webnovel

Bagian 14

Nala

Orang-orang tak tahu jika aku memiliki… katakanlah semacam keanehan. Hanya aku saja yang tahu soal ini. Bahkan ibu tak tahu menahu soal apa yang dialami oleh anaknya. Dan beberapa hari terakhir ini, aku menyimpannya rapat-rapat seorang diri.

Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan. Cahaya mulai berkumpul, dan aku melihat siluet bayangan seorang perempuan menatapku khawatir. Walau tak sempat diucapkan, matanya tidak bisa berbohong jika dia tengah khawatir.

“Nala, apa kamu sudah sadar?” suara itu masuk terhubung ke neuron di otakku, tapi aku masih belum bisa meresponnya dengan baik untuk beberapa waktu.

Ketika waktu terus melaju, sesekali aku mulai mengerjapkan mataku secara perlahan. Dan saat itulah aku sadar jika aku sedang di atas ranjang ditemani dua perempuan, Ibu dan Anna.

“Syukurlah kamu sudah sadar,” jelas Ibu risau.

Sedang di sisi lain, Anna juga terlihat cemas. Aku tahu itu dari sorot matanya. Ia kemudian mendekat ke arahku lalu menggamit tanganku. Kepalanya mendongak sambil bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aku bangkit, lalu kubiarkan punggungku bertumpu pada bantal yang telah mereka sediakan.

Detik setelah kesadaranku kembali, aku berusaha untuk memulihkan pikiranku. Satu pertanyaan kembali terlontar, “Apa yang terjadi?” tanya Ibu sama dengan apa yang ditanyakan oleh Anna.

Wajahku layaknya matahari pagi yang belum muncul, masih terbenam, tak terangkat. Sejurus aku perlahan menaikkan wajahku, seperti matahari yang baru muncul di atas cakrawala timur. “Aku pusing,” kataku. “Mungkin aku kekurangan darah. Anemina.” Aku berbohong. Aku tahu itu bukan hanya sekedar anemia saja. Lebih dari itu, aku membutuhkan bantuan seorang dokter untuk mendiagnosanya.

“Benarkah?” tanya Anna.

Aku mengangguk.

“Tapi kamu tergeletak tak sadarkan diri di dapur. Ini bukan sekedar kekurangan darah.” Ibu mulai memperlihatkan kepanikannya di hadapanku.

“Ini, minumlah.” Anna menyodorkan segelas air bening. Dan hanya seperempatnya saja yang kuminum.

“Besok kita periksa ke dokter,” kata Ibu.

“Tidak, tidak usah.” Aku menolak. “Ini hanya pusing biasa,” jelasku kembali berbohong.

Kemudian tatapanku kulayangkan kepada Anna. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyaku memastikan keadaan Anna setelah kejadian tadi.

Anna mengernyitkan dahi, “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, ‘kan?”

Aku menggeleng. “Apa yang kamu rasakan?” tanyaku lagi. “Kamu masih bisa bernapas ketika air menenggelamkanmu. Bisa kamu merasakan itu?” tanyaku heboh sambil memegang kedua pundaknya.

Anna memandangku aneh. “Sejak tadi aku masih bernapas,” ujarnya. “Air menenggelamkanku, maaf?” Anna heran.

Kuraba tangannya, kering. Kuraba lagi pakaiannya, kering. Kuraba rambutnya, kering. “Tidak kah kamu tadi tergeletak tak berdaya?” tanyaku memastikan lagi.

“Kamu yang tergeletak tak berdaya, bukan aku,” pekiknya.

Tangan Ibu kemudian mendarat di keningku. Ia memeriksa suhu kepalaku andaikata aku terkena demam. “Normal,” katanya.

“Aku tidak apa-apa, Ibu. Secara teknis, sungguh, aku tidak apa-apa. Mungkin ini karena aku letih, itu saja. Jadi, aku hanya butuh istirahat saja.”

