webnovel

Rumah Eyang (2)

Tak terasa pagi sudah menyambutku, udara segar kuhirup dalam-dalam. Suara burung milik tetangga eyangku berbalas-balasan bagai sedang berbincang satu sama lain. Tapi, ditengah keriuhan kicau sang burung, ingatan malam kemarin tiba-tiba muncul, aku masih ingat betul kejadian semalam.

Dengan rasa malas dan masih sedikit ngantuk, kulangkahkan kaki keluar kamar untuk selanjutnya mengisi kran memenuhi bak kamar mandi. Sembari menunggu bak penuh, aku masih saja memikirkan kejadian semalam yang menimpaku.

"Cerita nggaK ya sama eyang, tapi nanti malah bikin takut beliau," pikirku uring-uringan.

Bakpun penuh, bersamaan rasa kantuk yg sudah memudar. Akhirnya aku mandi dan pulang kerumah untuk selanjutnya berangkat ke sekolah. Pagi itu aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian semalam kepada eyang.

Jarak SMP ku dengan rumah cukup jauh, sekitar 20 menitan jika ditempuh menggunakan kendaraan umum. Walaupun sekolahku tak menyediakan bus khusus, tapi ada bus langgananku yang setiap hari aku tumpangi. Kala itu aku hanya perlu membayar 500 perak kepada sang kenek. Bus khusus anak-anak SMP yang menuju ke arah Barat.

Sesampainya gerbang sekolah, aku masih saja uring-uringan tentang kejadian semalam. "Mungkin aku bisa menceritakan kisah ini kepada teman sekelasku," pikirku.

Rasa penasaran itu akhirnya kutumpahkan kala sedang berbincang dengan teman sekelas selepas istirahat sekolah.

"Jo, kamu pernah pas mau tidur badanmu seperti dipeluk sesuatu? Gabisa gerak sama sekali dan sesak?" Tanyaku kepada karib satu bangku di kelasku, sebut saja Tejo.

"Eh iya weh aku pernah beberapa kali kaya gitu, rasanya kaya mimpi tapi kaya beneran. Kata ibuku itu namanya "Direprepi" (ketindihan).

"Kamu sering direprepi jo?"

"Kadang-kadang, tapi sekarang udah ga pernah ndi."

Dari perbincangan antar teman sebangku, perlahan obrolan mulai meluas ke seluruh teman satu kelasku. Kisah dan cerita horror agaknya memang selalu diminati semua orang, tak terkecuali teman satu kelasku.

Mulai dari Anto yang pernah melihat pocong sewaktu di kebun jati, Wati yang mendengar tangisan suara perempuan di wc umum, sampai Mawar yang pernah kerasukan Kuntilanak di rumahnya. Semua orang memiliki kisah mistisnya masing-masing. Tak terkecuali aku yang baru pertama kali mengalami kejadian "Direprepi" ini.

Sepulang sekolah, rasa penasaran ini masih berkecimuk dipikiranku, rasanya masih kurang puas dengan jawaban teman-temanku. Akhirnya aku mengutarakannya kepada ibuku.

"Bu, tadi malem aku direprepi di rumah eyang. Tepatnya di kamar bekas mas Suryo (kakakku). Ibu pernah direprepi?" Tanyaku pelan.

Ibu hanya tersenyum tipis dan membalas perkataanku, "itu biasa, Ndi, jangankan kamu, hampir semua orang juga pernah mengalaminya. Makanya kalo mau tidur kamu baca doa dulu, bersihkan kasur dan selimutmu pake sapu lidi, sehabis bangun tidur beresin dulu, rapikan posisi bantal dan tilap selimutmu."

"Udah gausah takut, yang penting baca doa," imbuhnya.

Setelah obrolan singkat dengan ibuku, akhirnya aku memutuskan untuk mengabaikan kejadian malam kemarin. Aku rasa memang kejadian ini kejadian biasa yang semua orangpun pernah mengalaminya.

Hari rasanya cepat berjalan, matahari yang berada di ujung timur sekarang hampir berpamitan dengan memanggil bulan sebagai gantinya untuk menerangi insan di kala malam tiba.

Setelah puas bermain dengan kawanku di warung bu Ijah, tempat nongkrong favoritku. Akhirnya kita berpamitan dan ijin pulang karena malam sudah mulai larut. Pukul 9 malam kita memutuskan pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalanan desa yang gelap karena lampu penerangan belum seramai sekarang.

