Di sebuah desa kecil bernama Sukaraja, di pinggiran kota, terdapat sebuah panti asuhan bernama "Rumah Pelita". Di sinilah Andi, Ratna, dan Bayu menghabiskan hari-hari mereka. Meski kehidupan mereka sederhana, mereka selalu menemukan cara untuk mengisi waktu dengan canda dan cerita.
Namun, suatu malam, angin membawa cerita yang menggetarkan bulu kuduk mereka.
"Andi, Ratna, Bayu, kalian pernah dengar soal gedung tua di ujung desa itu?" tanya Pak Jamal, penjaga malam panti. Suaranya berat, penuh misteri, saat ia menatap ketiga anak itu yang sedang duduk di beranda panti.
"Yang mana, Pak?" tanya Andi, matanya bersinar penasaran.
"Itu, gedung yang sudah kosong sejak bertahun-tahun lalu. Warga desa bilang sering terdengar suara wanita menangis di sana. Ada juga yang melihat sosok putih dengan rambut panjang berkeliaran di malam hari."
Bayu langsung merapatkan jaketnya. "Hantu, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar.
Pak Jamal tersenyum samar. "Katanya sih begitu. Kuntilanak. Hati-hati kalau lewat sana malam-malam."
Ratna menyandarkan dagu di tangan. "Mungkin itu cuma cerita untuk menakut-nakuti. Gedung tua biasanya punya sejarah menarik. Mungkin dulu ada kejadian yang membuat tempat itu ditinggalkan."
Andi tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita cari tahu sendiri?"
Bayu langsung terlonjak. "Kau gila, Andi? Kalau memang ada hantu, kita bisa celaka!"
"Tapi kalau tidak ada, kita bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi," balas Andi dengan tenang.
Ratna mengangguk pelan. "Aku setuju. Ini kesempatan untuk tahu lebih banyak soal desa ini. Mungkin kita bisa menggali informasi dari penduduk dulu sebelum nekat ke sana."
Bayu menelan ludah. "Aku ikut... tapi kalau ada yang aneh, aku lari duluan."
Setelah mendengar cerita Pak Jamal, Andi, Ratna, dan Bayu mulai merancang rencana untuk pergi ke gedung tua itu. Andi, seperti biasa, menjadi yang paling bersemangat.
"Kita pergi besok malam," kata Andi, suaranya penuh tekad. "Aku akan cari senter, dan Ratna, kau bisa bawa buku catatanmu. Kita dokumentasikan semuanya."
Bayu langsung menggeleng keras. "Aku nggak yakin ini ide bagus. Kalau kita ketahuan, kita bisa kena hukuman."
Ratna tersenyum tipis sambil mengangkat bahu. "Tapi kalau kita nggak ketahuan, ini bisa jadi pengalaman paling seru."
Mereka sedang asyik berdiskusi ketika suara berat Pak Jamal tiba-tiba menyela. "Kalian pikir aku nggak dengar rencana kalian?"
Ketiganya terdiam kaku. Pak Jamal berdiri di ambang pintu dengan tangan bersilang di dada. Matanya menatap mereka dengan tajam.
"Pak... kami cuma penasaran," kata Andi mencoba berdiplomasi.
"Penasaran atau tidak, kalian masih anak-anak. Gedung tua itu bukan tempat untuk bermain-main. Sudah terlalu banyak cerita buruk yang terjadi di sana," tegas Pak Jamal.
"Tapi Pak," Ratna mencoba berargumen, "kalau kita tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita bisa membantu warga berhenti takut."
Pak Jamal menggeleng tegas. "Tidak ada tapi-tapian. Aku tidak akan membiarkan kalian pergi ke tempat itu. Kalau kalian nekat, kalian harus berurusan denganku."
Ketiganya saling pandang. Andi menghela napas panjang, jelas tidak suka rencananya dihalangi. Bayu, di sisi lain, tampak lega.
Namun, ketika malam semakin larut, Andi berbisik pada dua temannya. "Kita tetap pergi. Kita cuma harus lebih hati-hati supaya tidak ketahuan."
Bayu memucat. "Kau serius?"
"Pak Jamal mungkin benar untuk melarang, tapi kita juga tahu dia hanya takut kita dalam bahaya," kata Andi. "Kalau kita melakukannya dengan hati-hati, tidak akan ada yang terluka."
Ratna mengangguk setuju. "Aku yakin kita bisa melakukannya."
Bayu tidak punya pilihan selain mengikuti. Dan begitulah, meskipun dilarang, mereka mulai mempersiapkan diri untuk petualangan yang akan mengubah hidup mereka.