Dalam pembaringanku, aku melayangkan satu permintaan pada ibu, “Oh ya, aku ingin berbicara dengan bibi. Ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya secara personal,” pintaku pada Ibu.

“Apa itu?” Ibu penasaran.

“Bukan apa-apa,” jawabku lugas. “Boleh, ‘kan?” Aku memohon.

Ibu lekas bangkit dan meraih ponselnya lalu menelpon bibi. Telepon tersambung. Sejenak Ibu menjauh dari kami berdua dan berdiri di sudut kamar. Percakapan terjadi dalam tempo yang singkat sebelum Ibu kembali lagi.

Sedang Anna menatapku cemas, aku menyunggingkan senyum padanya, “Tak usah khawatir, aku akan baik-baik saja,” balasku.

Ibu kembali. “Besok, ia ada di rumah,” katanya.

Aku mengangguk. “Terima kasih, Ibu, nanti aku akan ke sana.”

“Biar Ibu yang antar,” tukasnya.

“Tidak, Ibu, sudah kukatakan aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bertemu dengan bibi untuk menanyakan beberapa hal.”

“Apa itu?” Ibu mendesak.

“Soal operasiku kemarin; kebocoran cairan serebrospinal pada otak. Aku ingin menanyakan beberapa hal padanya. Boleh, ‘kan, Bu?” Aku memohon lagi.

Awalnya Ibu menolak. Tapi aku tetap kukuh dengan keinginanku jika aku ingin pergi sendirian. Sampai pada akhirnya, Ibu menghembuskan napas dalam-dalam. “Baiklah.” Ibu menyerah setelah serangkaian perdebatan yang panjang yang akhirnya dimenangkan oleh anaknya sendiri.

“Kalau kamu butuh diantar, atau kalau kamu butuh sesuatu, ya.. intinya kalau butuh bantuan, kamu bisa bilang padaku.” Anna menawarkan diri.

“Terima kasih atas tawarannya.” Aku tersenyum pada Anna.

Hari itu aku menghabiskan waktu di atas pembaringan sampai esok pagi. Tubuhku sudah membaik, keadaanku juga sudah fit, dan aku kembali seperti biasanya. Setelah ini, aku berencana menemui bibi di Walczak, satu jam dari stasiun Belousva untuk membahas penyakit yang kuderita akhir-akhir ini, bukan soal sebocoran cairan serebrospinal seperti yang kukatakan pada Ibu. Bukan, bukan itu.

***

Agak siang aku berangkat dari rumah. Di halte pemberhentian trem detik itu, ternyata belum ada satu pun trem yang bertengger. Terpaksa aku menunggu beberapa menit sebelum trem selanjutnya mengantarku ke stasiun Zsigrid. Ketika hendak menunggu trem di sisi jalan, Lunin, lelaki penjual bunga itu muncul dan berdiri di salah satu sudut jalanan, sambil mengalungkan sebuah flacon di lehernya. Aroma legendaris itu tentu saja tak keluar karena ia menutup rapat-rapat flaconnya. Lalu ia mengenakan ledermantel panjang berwarna hitam kusam sambil membagikan bunga-bunganya kepada setiap orang yang melintas.

Bukankah seharusnya lelaki itu menjualnya? Pikirku.

Aku menghampiri lelaki itu dengan langkah kikuk dan aneh.

“Ini, ambillah,” katanya sambil memberikan setangkai mawar merah padaku dan kepada orang yang kebetulan lewat di sana.

“Ada apa?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa,” kata lelaki tua itu. “Aku hanya ingin berbagi bunga dengan banyak orang,” jawabnya sambil tersenyum.

Siapa pun yang melihatnya, pasti menganggap bahwa lelaki tua itu mulai bertingkah aneh, atau mendekati gila. Dan, frustasi karena usahanya mulai bangkrut, barangkali.

“Mengapa kamu tidak menjual bunga-bunganya? Bukankah nanti kamu akan rugi sendiri?” tanyaku lagi.

