"Leah."
Sbuah suara menghentikan percakapan di antara kami tiba-tiba. Sebuah suara yang membuat tubuhku kaku dan jantungku berhenti berdetak. Hanya satu sylabel itu yang diucapkan namun berhasil membuatku menahan nafas. Perlahan ku putar tubuhku dan benar dugaanku. Pemilik suara itu Andri.
Kenapa bisa ada dia di sini? Apa hubungan Andri dengan keluarga Rio? Kenapa kami harus bertemu di sini?
"Eh Ndri, kok loe bisa di sini?" Tanya Rio yang membuyarkan segala pertanyaan di kepalaku. Aku merasakan rangkulannya di pinggangku dan dadanya menempel di punggungku. Seketika aku merasa aman dengan keberadaan Rio di dekatku. Ya setidaknya dia bisa menjadi tamengku.
"Eh ya udah, kalian nimmatin pestanya ya. Mama mau ke sana dulu." Kami memutar tubuh saat mama Rio angkat bicara. Tak ada satu pun dari kami yang menyahuti, kemudian mama berlalu begitu saja.
"Loe kenap Renal?" Tanya Rio kembali pada Andri. Sadar tidak sadar, sekilas aku melihat mata Andri yang melirik tangan Rio di pinggangku. Sialnya lidahku kelu untuk angkat bicara. Dan tubuhku juga mengaku. Tapi sepertinya gak denga Rio, mungkin Rio menyadari lirikan Andri yang hanya sepersekian detik, dia kemudian semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga kami nyaris saja seperti orang yang sedang berpelukkan. Terlebih ketika tangannya naik ke punggungku dan menarikku mendekat. Sadar dengan gestur tubuh Rio yang berusaha memanasi Andri, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Mungkin Rio nampak sedikit terkejut hingga kurasakan tubuhnya sedikit menegang.
"Eng ya, kami temen satu SMA dulu." Jawab Andri.
"Waah kebetulan banget." Jawab Rio.
"Kalian... kenal sama Renal juga?" Kini giliran Andri yang bertanya. Ditatapnya kami bergantian.
"Oh, Renal sepupu gue. Keluarga gue minta gue bawa Leah ke sini. Mereka pengen kenal sama calon istri gue."
Lagi-lagi kalimat itu. Spontan aku menatap Rio. Untuk kedua kalinya dalam semalam, Rio membuat jantungku berdetak. Rio menatapku sekilas sambil tersenyum.
"Eh kalian ngobrol-ngobrol dulu gak apa-apa ya. Gue tinggal sebentar." Ujar Rio yang seketika membuatku menatapnya tajam. Apa maksudnya setelah menganggapku calon istrinya, sekarang dia malah mau meninggalkan aku dengan laki-laki lain? Andri lagi laki-lakinya. Dia beralih menatapku. "Sebentar aja. Aku mau nyapa Renal dulu." Jelasnya dengan suara pelan.
"Ya udah samaan aja." Ujarku setengah memohon ahar Rio tidak beranjak dari tempatnya. Kemudian dia membungkukkan tubuhnya dan mendekatkan mulutnya ke telingaku untuk berbisik.
"Aku cuma mau kasih kamu kesempatan untuk menunjukkan ke Andri kalau kamu udah berhasil move on dari dia." Bisik Rio. And you know what, bukan penjelasn Rio yang membuatku terpaku. Melainkan sebutan yang Rio gunakan. Aku pikir hanya karena dihadapan keluarganya dia menggunakan aku dan memanggilku kamu. Tapi kalau emang iya kenap saat berbisik pun dia menggu akan aku-kamu? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku sampai Rio menegakkan kembali tubuhnya, berpamitan pada Andri, dan melepaskan rangkulannya dari tubuhku. Baru aku tersadar dan menoleh menatap Rio yang semakin jauh.
"Kamu sama Rio mau nikah?" Tanya Andri tiba-tiba. Membuatku kembali ke duniaku dan segera mengalihkan pandanganku padanya.
"Ha?" Responku tanpa sadar.
"Kamu sama Rio mau menikah?" Andri kembali mengulangi kalimatnya. Aku tersenyum sambil mendengus.
"Ya tujuan orang pacaran kan memang ke sana Ndri. Apa lagi kami menjalin komitmen sudah sangat serius. Jadi...." aku menggangtung kalimatku dan mengangkat kedua bahuku acuh. Kubiarkan Andri menerka-nerka sendiri kelanjutan kalimatku.
"Kamu sudah lama kenal Rio? Pernikahan itu sakral, Le. Kamu harus tahu sedalam-dalamnya tentang pasangan kamu." Sarannya.
"Ck. Sudah deh Ndri, buat gue, gak perlu waktu lama untuk tahu siapa Rio. Kalau nyatanya Rio bukan orang baik, ngapain gue buang-buang waktu pertahanin hubungan gue sama dia selama ini?" "Gue sudah belajar dari masa lalu." Tutupku kemudian berlalu meninggalkan Andri dengan hati kesal. Melangkah kemana pun kaki membawaku.
