Mereka berdiri di depan pintu kamar Ana. Ernan menatap penampilan Ana dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Rambut hitam bergelombang, mata hijau besar, baju dan perhiasan yang digunakannya. Sebuah senyuman miris terlihat sekilas di wajah Ernan sebelum raut wajahnya kembali seperti sedia kala.
"Cih. Pantas saja tuan memintamu datang," gumamnya lirih. Sangat pelan sehingga Ana tidak mendengarnya perkataannya. Ernan membuang napas.
"Putri Imelda sudah meninggal saat ia masih muda."
"Oh!"
Ana membuka mulutnya dan menutupnya dengan kedua tangannya. Ia segera mengucapkan kata maaf. Ernan hanya menggelangkan kepalanya sambil tersenyum samar.
"Sudah sampai, selamat beristirahat," ujar Ernan mengangguk sopan kemudian pergi dari tempat itu.
"Selamat beristirahat Tuan Ernan," sahut Ana. Pandangan matanya mengikuti sosok Ernan yang pergi menjauh. Ia berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Ruangan yang luas dan cahaya remang-remang menyelimuti kamarnya. Tirai jendela yang masih terbuka menampakkan bulan purnama yang besar. Ia segera menutup tirainya. Kakinya melangkah ke arah almari baju yang berada di ruangan itu dan membukanya. Almari baju yang tadinya kosong saat ini telah terisi penuh. Ia berpaling melihat wajahnya di cermin kemudian melepaskan kalung dan antingnya di meja. Gaun tidur yang nyaman dipakainya. Ia menghela napas lega. Akhirnya, ia terlepas dari baju berlapis yang berat dan tidak nyaman.
Tiba-tiba terdengar suara lolongan manusia yang menyayat hati, Ia terlonjak kaget. Bulu kuduknya meremang. Segera dicarinya tas kecil yang berisi belati kecil itu dan kemudian memasukan di bawah bantalnya. Ia pun berusaha memejamkan matanya.
Arlen merasakan suatu gelombang kekuatan muncul. Perasaan waspada dan tanda bahaya muncul di hatinya, ditambah, ia melihat Nazriel berwujud burung elang melintas di atas langit. Terbang mengarah ke suatu tempat. Segera diakhiri perjumpaannya dengan Ana. Sebenarnya, ia masih ingin berbincang dan mengetahui tujuan Ana mencari buku sihir. Namun, saat itu keadaan sangat tidak memungkinkan.
"Oke, aku akan menemuimu nanti," ujarnya dengan tergesa-gesa pergi dari tempat itu. Tak dihiraukannya seruan Ana untuk menunggunya.
Arlen berlari menuju gang kecil dan berteleportasi. Saat Ana sudah sampai di gang itu, sinar teleportasi Arlen sudah menghilang. Lingkaran sinar berwarna keemasan muncul di suatu tempat di lokasi gang yang sepi. Dalam sekejap Arlen tiba di sebuah gang kecil. Tak beberapa lama kemudian seekor burung elang yang melintas di langit hinggap di tanah dan berubah menjadi Nazriel. Bawahan setianya menunduk memberikan hormat padanya. Arlen mengangguk. Mereka berjalan keluar dari gang kecil itu.
"Kau merasakan itu?" tanya Arlen pada bawahannya.
Nazriel mengangguk. Mereka berdiri di tepi luar gang sambil melihat ke samping kiri di seberang jalan. Sebuah bangunan penginapan yang cukup sederhana terlihat. Bangunan itu menggunakan batu bata dan bercampur batu berwarna hitam. Tumbuhan menjalar memenuhi samping penginapan. Penginapan itu terlihat ramai pengunjung. Arlen memberikan isyarat pada Nazriel melalui pandangan matanya yang menatap lurus ke arah penginapan.
"Aku merasakan kekuatan sihir, meskipun samar, berasal dari penginapan itu."
"Aku juga merasakannya, Yang Mulia. Apa mereka ada di sini?"
Arlen mengerutkan alisnya merasa tidak nyaman.
"Jika mereka ada di sini, mereka pasti mengincar sesuatu."
"Apa kita harus mengirim sinyal ke Magic Tower, Yang Mulia?"
"Jangan," sanggah Arlen. "Kita harus memastikan dulu kekuatan itu berasal dari sihir hitam atau bukan. Kita juga harus tahu tujuan mereka di kota ini," lanjut Arlen dengan pasti.
"Baiklah, Yang Mulia." Nazriel menuruti perintah Arlen.