“Kalau soal rugi, aku tidak keberatan. Kau tahu, hidupku tak lebih dari kerugian yang panjang sebenarnya. Karena keseluruhan hidupku hanyalah kegagalan yang bertubi-tubi.” Lelaki itu tersenyum dan matanya menyipit. “Jadi kamu tidak perlu khawatir. Melihat orang lain tersenyum, buatku sudah cukup untuk mengobati semua kegagalan yang telah aku alami. Dan jika akhirnya seperti itu, aku tidak akan pernah menyesal pernah hidup di dunia ini.”

Aku mencerna kata-katanya, tapi aku tidak membalasnya sama sekali. Alasannya tolol dan getir, aku tahu itu. Tapi aku suka dengan ketololannya yang menggadaikan setangkai mawar demi seutas senyum dari orang-orang. Walau aku tak tahu apakah yang ia lakukan itu benar atau tidak, tapi selama dia senang, aku juga ikut senang.

“Jadi tidak apa-apa, ‘kan, jika aku melakukan ini pada orang-orang?” tanyanya padaku.

“Selama hal itu benar bagimu, aku tidak keberatan,” ujarku setengah tersenyum. Lalu tak lama suara deru kendaraan mulai terdengar.

“Trem sudah datang. Kukira kamu akan pergi ke satu tempat, bukan begitu?”

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya selain mengangguk. “Hati-hati,” kata Lunin sambil tersenyum.

Satu langkah kakiku mendarat di pintu trem, selangkah ke dalam, pintunya segera tertutup.

***

Aku tiba di stasiun Zsigrid pukul 12.16. Tapi karena aku telat satu menit, makanya aku pergi dengan kereta selanjutnya pukul 12.30.

Tempat dudukku ternyata persis sama seperti kemarin. Di kursi yang sama, dan di deretan yang sama pula, dan di gerbong yang tak ubahnya seperti kemarin –satu minggu yang lalu sejak aku pergi ke Belousva. Ketika aku melirik kursi di sampingku, aku teringat Hann pernah tertidur di sana. Ingatanku cukup jeli. Dan seminggu kemudian, aku masih tetap berada di tempat yang sama. Bedanya, sekarang lelaki itu tidak ada di sana. Mungkin sedang bersenang-senang di Moruz, sejauh yang kuingat tempo hari.

Aku tiba di Belousva menjelang sore. Untuk sampai ke rumah bibi, aku harus menaiki satu kereta dan satu trem lagi. Perjalanannya tak cukup jauh, jadi tak banyak memakan banyak waktu di perjalanan.

***

Aku langsung menaruh ransel kecilku di salah satu ruang sesampainya di rumah bibi di Walczak, satu jam dari Belousva. Lantas berbaring sambil beristirahat sejenak.

“Oh ya, kenapa baru sekarang ke sini? Kenapa tidak pagi-pagi?” Tanya bibi.

“Perjalanan sore kukira lebih menyenangkan. Jauh dari udara panas dan jauh dari kejamnya iklim kota.”

“Sudah makan?”

“Tadi siang.”

“Perjalanan tadi sepertinya membuatmu lelah. Lebih baik istirahat setelah itu makan,” titahnya.

Aku beranjak ke dapur mengambil beberapa ekor udang goreng setelah merasa cukup dengan istirahatku yang tak lama-lama amat.

Malam hari menjelang, aku diperiksa oleh bibi. Sembari memeriksa bagian-bagian tubuhku, aku menceritakan beberapa kejadian kemarin kepada bibi. “Tapi tolong, jangan beritahu yang lain,” pintaku padanya. Lalu ia mengangguk ketika aku selesai menceritakannya. Tentu aku tidak tahu betul soal ini. Tapi setidaknya itulah yang aku percayai; aku tidak tahu apa-apa. Kataku, “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

Bibi mencurigai ada struktur sarafku yang berubah. Ia menjelaskan, setelah operasiku dulu, mungkin ada perubahan di beberapa sel saraf. Tapi ia tidak bisa mendiagnosisnya karena harus melalui serangkaian pemeriksaan.

