Malam itu, angin berhembus dingin, membawa bau lembap tanah basah. Andi, Ratna, dan Bayu berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju gedung tua di ujung desa. Bulan separuh menggantung di langit, memberi cukup cahaya untuk menerangi jalan mereka.
"Kenapa aku setuju ikut? Kenapa?" gumam Bayu sambil terus melirik ke belakang, seolah ada sesuatu yang menguntit mereka.
"Karena kau tahu, dalam hati, kau ingin tahu apa yang ada di gedung ini," jawab Andi sambil menepuk bahunya. "Jangan khawatir, aku dan Ratna ada di sini."
Ratna tertawa kecil. "Jangan terlalu keras bicara, Andi. Kita belum sampai di dalam, tapi kau sudah terdengar seperti pahlawan."
"Yah, kalau bukan aku, siapa lagi?" jawab Andi sambil mengangkat bahu.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di depan gedung tua itu. Bangunan itu tampak seperti raksasa yang tertidur, memancarkan aura kesepian yang menusuk. Cat dindingnya mengelupas, dan jendela-jendelanya yang kosong tampak seperti mata yang mengintai dari dalam kegelapan.
"Ini... lebih menyeramkan daripada yang kubayangkan," gumam Bayu.
Andi menyalakan senter, sinarnya memantul di dinding kusam. "Tenang saja. Kita hanya lihat-lihat. Tidak ada yang perlu ditakutkan."
"Tapi Pak Jamal bilang kita nggak boleh ke sini," ujar Bayu, mencoba mencari alasan untuk membatalkan rencana ini.
"Pak Jamal juga bilang dia pernah lihat kuntilanak di sini," balas Andi dengan senyum tipis. "Kau percaya itu?"
Bayu membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Ratna memotong. "Aku rasa gedung ini punya sejarah yang menarik. Mungkin bukan hantu, tapi ada sesuatu yang membuat tempat ini ditinggalkan."
Andi mengangguk. "Dan kita akan cari tahu apa itu."
Mereka mendekati pintu utama yang setengah tergantung. Andi mendorongnya perlahan, menghasilkan suara berderit yang memecah keheningan malam. Begitu mereka melangkah masuk, bau kayu lapuk dan debu langsung menyergap hidung mereka.
"Ew, baunya," ujar Bayu sambil menutup hidung.
"Wajar, ini gedung tua," kata Ratna sambil menyalakan senternya. Ia mulai memeriksa dinding-dinding di sekitarnya. Ada coretan-coretan samar dengan tulisan yang sudah memudar. Ia mendekat untuk membaca lebih jelas.
"Bantu aku."
"Lihat ini," katanya sambil menunjuk ke arah tulisan itu.
Andi dan Bayu mendekat. Bayu langsung bergidik. "Siapa yang menulis itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Ratna sambil mengeluarkan buku catatannya. "Tapi ini berarti ada seseorang yang pernah ke sini."
Andi melangkah lebih dalam, matanya menyisir ruangan besar itu. Sinar senternya menangkap pecahan kaca, sebuah meja kayu tua yang terbalik, dan jejak-jejak hewan kecil di debu. "Lantai ini kosong. Kita lihat lantai atas. Biasanya, sesuatu yang menarik ada di sana."
Bayu menatap tangga kayu yang tampak rapuh dengan ragu-ragu. "Kalau tangganya roboh dan kita jatuh, aku akan menyalahkanmu."
"Kau terlalu banyak mengeluh," jawab Andi sambil menepuk punggung temannya. "Ayo, kita naik."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah ke tangga, sebuah suara samar terdengar dari atas. "Hihihi..."
Bayu langsung melompat mundur. "Apa itu?! Kau dengar?"
"Angin," jawab Andi cepat, meskipun wajahnya mulai tegang.
Ratna mengarahkan senternya ke tangga. "Kalau itu angin, kenapa terdengar seperti tawa?" tanyanya, suaranya datar tapi serius.
Andi menatapnya, mencoba membaca ekspresinya, lalu menghela napas. "Kita harus tahu apa itu. Kalau kita pulang sekarang, kita tidak akan pernah tahu."
"Dan aku baik-baik saja dengan itu!" seru Bayu.
Ratna menatapnya. "Kalau kau tinggal di sini sendirian, mungkin kau yang lebih dulu bertemu dengan... apapun itu."
Bayu menelan ludah dan akhirnya mengikuti, meskipun langkahnya berat.
