webnovel

Bab. 25 The Marquess Liere Castle (II)

Ana melihat dirinya sendiri di depan cermin dengan putus asa. Seorang pelayan yang sebelumnya keluar mengambil perhiasan sudah kembali dan ikut menyerbunya. Dalam waktu singkat ia sudah berteriak karena korset yang kencang. Ia tidak menyukainya gaun yang berlapis meskipun indah. Baju sederhana dengan model yang biasa lebih disukainya walaupun harganya murah. Ana terdiam dan membiarkan mereka meriasnya. Rosseta mengambil rambut di tepian kanan dan kiri wajahnya kemudian menariknya ke belakang. Disematkannya pita biru bercahaya menghiasi kepalanya. Di lehernya melingkar kalung dengan liontin blue sapphire yang terlihat bercahaya. Rosseta tersenyum puas dan memintanya berputar. Ana memutar tubuhnya dengan enggan dan perlahan.

"Sempurna," serunya bangga akan hasil karyanya mendandani Ana.

Ana terlihat cantik seperti putri dari kalangan atas. Rambut gelapnya yang lurus dibuat bergelombang, matanya yang hijau terlihat cerah, bibirnya yang merah menambah aura kecantikannya terlihat. Ia berdiri memakai gaun biru dengan hiasan butiran bercahaya di bagian bawah roknya. Lipatan renda kecil sedikit terlihat di bagian bawah gaunnya. Kedua pelayanan yang ikut mendandaninya mulutnya terkagum.

"Kau terlihat sangat cantik, Ana."

Ana hanya nyengir menatap mereka.

Rosseta memutarkan tubuh Ana supaya menghadap kaca. Ana terdiam sesaat melihat wajahnya sendiri di cermin. Alisnya berkerut. Ia seperti melihat Jenice menatapnya dari balik cermin. Meskipun Jenice lebih cantik dari pada dirinya, tetapi kemiripan wajah dengan kakak perempuannya memang terlihat. Kakak perempuan yang suka berdandan dan memakai gaun yang indah. Kakak perempuan yang suka membuat gerakan genit untuk menggoda para pemuda di kotanya. Kakak perempuan yang menyebalkan tetapi menyayanginya. Mata Ana terpejam sebentar mengingat Jenice. Ia menghela napas dan membuka matanya perlahan.

"Apa sudah selesai?"

"Tentu saja belum, lihat sepatumu."

Rosseta menunjuk kaki Ana yang masih menggunakan sepatu boot. Ana memandang sepatunya.

"Ini membuatku nyaman," protesnya menurunkan gaunnya sehingga menutupi kakinya dan sepatunya bootnya tidak terlihat.

Rosseta menggelengkan kepala. "Tidak bisa, aku sudah menyiapkan sepatunya."

Ia mengambil sepatu di dalam kotak perhiasan yang telah disiapkan sebelumnya dan meletakan di depan kaki Ana. Ana memandang sepatu berhak tinggi itu dengan enggan.

[Oke, aku bisa melepas sepatunya nanti,] pikirnya.

"Puas?" sindir Ana jengkel sambil mengenakan sepatu itu.

"Sangat sempurna, mari aku antar ke ruangan Tuan Marquess."

Rosseta tersenyum dengan lembut. Ana berjalan berhati-hati mengikuti Rosseta dari belakang. Mereka berdua kembali melewati koridor kastil. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang Lorong. Ana berjalan sambil menengok ke jendela yang berada di sepanjang koridor. Terlihat bulan purnama yang besar di belakang patung Putri Imelda terlihat. Malam telah menjelang. Ternyata cukup lama waktu yang dihabiskan untuk merias dirinya.

Tak lama berselang, mereka sampai di sebuah pintu besar yang menjulang tinggi dengan dipenuhi oleh pahatan kayu berbentuk kuda. Pintu itu berderit saat Rosseta membukanya. Sang Marquess Liere yang tengah berdiri menatap bulan purnama dari jendela berpaling. Tubuhnya tegap dengan wajah tua yang masih terlihat gagah menatap ke arah mereka. Ia tidak menggunakan baju besi, melainkan hanya baju atasan putih dan celana panjang yang kasual.

"Tuan, Nona sudah siap," ujar Rosseta menghormat padanya.

Marquess Liere hanya mengibaskan tangannya menandakan wanita itu boleh pergi. Rosseta memberi hormat sambil mengundurkan diri. Ana melihat wanita itu pergi meninggalkannya. Ia kembali menatap sekelilingnya dengan waspada. Hanya ada Marquess Liere di depannya. Tidak terlihat orang lain di ruangan itu. Ana membungkukan tubuhnya memberi hormat padanya sebentar. Sang Marquess menatap Ana kemudian tersenyum. Ia berjalan menghampiri meja panjang yang ada di ruangan itu dan duduk.

"Duduklah," ujarnya singkat.

Ana berjalan menghampiri meja itu. Ruangan itu merupakan ruang jamuan makan dengan meja panjang yang penuh dengan kue, buah-buahan dan berbagai bentuk makanan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Lampu gantung melingkat di atap menerangi ruangan itu. Ana dapat melihat dengan jelas berbagai makanan di meja dan perutnya terasa lapar.

