Hann
Hari pertama, aku menghabiskan waktu di sebuah hotel di sekitar stasiun Zsigrid untuk mengambil sedikit waktu liburanku di sini sambil menunggu perempuan itu datang atau pulang dari suatu tempat. Selama tiga hari berturut-turut, aku bertanya-tanya soal perempuan itu di sekitar Zsigrid. Di sebuah kafe, atau kepada para musisi jalanan, kepada mereka yang duduk di bangku panjang di tepi jalan, kepada seorang penjual barang-barang antik, kepada seorang penjual majalah dan buku-buku lama, dan kepada seorang penjual piringan tape yang berderet. Tapi aku tak mendapatkan petunjuk. Perempuan itu tak punya bau untuk kuendusi jejaknya.
Di sela-sela mencari Nala, aku juga mampir ke berbagai tempat di sana. Ke sebuah toko musik antik misalnya, atau berbincang soal buku-buku klasik di salah satu sudut jalan, pergi ke pinggiran taman sambil mendengarkan musik, mendengarkan cerita seorang perempuan yang jatuh cinta pada seorang lelaki sederhana, daripada kepada seorang pelukis hebat dan penulis terkenal di sebuah kursi panjang berwarna hijau, mendengarkan syair-syair, pergi berjalan kaki di sekitar kebun bunga yang mewangi, dan selebihnya, aku memberi makan merpati-merpati yang berkepak di dekat sebuah kolam dengan air mancur setinggi empat meter.
Tetapi itu pun tak lama sebelum aku kembali bercokol di balkon kamar hotelku sepanjang hari. Karena dari sana, aku cukup bebas mengamati setiap orang yang berlalu lalang. Tak terkecuali siapa-siapa yang masuk stasiun dan siapa-siapa yang keluar dari stasiun. Terakhir, jika sore menjelang, aku selalu duduk di bangku panjang di stasiun ditemani beberapa orang penjaga ketika pencarianku selalu nihil. Aku juga beberapa kali sempat berbincang dengan mereka. Tapi selalu saja mereka tertawa ketika tahu apa yang aku lakukan di sini hanyalah menunggu seorang perempuan yang tak jelas asal muasalnya.
Dari hari ke hari, dari pagi ke pagi. Benar rasanya aku menjadi semakin senewen. Semakin hari, waktunya kian menyempit. Dan selama itu, aku tak mendapatkan sedikit pun hasil karena setiap orang yang kutanyai, mereka menggelengkan kepalanya. Ditambah, aku tak memiliki jejak otentik apa pun untuk melacak Nala kembali. Ke mana ia pergi, dan dari mana ia akan muncul lagi. Seperti anggang-anggang yang tak maju, juga tak mundur. Apa yang menjadi kegiatanku hanyalah kegilaan seorang anak muda yang tengah mencari jejak seorang perempuan di stasiun.
Sejauh ini, pertemuan kedua memang tak ada. Atau mungkin, tak akan pernah ada?
Aku menatap pantai di Prynne di pikiranku. Terpikir andai aku tidak melakukan hal-hal bodoh semacam ini, mungkin sudah barhari-hari yang lalu aku berada di Prynne, di atas pantai berwarna biru sambil berbaring bebas di malam hari. Lalu menikmati waktu-waktu sendiriku di sana, tak perlu ada orang-orang yang mengganggu, tak ada yang akan membangunkan tidurku, dan tak akan ada pikiran yang berani mengusik kepalaku.
Ya, mungkin seharusnya aku pergi dan melupakan perempuan itu.
***
Siang pukul 10 siang, aku pergi meninggalkan stasiun Zsigrid.
Jika sesuai karcis, maka tempat dudukku ada di gerbong terakhir. Tetapi saat itu aku masuk lewat gerbong pertama. Alasannya sederhana; aku akan berjalan menyusuri gerbong pertama hingga ke gerbong terakhir. Berharap di antara gerbong-gerbong yang aku lewati itu, Nala ada di salah satu sudut kursi di salah satu gerbong. Dengan begitu, akan sangat menyenangkan bertemu dengannya lagi. Tapi aku pesimis soal ini, jujur saja.
Langkahku tak pernah kuperhatikan. Kedua mataku berubah menjadi lebih sigap, penuh selidik dan tajam. Aku menjamah setiap sisi, setiap kursi, setiap sudut gerbong kereta, dan tak kutemukan juga batang hidung perempuan itu. Demikian, derap langkahku masih tetap berlanjut hingga ke gerbong terakhir.
Sesampainya di gerbong terakhir, aku hanya mendapati sekumpulan orang tua yang sedang terlelap tidur di kursi-kursi besar di dalam gerbong. Ada yang menghabiskan satu kursi sendirian untuk berbaring, ada juga yang merebah di sisi kanan-kiri menyandarkan kepalanya ke dinding gerbong. Seorang nenek-nenek dengan tudung kepala berwarna kuning terkantuk-kantuk hingga kepalanya menukik tajam ke depan. Di sampingnya, seorang pemuda terlelap dengan topi dan masker berwarna abu-abu menutupi semua bagian wajahnya. Ada juga sepasangan suami istri yang masih berbincang-bincang hangat. Entah membicarakan pengalaman pertama mereka naik kereta, atau sedang bernostalgia. Kemudian, beberapa pasang lelaki dan perempuan kulihat tengah asyik dalam obrolan yang intens. Mereka tak peduli siapa pun lagi, seolah dunia tidak lebih dari sekedar taman kecil milik mereka berdua. Di luarnya, orang lain dianggap sebagai imigran gelap.