Tangga itu berderit di setiap langkah mereka, seolah memprotes keberadaan mereka. Sesampainya di lantai dua, suasana semakin mencekam. Debu lebih tebal, dan udara terasa lebih dingin. Ada jejak kaki samar di lantai, seperti seseorang baru saja berjalan di sana.
"Apa itu jejak baru?" tanya Bayu dengan suara gemetar.
"Mungkin saja," jawab Ratna sambil mencatatnya.
Andi menyorotkan senternya ke sekeliling. Cahaya itu menangkap sebuah pintu di ujung lorong yang terbuka sedikit. "Kita lihat di sana."
Mereka berjalan perlahan, setiap langkah terasa seperti menggema di ruangan yang kosong. Ketika mereka sampai di depan pintu itu, Andi mendorongnya pelan.
Di dalam ruangan itu, sinar senter mereka tertuju pada sesuatu yang membuat jantung mereka berhenti sejenak. Sebuah boneka tua, dengan mata hitam kosong, duduk di atas kursi kayu.
Bayu langsung mundur. "Kita keluar sekarang. Sekarang juga!"
Andi melangkah maju, mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai merayap di punggungnya. "Hanya boneka. Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Namun, saat ia mendekat, suara pintu di belakang mereka tiba-tiba menutup dengan keras. Bang!
Bayu menjerit, dan bahkan Andi melompat kaget. Mereka semua menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Itu angin, kan?" Bayu mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Tidak ada angin di dalam gedung ini," jawab Ratna pelan.
Andi mencoba membuka pintu itu, tetapi tidak bisa. "Kuncinya rusak. Kita harus mencari jalan lain keluar."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong. Lambat, berat, seperti seseorang menyeret kakinya.
"Siapa itu?!" Andi berteriak, tapi tidak ada jawaban.
Langkah kaki itu semakin mendekat. Mereka bertiga saling memandang dengan wajah penuh ketakutan.
"Lari!" Andi berbisik tegas.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari menuju tangga, tetapi langkah kaki itu kini terdengar di atas mereka. Sesuatu, atau seseorang, sedang menghalangi jalan mereka keluar.
Langkah kaki itu semakin dekat. Andi, Ratna, dan Bayu berhenti sejenak, menahan napas, mencoba mencari tahu dari mana asal suara itu. Mereka berdiri di tangga kayu yang rapuh, tubuh mereka terasa kaku, seolah-olah waktu berhenti sejenak.
Langkah itu berhenti, dan seketika ruangan menjadi sunyi kembali. Hanya suara napas mereka yang terdengar keras di telinga.
"Bayu, jangan bergerak," bisik Andi dengan suara rendah, hampir seperti sebuah perintah.
Bayu mengangguk dengan ketakutan, tetapi matanya melirik ke sekitar, mencari jalan keluar. "Kita harus keluar dari sini, Andi. Ini... ini bukan main-main."
Ratna menatap ke dalam kegelapan di ujung tangga, matanya menyipit mencoba melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh senter mereka. Tanpa sadar, dia melangkah sedikit maju, tetapi kakinya tersandung benda keras. Dengan reflek, dia menoleh dan mengangkat senter ke lantai. Di bawah kakinya, sebuah buku terbuka tergeletak, halamannya terkoyak dan berdebu, tetapi ada sesuatu yang aneh di tulisan yang tercetak di sana.
"Apa ini?" Ratna bergumam sambil menundukkan kepala.
Andi dan Bayu mendekat. "Jangan sentuh itu, Ratna!" teriak Bayu, tetapi sudah terlambat.
Ketika Ratna menyentuh halaman buku itu, sebuah suara serak terdengar, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam dinding. Seakan-akan gedung tua itu mulai hidup. Keringat dingin mulai mengalir di punggung Andi, sementara Bayu gemetar ketakutan.
Tiba-tiba, dari atas tangga, terdengar suara tawa yang lebih keras, lebih jernih. "Hihihihi...". Suara itu kini terdengar sangat jelas, seperti datang dari dekat mereka. Dan lalu, terdengar sebuah bisikan.
"Bantu aku…"
Semua darah di tubuh mereka serasa membeku. Suara itu... suara seorang wanita yang lemah dan penuh penderitaan. Mereka menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Siapa itu?" bisik Andi, hampir tak bisa mengeluarkan suara.
Lalu, dari kegelapan di ujung tangga, sebuah bayangan putih melayang turun, bergerak dengan cepat menuju mereka. Ratna, yang paling berani di antara mereka, segera melangkah mundur, tetapi kakinya tersandung kursi yang ada di belakangnya.