"Makanlah," kata Marquess Liere mempersilahkannya makan.

"Terima kasih, Tuan."

Ana segera duduk dan mengambil makanan di meja. Di depannya terlihat berbagai macam sendok, garpu, dan pisau dengan berbagai macam ukuran. Meskipun ia kurang mengetahui perbedaan fungsi dari berbagai ukuran itu, tetapi diambilnya dengan pisau dan garpu yang paling terdekat denganya dengan ukuran yang sesuai dengannya.

"Ah, bagaimana lukamu?"

"Sudah baik-baik saja, Tuan. Hanya luka kecil. Rosseta sudah mengobatiku."

Sang Marquess mengangguk-angguk sambil mengiris daging di depannya. Matanya kembali menatap Ana.

"Siapa namamu?"

Sesudah selesai mengunyah potongan daging di mulutnya, Ana menjawab, "Anasthasia Meyer, Tuan."

"Nama yang bagus."

Ana tersenyum dan kembali menikmati makannya. Wajah tegang Ana berangsur-angsur berganti dengan wajah yang terlihat menikmati makanan. Wajahnya memerah merasakan jamuan mewah untuk pertama kalinya. Marquess yang melihat perubahan di wajah Ana tersenyum samar.

"Apakah enak?"

"Tentu saja, Tuan. Ini pertama kalinya aku memakan makanan seperti ini."

"Dari mana asalmu?"

"Wayshire."

"Wayshire? Kota yang terjadi penyerangan?" tanya Marquess menaikan alis matanya. "Ku dengar gerombolan perampok membakar kota dan hewan buas mereka membunuh orang-orang kota." Raut wajah sang Marquess berubah prihatin.

Ana menghentikan makannya. Perampok? hewan buas? berita tentang penyerangan Kota Wayshire simpang siur antara berita yang benar dan yang tidak benar. Orang-orang yang mengetahui kejadiannya secara langsung atau mendengar dari orang yang dipercayai tentu akan mempercayai bahwa penyerangan itu oleh monster. Orang-orang yang tidak percaya lebih memilih berita yang masuk akal seperti perampok dan hewan buas. Memang tak bisa disanggah, ia sendiri bahkan masih belum percaya yang dialaminya di Wayshire.

"Mengerikan sekali, kau pasti sangat takut. Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

Ana menggelengkan kepalanya.

"Hanya lewat saja, Tuan, aku berencana ke ibu kota."

"Ah, sayang sekali," gumamnya muram, "Sekarang sudah larut, menginaplah malam ini."

Sang Marquess meletakan garpunya di meja. Menandakan makan malamnya sudah selesai.

"Mari kita berjumpa kembali besok," ucapnya santai kemudian berdiri dari kursinya. "Nikmatilah makanannya," lanjutnya keluar dari ruangan itu.

Ana memandang tubuh Marquess yang keluar dari pintu kemudian melihat ke sekelilingnya. Keheningan menyelimuti ruangan itu.

[Sebenarnya apa maksud Marquess Liere, dia tidak punya niat yang buruk kan?"]

Rasa penasaran muncul di hatinya. Sebenarnya tidak ada alasan menolak undangan Marquess. Ia dapat bermalam di kasur yang nyaman dan empuk, tetapi tidak ada salahnya tetap waspada karena ia tidak mengetahui maksud Marquess mengundangnya. Ana segera menghabiskan makannya dan mengambil buah apel yang ada di meja kemudian keluar dari ruangan itu.

Matanya melihat koridor yang sepi di depannya. Kakinya melangkah menelusuri lorong itu. Lentera yang terpasang di dinding berbatu membuat koridor itu tampak jelas meskipun terkesan sedikit menakutkan. Ana berusaha mengingat kembali jalan menuju ruangannya, ia berbelok ke kiri. Terlihat dari arah berlawanan sosok pemuda berjalan menghampirinya.

"Kau sudah selesai makan malam dengan Tuan?"

Pemuda itu mendekat. Pengawal Ernan menyapanya. Ana mengangguk dan berjalan melewatinya. "Kau mau kemana?"

"Kembali ke kamar," jawab Ana acuh tak acuh.

"Kau mengambil jalan yang salah. Mari aku antarkan ke ruanganmu."

Ana menghentikan langkahnya dan berpaling. Ia menatap wajah Ernan. Wajah Ernan terlihat di antara sinar cahaya lentera yang berada di sampingnya. Ana tersenyum.

"Terima kasih, Tuan."

"Kau bisa memanggilku Ernan," sahutnya sambil menunjukan jalan bagi Ana. Ana hanya tersenyum. Meskipun hanya terpaut beberapa tahun diatasnya tetapi pemuda itu memiliki pangkat yang tinggi dan ia tidak merasa akrab dengan langsung memanggil namanya. Mereka berjalan menelusuri koridor yang menuju kamar Ana. Ana memecah keheningan diantara mereka.

"Ku dengar Tuan Marquess sangat menyayangi putrinya. Aku bahkan sampai ke bukit untuk melihat patung yang dibuat untuknya. Apa aku bisa bertemu dengannya?"

Ernan menghentikan langkahnya dan berpaling. Matanya menatap Ana dengan tajam.

"Dia sudah meninggal."

Ana membuka matanya terkejut. "Apa?"