Pemandangan kereta dari gerbong pertama hingga gerbong terakhir pun sama. Aku tak melihat Nala duduk di kursi di salah satu gerbong. Dengan kata lain, tempat tak mau merestuiku, dan waktu tak setuju kami bertemu lagi.
Tengah hari, aku tiba di stasiun Belousva lagi. Sebelum aku pergi menuju prefektur Moruz ke pantai Prynne, aku harus menunggu keberangkatan selanjutnya satu jam mendatang pada pukul 12.50.
Aku mengambil tempat duduk di dekat ruang tunggu sambil menenggak minuman yang kubeli di salah satu minimarket di dekat sana. Tempatku saat itu berada di jalur yang sama sekali berlawanan, terletak sekitar 100 meter dari tempatku turun di jalur kereta ke Zsigrid.
Kembali ketika aku terduduk, sekelumit pikiran liar menuntunku pada perempuan itu lagi. Mataku kembali seperti semula, tajam dan penuh selidik. Apakah benar aku harus pergi lagi? Tanyaku memastikan.
Pengumuman kembali terdengar dari pengeras suara di dekat peron, lalu peluit-peluit kembali dibunyikan.
Setiap detik berlalu, tak pernah sekalipun aku melewatkan penumpang yang turun dan naik. Berharap di antara orang-orang itu, aku kembali bertemu dengan Nala. Berhari-hari sudah aku menantinya. Namun, selama itu pula aku tak dapat menemukannya. Aku selalu berharap, di salah satu gerbong kereta, perempuan itu keluar dengan cara yang paling indah, bak purnama tanggal 14.
Suara pengumuman dari pengeras suara stasiun kembali didengungkan lagi.
Waktu mengepak seperti sayap-sayap burung, berlalu cepat begitu saja sampai aku tak menyadari jika dalam kerumunan banyak orang di sana, sebuah momen paling krusial saat itu tengah berlangsung, siapa yang tahu?
Kutegaskan, sekarang pukul 12.30 ketika momen itu kembali terjadi.
Awalnya, kupikir peluangku untuk bertemu kembali dengan Nala mendekati nol persen. Tapi siapa aku yang dapat menentukan laju acaknya dunia? Bukankah peluang itu selalu ada? Sekalipun hal-hal buruk terjadi dan mendekati mustahil. Pada akhirnya, aku harus percaya kalau hidup manusia tak lebih dari sekumpulan benang kusut yang saling berhubungan. Di ujung tali-tali yang melingkar, aku memiliki peluang untuk bertemu dengannya lagi. Nah, siapa yang menduga jika aku akan bertemu lagi dengan Nala secepat ini?
Aku tak menyadarinya sama sekali dari mana dia datang, sepandang yang kusaksikan saat ia tengah berjalan hampir sampai di bibir pintu kereta menuju Zsigrid. Ia terus berjalan tanpa pernah melihat ke sisi lainnya, 100 meter dari tempatnya berdiri; yang saat itu aku sedang menunggu kehadirannya lagi, yang saat itu ada aku yang mengharapkan pertemuan kedua dengannya lagi.
Aku bergegas menaruh minumanku di samping tempatku duduk tadi, menyampirkan ransel, lantas berlari menuju perempuan itu di jalur yang lain, di jalur yang tak pernah sama denganku, di jalur keberangkatan ke Zsigrid, di jalur yang tentu saja berlawanan.
Dalam hitungan detik, kereta itu akan segera meninggalkan Belousva dan kembali lagi ke Zsigrid. Lantas aku melesat berlari secepat yang aku bisa. Aku berteriak memanggil namanya, tapi kukira suaraku tak pernah sampai padanya. Aku menabrak orang-orang dalam kerumunan demi kesempatan kecil ini. Aku juga melompati mesin masuk ke arena peron, melewati pagar pembatas yang sudah disekat-sekat setiap jalurnya, dan sesegera mungkin beberapa petugas yang berjaga sigap meniupkan peluitnya. Aku dihadang oleh sekumpulan petugas penjaga.
Pengumuman segera didengungkan lagi. “Pintu kereta akan segera ditutup, mohon untuk berhati-hati.” Begitulah kira-kira pengumumannya. Mendengar itu, aku seperti kerasukan setan. Lariku semakin kencang!
Namun lagi-lagi, waktu tak bisa berkompromi denganku. Aku kena ringkus empat satpam sekaligus. Aku dibawa ke sisi peron dan dituduh seperti tersangka pencopetan. Pintu kereta tertutup, peluit dibunyikan, roda mulai bergerak, kereta melaju, dan di depan mataku, perempuan itu hilang ditelan rimbanya lagi.