Andi menarik tangannya dan berlari. "Kita harus keluar sekarang!"
Namun, ketika mereka berlari ke arah pintu, pintu itu—yang tadinya terbuka lebar—tertutup dengan keras begitu saja. Bayu menabrak pintu itu, mendorongnya dengan sekuat tenaga, tetapi tidak bisa membuka pintu yang terkunci.
"Tidak bisa!" teriak Bayu. "Kita terjebak!"
Langkah kaki yang berat terdengar semakin dekat dari atas tangga. Kini, mereka bisa merasakan hawa dingin yang semakin pekat, seperti ada tangan tak kasat mata yang merasuki mereka.
Ratna, yang biasanya tenang, mulai panik. "Kita harus menemukan jalan keluar! Sekarang juga!"
"Andi, apa yang kita lakukan?" tanya Bayu dengan panik.
Andi menatap ke sekeliling, lalu matanya tertuju pada jendela besar di sisi kanan ruangan. "Jendela itu! Kita harus keluar lewat sana."
Namun, begitu mereka berlari menuju jendela, bayangan putih itu muncul lagi, melayang di udara, seperti sosok seorang wanita berpakaian putih, dengan rambut panjang yang tergerai ke bawah, wajahnya tidak terlihat dengan jelas.
"Andi… ada yang salah dengan itu!" Bayu berteriak, hampir menangis.
Bayangan itu berhenti di depan mereka, melayang di udara, lalu tiba-tiba matanya—mata hitam kosong—terbuka lebar, menatap mereka dengan tatapan yang menusuk jantung.
Ratna, dengan keberanian yang tersisa, mengambil senter dan menyinarkannya ke wajah bayangan itu. Tetapi sinar itu tidak menyentuh apapun. Bayangan itu mulai berbicara dengan suara serak dan rendah.
"Bantu aku keluar… aku terperangkap di sini... selamanya..."
Andi menggigil. "Dia… dia tidak bisa meninggalkan tempat ini…"
Bayu hampir tidak bisa bernapas. "Kita harus pergi. Jangan dengarkan dia!"
Ratna terdiam. Lalu, sebuah ide muncul di benaknya. "Kita harus tahu siapa dia. Kenapa dia ada di sini. Kalau kita bisa tahu, mungkin kita bisa membebaskannya."
Andi menatap Ratna dengan cemas. "Kau gila? Itu bisa membahayakan kita."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, bayangan itu bergerak lagi, kali ini semakin cepat, seperti angin yang kencang. Dengan teriakan keras, bayangan itu menembus dinding dan menghilang.
Tiba-tiba, seluruh gedung itu berguncang hebat. Lantai di bawah kaki mereka berderak seperti akan runtuh. Asap dan debu mulai memenuhi udara, membuat mereka sulit bernapas.
"Lari!" teriak Andi, menarik tangan Bayu dan Ratna.
Mereka berlari ke pintu yang terkunci, tetapi sebelum mereka mencapai pintu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Di atas mereka, di langit-langit yang sudah tua, muncul sebuah tangan besar yang terbuat dari bayangan hitam. Tangan itu bergerak turun dengan cepat, berusaha menangkap mereka.
Bayu menjerit ketakutan. "Kita tidak bisa keluar! Apa yang harus kita lakukan?!"
Ratna, yang tetap berusaha berpikir jernih, memandang ke sekeliling. "Kita... kita harus mengalahkan dia. Jika dia terperangkap di sini, berarti ada cara untuk membebaskannya. Mungkin dia butuh bantuan, tapi kita tidak bisa membiarkannya menangkap kita."
Tiba-tiba, di ujung ruangan, sebuah cahaya terang muncul, seolah-olah pintu keluar dari gedung itu terbuka, mengundang mereka untuk melangkah ke dalamnya.
Andi menggenggam tangan Ratna dan Bayu. "Ke sana! Kita harus pergi!"
Dengan keberanian yang tersisa, mereka berlari menuju cahaya itu, meninggalkan gedung tua yang kini bergetar hebat di belakang mereka. Saat mereka melangkah keluar, suara derak dan tangisan itu memudar, seperti sesuatu yang hilang kembali ke dalam kegelapan.
Namun, meskipun mereka berhasil keluar, perasaan mereka tidak sepenuhnya tenang. Mereka tahu, malam itu, mereka telah menemukan lebih banyak daripada yang mereka harapkan.