"Satu hal yang pasti, jika mereka ada di sini pasti akan terjadi sesuatu."
Arlen mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang pernah dilihatnya bersama dengan Ana. Wanita yang mengenakan ikat kepala itu terlihat sedang bercakap-cakap dengan seseorang berjubah unggu tak jauh dari penginapan. Orang berjubah unggu mengangguk ke arah wanita itu kemudian mereka berpisah. Mata Arlen mengikuti wanita itu masuk ke dalam penginapan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu kemudian ia menatap papan nama dari penginapan itu.
"Penginapan Someday?" monolognya sendiri sambil nyengir.
Penginapan tempat Ana menginap. Alisnya berkerut dan ia mendengus kesal.
"Apa kita akan masuk ke dalam sekarang?"
"Tidak. Kemunculan kita hanya akan membuat alarm bagi mereka. Kita amati saja sekarang."
Arlen menggelengkan kepalanya. Wajah jengkel Arlen perlahan-lahan berubah. Senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia bisa beralasan ke penginapan itu untuk menemui Ana sambil mengamati penginapan itu dengan wajar tanpa membuat mereka menyadari kehadirannya. Nazriel memandang Arlen dan mengangguk mematuhinya. Mereka berdua kemudian menghilang dari tempat itu.
Pagi menjelang. Ana membuka matanya perlahan-lahan. Suara burung-burung berkicauan terdengar dari jendalanya. Ana bangkit dari tempat tidurnya dan mengacak-acak rambutnya. Suara lolongan yang menyayat hati semalam membuatnya tidak dapat tidur nyanyak. Ia berulang kali terbangun pada malam itu, meskipun tempat tidurnya sangat nyaman. Kakinya berjalan perlahan-lahan menuju jendela dan dibukanya jendela itu lebar-lebar. Angin dingin menyapanya, mengibarkan baju tidurnya. Tubuhnya mengigil sejenak. Pandangan matanya melihat pemandangan taman di depannya. Sebuah taman labirin berada di tak jauh dari lokasi kamarnya. Seorang pekerja kebun sedang memotong pagar tamanan untuk taman labirin itu. Beberapa orang pelayan berjalan menuju bangunan di sayap lainnya. Setelah melewati taman labirin, jalan setapak yang dihiasi pagar tamanan hias berdaun merah terlihat. Jauh di depan, barulah terlihat pagar pintu masuk kastil Marquess.
Ana berpaling saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia segera memintanya masuk. Seorang pelayan berbaju seragam hitam putih masuk ke dalam kamarnya dan mengangguk sopan.
"Selamat pagi, Nona."
"Selamat pagi," seru Ana dengan cerah.
Pelayan itu membawakan kudapan kue dan secangkir air putih. Ia meletakkanya di meja.
"Apa tidur Nona Ana nyenyak semalam?"
"Sangat nyenyak." Ana tersenyum melangkah meninggalkan balkon dan masuk ke kamarnya. "Boleh aku berjalan-jalan di kastil?" tanya Ana kemudian.
Pelayan itu mengangguk dengan yakin.
"Nona, bisa berjalan-jalan di taman."
"Apa aku boleh berganti baju yang ada di almari?"
"Nyonya Rosseta berpesan bahwa Nona Ana bisa memakai baju apapun yang di almari itu."
Ana mengangguk. "Terima kasih."
Pelayan itu mengangguk kemudian melangkahkan kaki keluar dari ruangan. Namun, sebelum sampai di pintu, pelayan itu menghentikan langkahnya.
"Ah, Tuan Marquess meminta sarapan pagi di kebun jam 9 pagi, Nona."
"Oke," sahut Ana singkat sambil tersenyum pada pelayan itu. Pelayan itu menggangguk sopan kemudian meninggalkannya.
Ana mengambil kue kering yang ada di meja dan meminum air putih. Ia kemudian membuka almarinya. Dilihatnya baju-baju yang ada di dalamnya. Semuanya gaun indah dan terbuat dari kain yang mahal serta menggunakan warna-warna yang lembut. Namun, semua gaun itu berlapis renda putih tebal. Ia menghela napas. Diambilnya mantel coklat yang ada di almari dan menggunakan sepatu bootnya. Ia keluar dari kamarnya berjalan menyusuri koridor. Koridor yang semalam tampak sedikit menakutkan karena pencahayaan dan nuansa malam hari, pagi ini terlihat indah. Lorong dengan jendela-jendela besar di sepanjang koridor memperlihatkan pemandangan luar dengan taman yang indah. Ia segera berlari menyusuri koridor menuju taman.