Aku mengangkat salah satu alisku. “Aku gila?”

“Tidak. Kamu tidak gila,” ujar bibi. “Mana mungkin orang gila dapat bertanya pada dirinya sendiri bahwa dia gila, ‘kan?”

Aku terkekeh. “Jadi?” tanyaku penasaran. “Aku masih tidak mengerti,” terangku.

“Apakah kamu mengalami gerakan di luar kendali secara tiba-tiba?” tanya Bibi.

“Tidak,” jawabku. “Selepas melihat lukisan di kamar, aku hanya berdelusi, itu saja,” terangku. “Tetapi ketika delusi itu datang, denyut jantungku seperti dipompa, berdebar-debar, aku pusing, dan darah kadang muncul dari hidungku ketika gejala-gejala itu muncul. Seperti ada sebuah peningkatan aktivitas listrik atau impuls saraf dari otak. Atau mungkinkah aku sedang melepaskan zat adrenalin ke dalam darah sehingga gejala-gejala fisik di atas senantiasa terjadi?”

Bibi menyimak dan kali ini ia terlihat tengah berpikir sebelum kembali berujar singkat.

“Aku tidak bisa menyebutmu terkena penyakit apa, tapi berdasarkan apa yang kamu jelaskan mengenai reaksi yang muncul ketika kamu melihat lukisan, mungkin penyakitmu berkaitan dengan gangguan psikosomatis,” tegas bibi.

“Maksudnya?”

“Pada kasusmu, penyakit itu muncul ketika kamu melihat karya seni, khususnya lukisan. Sebenarnya tak ada bukti ilmiah yang dapat menjelaskan mekanisme penyakit atau sindrom ini bekerja. Namun yang pasti, ada beberapa perubahan di area otak yang melibatkan respon emosi menjadi semakin aktif ketika kamu melihat karya seni.”

“Apa ada hubungannya dengan reaksi bio-kimia?”

“Tentu saja,” jelas bibi. “Tapi aku tak bisa mengatakan lebih daripada ini. Saat ini tak ada yang bisa mengidentifikasinya dengan baik. Terlebih, sindrom ini sudah tidak lagi diakui dalam paduan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) untuk diagnosis-diagnosis psikiatris.” Sambil berhati-hati bibi berkata, “Sindrom Stendhal, lebih dekatnya,” cetusnya tiba-tiba.

“Sindrom Stendhal?” Aku mengerutkan dahi.

“Sindrom yang paling dekat dengan kasusmu.”

Aku menutup mulutku. “Tapi aku tidak gila, ‘kan?” tanyaku untuk kedua kalinya.

“Aku harap demikian,” kata bibi. “Ini tidak separah penyakit-penyakit seperti skizofrenia.”

Aku mendengus, menarik napas dalam-dalam.

Segera setelah itu, bibi hendak memeriksaku lagi. Malam-malam aku dibawa oleh bibi ke klinik tempat ia bekerja. Di sana aku melakukan pemeriksaan neurologis oleh salah seorang dokter, uji laboratorium, dan pemindaian. Dan hasilnya, tidak ada perubahan saraf di otakku akibat dari operasi kebocoran cairan serebrospinal di otak. Tidak, tidak ditemukan sama sekali.

Aku menunggu hasilnya bersama bibi. Dan sialnya, ada sebuah lukisan yang membuatku kagum yang di pajang di ruang tunggu. Tanpa aba-aba dan tanpa perlawanan, delusi itu kembali terjadi tepat setelah pemeriksaan selesai beberapa menit yang lalu. Aku rubuh dan semua yang ada di sana kembali panik. Nah, itu artinya, pemeriksaan yang baru saja kutuntaskan tadi itu, nyatanya tidak berhasil.