***
Aku meninggalkan pesta. Well, maksudku tidak benar-benar meninggalkan. Aku hanya pergi dari keramaian. Menghirup udara segar di taman belakang gedung yang sepi. Bicara dengan Andri membuatku merasa tercekik. Terlebih ingar bingar pesta di dalam gedung. Pertemuan dengan Andri benar-benar membuatku kehilangan moodku. Si Rio lagi, pakai acara pergi ninggalin aku berdua dengan Andri. Aku memilih duduk di sebuah dinding pendek yang menghubungkan dengan anak tangga yang mengarah ke taman. Aroma rumput benar-benar membuat kepalaku segar kembali.
"Cih kabur."
Aku mendengar suara Rio yang tiba-tiba muncul. Kubuka mataku yang sejenak terpwjam menikmati udara malam dan tiba-tiba sudah duduk di sampingku dengan segelas ice cream yang menggoda iman. Rio menyodorkan ice cream itu yang kuterima tanpa ragu.
"Males banget lama-lama sama dia." Rutukku sambil menyuap ice cream yang rasanya benar-benar enak banget.
"Ehmm.." lenguhku tanpa sadar. "Enak bangeet sumpah."
Rio teraenyum melihat reaksiku.
"Norak loe." Tukasnya yang aku acuhkan. Eh ada yang berubah. Rio kembali memanggilku dengan sebutan loe. Padahal entah kenapa aku suka dia memanggilku dengan kamu dan menyebut dirinya aku.
"Woi." Rio menyenggol bahuku menyentakkanku dari lamunan.
"Ngelamun. Kesambet loe entar. Udah kaburnya di tempat sepi, gelap. Gak takut loe?"
"Gue lebih takut sama Andri. Dari lada sama hantu."
"Kenapa? Takut kebawa perasaan?" Tanya Rio hati-hati.
"Enak aja." Protesku. "Takut aja gak bisa kontrol emosi."
"Emm Le, sorry nih." Rio mendadak berubah serius. Aku menghentikan suapanku dan beralih menatapnya.
"Loe, gak pernah pacaran, ada hubungannya sama kisah loe sama Andri gak? Trauma gitu?" Tanyanya. Aku berfikir sejenak. Sejujurnya rasa sakit di tinggalkan Andri memang sulit hilang. Dikhianati sejahat iti disaat aku memberikan seluruh kepercayaan padanya sama sekali gak ekspektasi di kepalaku. Tapi Ini bukan tentang Andri. Atau Emi. Ini tentang seseorang yang jauh lebih penting dari pada mereka berdua. Yang sudah mengubah hidupku dan cara pandangku tentang sebuah hubungan.
Dan ketika Rio mempertanyakan tentang komitmen itu, aku tahu aku harus menjawab apa.
"Well Rio, membuat komitmen enggak semudah loe menyeduh kopi di pagi hari. Yang kalau loe rasa kurang manis, loe tinggal tambah gula sedikit. Berkomitmen berarti loe harus terima sepahit apa pun rasa yang akan loe cicipi. Bahkan setelah loe merasakan manisnya. Dan yang perlu loe tahu, gue salah satu orang yang membenci rasa pahit."
"Emm okey. Bisa kita buat sedikit lebih simple?" Tuntut Rio. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya keras.
"No. Bukan karena Andri. Bukan Andri, bukan Emi. Mereka enggak ada sangkut pautnya malah. Bahkan saat gue sama Andri kami gak berkomitmen apa-apa. Kami cuma temen deket. Bedanya, teman dekat versi kami satu tingkat lebih tinggi dari versi biasanya." Jelasku.
"Jadi, kenapa loe gak berani berkomitmen?"
Aku menggigit bibirku. Berat untuk bercerita tapi aku rasa sudah saatnya ada seseorang yang mendengarkanku.
"Emm.. gue cuma.. takut saja." Jawabku. "Gue takut, kalau gue ngecewain mereka yang sayang sama gue. Gue takut kalau gue gak bisa bertanggung jawab atas perasaan gue. Gue takut jadi orang yang meninggalkan." Untuk beberapa saat, sunyi di antara kami sampai terdengar Rio menghembuskan nafas.
"Maksud loe, seperti kasus bokap loe?" Rio menuntut penjelasan. Aku hanya mengangkat kedua alisku, menyetujui pertanyaannya yang kurasa lebih kepernyataan untuk kami berdua.
"Huuh. Jadi.. loe gak, trauma sama cowok?" Tanya Rio kali ini sedikit lebih santai.
"No." Kusuap kembali ice cream yang mulai meleleh ke dalam mulutku.
"Nice." Gumam Rio yang samar kudengar. Lalu seketika aku teringat sesuatu. Sorry, lebih tepatnya aku teringat seseorang.