Jalanan hanya mendapatkan cahaya dari pantulan lampu milik warga di pinggir jalan, serta cahaya bulan yang malam ini tampil gagah memamerkan bentuk sempurnanya.

"Malam ini kayaknya bulan purnama, lihat deh, itu bulannya tak tertutup awan. Cerah ya kalo purnama, jam 9 rasanya kaya masih jam 7," celetuk salah satu temanku, Radit.

"Iya, enak buat jalan-jalan malam, tapi masih jam 9 aja sepi ya? gaada motor yang lewat satupun," balas lainnya.

"Iya, apalagi di depan noh, pohon bambu udah mau tumbuh kearah jalan masih aja dibiarin. Ga ditebangin aja ya, takut ada orang lewat ketiban bambu, atau truk yang kesangkut."

"Eh kalian pernah denger ga, katanya di sono ada penunggunya, ada yg pernah liat pocong lagi tiduran di tengah jalan," Adi menimpali di tengah obrolan.

"Bukan cuma pocong Di, disono juga ada macan jelmaan manusia, namanya siapa ya lupa aku. Ki..ki.. Kaki Suwir (kakek) kalo ga salah. Orang jaman dulu yang punya ilmu magis gitu," balas Teguh.

"Ishhh udahlah gausah cerita yang aneh-aneh, merinding jadinya," Dani menggerutu ditengah berbincangan. Salah satu orang paling penakut diantara kami. Sepanjang hidupnya, Dani memang tak pernah sekalipun melihat hal-hal yang berbau mistis.

"Hahahaha cemen kamu Dan," celetuk Adi mengejek.

Obrolan demi obrolan masih terus mengalir, dari hal mistis sampai hal-hal seputaran wanita, semuanya kita embat. Dan ditengah perbincangan, Dani curhat dan mengutarakan isi hatinya tentang Yuni, anak pak Kades sekaligus teman sekelasnya.

Gadis cantik yang diidolakan kaum adam di sekolah Dani. Kami berempat memang beda sekolah. Aku di SMP 1, sedang 3 temanku di SMP 3, SMP yang letaknya di depan warung tongkrongan favoritku.

Tak terasa kita sudah sampai di ujung pertigaan. Pemisah arah jalan pulang kita. Aku menuju barat, sedang kawan-kawanku menuju timur.

"Balik dulu ya, ati-ati ada pocong di samping rumah kosong depan, Ndi," Adi melempar perkataan begitu saja kepadaku di persimpangan.

"Ati-ati juga itu pohon nangka depan juga katanya sering ditongkrongin kuntilanak," balasku balik menakuti mereka.

Aku dan kawanku memang sering mengobrol dan cerita seputaran hal-hal horror dan ghaib, tapi kalau kita mengalaminya atau melihat secara langsung, sejujurnya kita takut. Seperti kalian, sok pemberani tapi sebenarnya kalo lihat langsung takut, hahahahahaha.

Langkah demi langkah, aku susuri jalanan desa yg aspalnya mulai rusak dan terkelupas, perkataan iseng Adi tadi nampaknya menyangkut di kepalaku. Rumah kosong yang Adi maksud adalah rumah bekas orangtua Pak Wardi yang sekarang sudah wafat, rumah itu hanya dikosongkan begitu saja. Karena belum ada orang yang mau menyewa atau membelinya.

Sambil berjalan, aku coba mencuri pandang ke arah rumah itu. Bangunan yang umurnya sudah tua, setengah dindingnya dari batu bata, setengahnya masih berdinding kayu. Gelap, sunyi, kaca besarnya kotak persegi berjumlah dua buah dengan satu pintu di tengahnya. Pikiranku langsung melayang kemana-mana, bagimana jika di balik kaca hitam dan besar itu ada sesuatu yang mencoba mengintip keluar dan memandangiku?

"Wushhhhhhhhhhh," angin malam bertiup menerpaku dari arah utara, tepat di depan rumah itu, membuat bulu kudukku langsung berdiri.

Ahhhh sialan jadi merinding gara-gara Adi, batinku.

Kupercepat langkah kakiku, dengan bulu halus di pundak masih bergedik, ku usap pundakku dan mencoba menyingkirkan pikiran negatif itu.

Author Facebook: Dante