Keesokan harinya, aku kembali lagi diperiksa oleh dokter tersebut. Dari serangkaian uji coba, ternyata tak menunjukkan kabar baik. Semuanya nampak tak berhasil. Delusi itu masih saja muncul ketika aku melihat sebuah lukisan. Lalu setelah serangkaian pemeriksaan melalui mesin pemindai CT-Scan dan MRI lagi, dan dari banyaknya upaya yang dilakukan untukku, hasilnya nihil. Tak ditemukan penyebab pastinya karena apa.

Bibi kembali mendekapku erat. Dalam dekapannya, aku memikirkan bagaimana nasibku nanti, apakah aku akan baik-baik saja atau tidak. Aku takut. Dan hampir saja aku meneteskan air mata. Dengan suara parau aku bertanya, “Apakah aku bisa sembuh?” tanyaku.

Bibi menatapku lekat-lekat. Tatapannya tajam namun sendu, dan ia tak mengatakan apa-apa. Satu isyarat yang tak pernah kuharapkan akhirnya tercetus juga.

Dokter tadi kemudian menghampiriku lagi. “Sindrom ini tidak mengancam nyawamu, Nala,” jelasnya. “Tetapi tingkat kesembuhan dari penyakit ini tidak bisa diprediksi juga sebenarnya. Kalau boleh jujur, bahkan bisa hampir mendekati nol persen. Ditambah, tak ada obat yang bisa memulihkan penyakit ini.”

Mendengar vonis yang seperti itu, aku kembali bergeming untuk kedua kalinya. “Semacam kutukan?” tanyaku spontan.

“Perlu kamu tahu, walau penyakitnya tidak bisa disembuhkan, tapi masih mungkin untuk dipulihkan,” katanya serius sambil menatapku kasihan.

Aku sadar betul bahwa pulih tidak berarti sembuh.

“Tenang, kamu akan baik-baik saja.”

Aku tak mampu berkata-kata. Satu-satunya yang aku lakukan hanyalah mengangguk, dan itu adalah bahasaku yang paling terakhir.

Tak lama bibi melepaskan tangannya dari bahuku lalu beranjak dari tempatnya. Sang dokter merogoh laci obat pribadi miliknya dan mengerluarkan sesuatu dari dalam.

“Apa ini?” tanyaku.

“Untuk sementara waktu, gunakanlah antipsikotik ini,” jawabnya. “Gunakan itu jika gejala-gejalanya hendak muncul. Setidaknya itu akan membantu menyeimbangkan beberapa zat kimia dalam otak agar kamu kembali membaik,” katanya.

“Menyeimbangkan zat kimia di dalam otak?” Aku bertanya.

“Ya. Setidaknya untuk beberapa zat seperti dopamin, serotonin, noradrenalin, dan asetikolin akan kembali seimbang.”

Aku menyimak. “Apakah aku akan baik-baik saja dengan ini?” tanyaku lagi.

Bibi tidak menjawabku. Begitupun sang dokter. Ia mengenduskan napas dalam-dalam, “Walau aku tidak bisa menjamin kesembuhan total, setidaknya aku menjamin kamu akan baik-baik saja jika kamu menggunakannya dengan benar,” ujarnya.

Aku mengangguk menerima obat antipsikotiknya. Tapi tidak hanya itu, sang dokter menyarankanku untuk melakukan pengobatan lanjutan dengan sebuah terapi. “CBT (Cognitive Behavioral Therapy),” titahnya.

Namun, satu kenyataan yang tak pernah berubah sejak saat itu adalah, aku enggan diterapi seperti yang disarankan oleh sang dokter. Aku enggan diterapi, aku enggan memasuki ruangan kecil yang hanya ada aku dan seorang psikiater yang duduk di depan buku-buku di laci besarnya. Alasannya memang konyol, aku benar-benar takut jika aku harus dihipnotis, seperti adegan di film yang pernah kutonton ketika aku masih kecil.