahu Arlan. Gadis itu kucing karena menggesek-gesekkan hidung di bahu Arlan.
"Kamu kucing beneran, ya? Mana ada manusia bersin suaranya imut gitu?" tanya Arlan sambil tertawa.
Suara bersin Vellice kecil. Memang terdengar lucu.Apakah kalian dapat mendengarnya?
"Kamu kenapa, sih? Ada masalah? Tumben meluk-meluk."Meski senang dengan perlakuan Vellice pagi ini, Arlan tetap heran karena tingkahnya sedikit berbeda dari kemarin-kemarin.
"Kepala gue berat, Lan. Jangan ngoceh terus, deh. Kayak beo lo!"kesal gadis itu. Sudah bersin-bersin, kepalanya juga terasa berat.
Arlan menyingkirkan kepala Vellice dari bahu lalu mengecek suhu gadis itu.
"Enggak panas."
"Ya, terus kalauenggak panas enggak boleh pusing?"
"Ya, udah. Naik lagi!" perintah Arlan. Cowok itu membalikkan tubuh Vellice dan mendorongnya agar kembali naik ke kamar.
"Hari ini ada ulangan, Lan! Ini strategi lo biar gue kalah taruhan, ya?" seru Vellice.
"Kamu, tuh, katanya sakit. Kok, teriak-teriak? Udah, deh! Kalau emang pinter, mau bolos tiap hari tetep aja pinter."
Begitu sampai kamar, Arlan menarik tangan Vellice agar duduk di sisi kasur. Cowok itu membuka lemari pakaian Vellice.
"Heh! Enggak sopan!"Vellice berseru.
"Kan,enggak ada pakaian dalam kamu. Pakaian dalam kamu, kan, di laci bawah," sahut Arlan santai sambil menunjuk sebuah laci yang terhubung dengan lemari pakaian itu.
"Tahu dari mana?" Vellice melempar bantal ke cowok itu.
"Kamu enggak nyadar? Di sini ada pakaian aku juga."Cowok itu menyeringai sambil mengambil gantungan baju.
"Jadi, baju-baju baru itu punya lo? Pantesan gue inget-inget enggak pernah beli baju, tapi ada baju baru. Mana ada celana juga.”
"Ya, kan, kayaknya aku bakal sering nginep di sini."Arlan tersenyum lebar.
"Enggak punya rumah apa lo?"
"Enggak. Kan, gue tinggal sendiri di apartemen."Arlan mencebik kali ini. "Ini ganti baju dulu sana. Gue ganti di sini."Arlan melempar baju dan celana panjang ke Vellice.
Gadis itu langsung masuk ke kamar mandi. Ketika keluar, ia lihat Arlan sedang memainkan handphone di atas kasur. Seketika, pandangan Vellice tertuju ke arah buku kecil milik Arlan yang tergeletak di atas meja. Sial! Ia panik. Sepertinya, Arlan belum melihat buku itu. Kalau sudah, pasti Arlan akan langsung menyerbu dengan berbagai pertanyaan.
Vellice berjalan dengan tenang hingga duduk tepat di samping Arlan. Usahanya berhasil untuk menghalangi pandangan cowok itu dari posisi buku.
Arlan terlihat sedang menelepon seseorang. Cowok itu memberi banyak sekali perintah ke orang di seberang panggilan. Sampai-sampai cowok itu menyuruh Vellice untuk diam. Sementara Vellice perlahan balik badan tanpa mengubah posisi. Ia segera memasukkan buku itu ke dalam laci meja. Lalu Vellice duduk di samping Arlan sambil bersandar ke dinding di belakang.
Ingin tiduran, tapi hidung akan semakin tersumbat. Kepala juga akan bertambah berat.
Dengan kode matanya, gadis itu bertanya siapa yang Arlan hubungi.
Arlan menunjukkan handphone. Ternyata Atta.
Rapat OSIS. Begitu gerakan bibir Arlan yang terbaca Vellice.
Gadis itu manggut-manggut mengerti. Tiba-tiba, ide jahil melintas di kepalanya. Vellice berdiri sedikit menjauh dari kasur, menghindari serangan Arlan, juga agar suaranya tidak terdengar dekat.
"Sayang! Celana kamu dipake duluu!" teriak Vellice.
Atta yang sedang menyalakan loud speaker di handphone agar semua mendengar, tiba-tiba terkejut. Semua orang yang ada di sekeliling meja menatap handphone di tengah-tengah mereka dengan ekspresi syok ketika mendengar teriakan di seberang panggilan. Lebih syok lagi saat suara gedebukan menyusul bersahutan.
Arlan memutus sambungan. Saat itulah Vellice terbahak. Gadis itu terpingkal-pingkal di lantai.
"Ketawa aja terus! Seneng banget ngerjain orang!"sungut Arlan sambil menarik gadis itu agar berdiri. "Jangan duduk di lantai, ah!"Arlan mendudukkan gadis itu di sisi kasur.
Vellice masi terbahak mengingat ide jailnya. Astaga! Bagaimana ekspresi anak-anak OSIS di sana, ya?
"Aku buatin makanan dulu."Arlan hendak beranjak dari kamar Vellice.