"And, who's Dio?" Rio menatapku dengan tatapan 'kenapa tiba-tiba bahas Dio?'
"Wow, gue tanya Andri, loe balas dengan pertanyaan yang menyakitkan ya." Protesnya dengan nada bercanda.
"Lho, siapa bilang Andri pembahasan biasa saja? Andri menyakitkan kok. Membahas seseorang yang mau loe lupain itu gak pernah enak, Yo." Protesku. Lalu aku mengubah posiai dudukku menghadap Rio.
"So," aku menggantung kalimatku sebentar. "Who's Dio?" Ulangku pantang menyerah. Rio mengangkat bahunya tinggi sembari menghembuskan nafas keras.
"Kembaran gue." Jawabnya singkat.
"I know." Ku jawab tak kalah singkat namun menuntut penjelasan. Rio tertawa menyadari keingin tahuanku tentang kembarannya.
"Dio kembaran gue. Layaknya saudara kembar, kami sangat akrab. Apa pun gue lakukan berdua. Kami berbagi semuanya. Sayangnya, kondisi tubuh Dio nggak sesehat gue. Sejak lahir selalu saja Dio jadi yang lemah, gue yang kuat. Dio yang sakit, gue yang sehat. Dio yang menderita, gue yang baik-baik saja." Rio menghentikan ceritanya sejenak. Matanya menerawang. "Sampai pada akhirnya, Dio menyerah. Dio meninggal. Dan satu titik itu gue merasa menjadi orang yang merebut segalanya dari Dio. Kenapa bukan gue aja yang paru-parunya lemah? Kenapa nggak gue aja yang sakit. Kenapa nggak....
"Stop Yo." Aku tahu apa yanvRio mematapku.
"Loe tahu, gue belajar satu hal dari kepergian ayah. Bahwa percuma kita sesali semuanya. Ayah gak akan balik, Dio gak akan hidup lagi. Yang perlu kita lakukan cuma percaya saja kalau semua sudah jadi rencana Tuhan. Yang pastinya baik untuk mereka, baik untuk kita. Tuhan punya alasan kenala Dio harus pergi, dan Rio harus tetap tinggal." Kutatap Rio yang saat itu tengah menatapku. Kulemparkan seulas senyum untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Syukurlah dia membalas senyumku. Tepat saat itu, sebuah lantunan musik Secret Love Songnya Little Mix mengalun. Dibawakan hanya dengan alunan piano, musik itu terkesan lembut. Aku menengadahkan kepala menatap langit sambil memejamkan mata, menikmati hembusan angin diiringi music romantis. Ah kalian bisa bayangkan betapa tenang rasanya. Sampai aku merasa seseorang di sampingku beranjak, ku buka mataku dan mendapati Rio sudah berdiri di atas rumput di depanku. Sambil teraenyum manis, dia ulurkan tangannya.
"Dance??" Tanyanya sambil menatap mataku. No problem. Aku menjentikkan bahu dan menerima uluran tangan Rio. Sedikit lompat dari tempatku duduk yang segera di tangkap Rio. Dia menarik tubuhku mendekat ke tubuhnya. Sebelah tangannya menggenggam tanganku sementara tangannya yang lain menyusup ke belakang pingganggku. Kalian tahu bagaimana rasanya berdiri dengan seorang laki-laki dalam jarak yang begitu dekat? Sialnya aku tidak tahu kalau reaksi jantungku akan segila ini hingga membuatku kesulitan bernfas. Dengan kikuk ku sisipkan tanganku di antara lengan Rio dan menyentuh punggungnya. Kami berdansa dengan mata Rio yang tak mau beranjak menatapku, sementara aku hanya mampu menunduk menghindari tatapan Rio. Sial, aku benar-benar deg degan berada di dekat Rio. Terlebih karena rasanya nyaman dan hangat yang menyelimuti ku. Sekuat tenaga ku tahan kepalaku agar tidak terkulai di bahunya.
"Makasi Leah." Gumam Rio. Aku mengangkat kepala menatap Rio dan tersenyum.
"Udah deh kita satu sama. Nggak perlu terimakasi." Jawabku berusaha santai. Kini giliran Rio yang tersenyum.
"Bukan." tukasnya. "Bukan itu maksud gue." Tambah Rio.
"Terus?"
Rio tersenyum, kemudian dia melangkah semakin dekat, menghapus jarak di antara kami dan berbisik di telingaku.
"Karena udah bepenampilan luar biasa dan nggak bikin gue malu."
"Udah dari sananya." Jawabku sambil berbisik di telinga Rio. Aku merasakan tubuh Rio bergetar karena tersenyum.
Tahu kah kalian, diam-diam aku berdoa dalam hati agar malam ini tidak usah berakhir. Aku menikmati berada dalam jarak terdekat dengan Rio.