"Mi telor, ya! Yang pedes!"
"Enggak usah pedes."Cowok itu bergegas dari kamar Vellice.
Vellice bebaring di atas kasur sambil berpikir apa yang akan ia lakukan hari ini. Apakah boleh ia memonopoli Arlan seharian? Gadis itu mulai merencanakan berbagai hal apa saja yang akan ia lakukan bersama Arlan.
"O, ya. Kayaknya Vellice punya playstasion, deh."Gadis itu mengingat-ingat seisi rumah Vellice dari buku yang ia baca. Bukannya menjelajahi langsung, dirinya lebih memilih berbaring di atas kasur dan berpikir apa saja yang ada di rumah ini.
"Apa ajak maen petak umpet aja, ya? Mainan SOS? Apa bikin origami? Bentar, kayaknya gue pernah liat dakon di gudang."
Ketika sedang asyik melamun, Arlan masuk membawa nampan.
"Makan dulu."
Tanpa basa-basi, Vellice segera memakannya dengan lahap. Tidak ada alasan baginya untuk menolak Ind*mie yang rasanya paling enak dibandingkan mi instan apapun.
"Habis ini kutinggal, ya."
Tanpa sadar Vellice menjatuhkan sendok.
"Ah! Ish, lo sih, Lan! Bikin kaget aja tiba-tiba ngomong."Vellice berusaha menenangkan hati.
"Aku ngomongnya enggak teriak, kok. Biasa aja." Arlan membela diri.
"Ya, harusnya lo permisi dulu kalau mau ngomong!" kesal Vellice. Bukan karena suara cowok itu yang mengagetkan, tapi entah mengapa ia merasa kesal ketika tahu Arlan tidak akan menemaninya. Ya, benar juga. Untuk apa Arlan menemaninya?
"Aku harus ke sekolah. Tadi dapet info, Pak Imawan marah-marah gara-gara aku enggak bisa ngasih laporan hari ini."
"Hmm. Ya, udah sana pergi!" cuek Vellice.
"Aku kayaknya bakal lama banget."Cowok itu berharap Vellice sedikit menahannya. Walaupun kenyataannya dia tetap tidak bisa tinggal. Yang kena marah bukan hanya dirinya, seluruh anggota OSIS pun akan kena marah.
"Hmm."Gadis itu berusaha fokus dengan minya.
Arlan menunggu Vellice hingga menghabiskan makanan. Vellice pun tahu hal itu. Jadi, dirinya memelankan kunyahan agar lebih lama.
"Aku baru nyadar kalau makanmu lama, ya?"Arlan bertanya sinis, tapi tangannya mengelus kepala Vellice. Setelah Arlan mengatakan itu, Vellice langsung mempercepatnya. Sangat cepat.
"Hei, hei! Jangan cepet-cepet. Aku enggak maksud apa-apa, kok, Lice!"Arlan berseru kesal karena tidak ditanggapi gadis itu.
Vellice segera meminum air putih setelah selesai makan. Ia memberikan piring kosong dan gelas ke arah Arlan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kamu ngambek?" tanya Arlan berusaha melihat mata Vellice. Namun, gadis itu selalu menghindar."Lice, maaf, ya. Beneran tadi aku cuma refleks ngomong gitu. Kamu makan dua jam pun, aku tungguin. Jangan marah, ya?”
"Siapa juga yang marah? Turun sana! Ambilin minum segelas kalau naik lagi!" perintah Vellice.
Arlan menghela napas pelan. Cowok itu merasa serba salah. Siapa juga yang mau meninggalkan Vellice dalam keadaan seperti ini? Namun, kalau ia tidak ke sekolah sekarang, belasan orang akan kena imbas. Benar-benar serba salah.
Begitu Arlan keluar, Vellice menggigit bibir kuat-kuat. Tidak, tentu saja ia tidak akan menangis. Arlan masih di rumah ini. Namun, lagi-lagi ia berpikir. Sejak kapan ia sesensitif ini? Ah, mungkin ini gara-gara hari ulang tahunnya.
Begitu mendengar langkah menaiki tangga, Vellice dengan cepat menata ekspresi.
"Aku taruh di sini, ya, minumannya. Kamu beneran enggak apa-apa aku tinggal?" tanya Arlan.
"Hmm.” Gadis itu akhirnya memilih berkutat dengan ponsel untuk menghindari tatapan Arlan.
"Aku usahain cepet, deh."
"Hmm."
"Aku pergi, ya?"
"Hmm."
"Telepon aku kalau ada apa-apa."
"Hmm."
"Dah!"Cowok itu bergegas memenuhi panggilan pembina OSIS. Sengaja tidak berganti dengan seragam karena memang berniat hanya sebentar.
Begitu mendengar mobil menjauh, Vellice langsung berlari ke arah kamar mandi. Gadis itu memuntahkan isi perut. Ah, sepertinya ia mengalami masuk angin.
Vellice menghela napas pelan seraya memegang wastafel. Setelah mencuci mulut, ia segera kembali ke kasur. Gadis itu seketika menjadi sangat tidak bersemangat. Pada akhirnya, Vellice hanya tidur setelah menyetel alarm untuk pukul 3 sore.
***