webnovel

Ingatan (Yesha)

Yesha cengar-cengir sendiri saat teringat wajah Hanasta yang merah padam ketika dia menggodanya. Meski tak mau mengakui, tetapi Yesha menikmati saat bersama Hanasta dan membuat gadis itu kesal, terkadang malu. Gadis itu masih pembangkang seperti dulu.

Walaupun Hanasta selalu menuruti segala perintah serta kemauannya, tetapi Yesha masih melihat ada pembangkangan pada sorot matanya. Dia tahu kalau Hanasta tak sepenuhnya takluk. Hanya surat perjanjian serta keinginannya mencari sang adik yang membuat gadis itu tunduk, atau berpura-pura tunduk. Dan itulah yang dulu memikatnya.

Tadi pagi, dia memaksa Hanasta untuk pindah dari kamar kost-nya yang kumuh. Untuk sementara, Yesha menempatkan gadis itu di apartemennya yang tak terpakai. Hanasta menurutinya meskipun terus saja bersungut-sungut dan mengutuknya di belakang.

Yesha menepiskan pikiran itu. Dia menikahi Hanasta karena ingin membalaskan dendam pada gadis yang pernah dicintainya itu. Yesha telah mempertaruhkan nyawanya demi Hanasta, tetapi gadis itu malah meninggalkannya.

Yesha masih ingat perasaan bingung ketika dia tersadar di rumah sakit. Kepalanya berdenyut-denyut. Saat itu, yang pertama kali justru keadaan Hanasta, bukan soal kondisinya sendiri.

Kedua orang tua serta saudari kembarnya, Yara, bergantian menjaganya di selama dia menjalani pemulihan di rumah sakit. Dari mereka, Yesha akhirnya tahu bahwa dia sempat koma selama empat hari akibat benturan di kepalanya. Sienna—ibunya, memeluknya sembari menangis tersedu-sedu lama sekali.

Yesha mengingat hampir seluruh kejadian malam itu, tetapi tak ingat bagaimana kepalanya bisa terluka. Selama di rumah sakit, Yesha bertanya-tanya mengapa Hanasta tidak menjenguknya barang sekali saja. Dia terus mendesak keluarganya, tetapi mereka tetap bungkam.

Ketika akhirnya diperbolehkan pulang, barulah keluarganya memberitahu yang sebenarnya, bahwa Hanasta ditahan karena sudah membunuh ayah tirinya. Yesha sangat terkejut dengan kabar itu dan tak mau memercayainya. Menurutnya, tak mungkin Hanasta sanggup melakukan itu.

Setitik ingatannya yang hilang itu selalu mengganggu Yesha. Dia memiliki daya ingat yang luar biasa kuat. Yesha bisa mengingat segala sesuatu sampai ke detail terkecil hanya dengan sekali mengamati. Ingatannya nyaris sempurna, sehingga tak nyaman rasanya saat Yesha mengetahui ada satu kepingan memori yang menghilang. Dia sering memaksakan diri untuk mengingat bagian yang hilang itu. Tetapi bukan ingatan yang didapat, melainkan rasa sakit tak tertahankan di kepalanya ketika Yesha terlalu memaksakan diri.

Yesha menepiskan wajah Hanasta dari benaknya dan menyingkirkan keinginan untuk mengorek-ngorek ingatannya.

'Aku membutuhkan otakku untuk bekerja,' Yesha mengingatkan dirinya sendiri.

Bironya saat ini sedang menangani banyak kasus. Dengan lima tenaga penyelidik yang dia bawahi, enam jika dirinya masuk hitungan, mereka masih saja kewalahan.

Kasus yang kali ini sedang bironya tangani terdiri dari tiga kasus perselingkuhan. Kasus itu hanya tentang istri atau suami yang mencurigai pasangan mereka berselingkuh—atau mereka yang sudah yakin pasangannya selingkuh, tetapi belum memiliki bukti. Kasus yang lain merupakan tentang seorang pejabat yang mendapatkan ancaman pembunuhan.

Kasus menghilangnya Zola merupakan kasus orang hilang kedua yang ia dan bironya tangani. Kasus pertama yaitu saat dia berusaha melacak keberadaan Hanasta yang menghilang begitu saja setelah bebas dari penjara.

Dengan beratnya beban yang ditanggung bironya saat ini, selain bertanggungjawab membagi tugas masing-masing anggota, dia juga harus ikut turun melakukan pengintaian.

Yesha hampir tidak tidur semalaman setelah dia tadi malam mengintai seorang agen properti yang dicurigai selingkuh oleh istrinya. Wanita itu sangat yakin dengan dugaannya tersebut dan meminta agar bironya mencarikan bukti perselingkuhan sang suami.

Kasus itu sudah berjalan hampir tiga minggu, tetapi mereka belum mendapatkan satupun bukti bahwa dugaan sang istri kalau suaminya berselingkuh memang benar adanya. Yesha sempat berpikir kalau wanita itu hanya cemburu berlebihan, meski si istri yakin kalau suaminya bermain dengan sangat hati-hati.

Pagi itu, si istri menghubunginya bahwa suaminya akan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

"Dia bilang mau menemui klien. Tapi saya yakin dia sebenarnya pergi ke tempat selingkuhannya," ujar wanita itu berapi-api.

Meski awalnya meragukan pernyataannya, tetapi ternyata dugaan si istri benar. Si agen properti pergi ke rumah istri mudanya. Dia sudah memiliki seorang putra berusia sekitar tiga tahun dari si istri muda. Yesha memastikan info itu valid setelah bertanya pada beberapa tetangga yang mengenal baik pasangan itu. Dia juga melampirkan beberapa foto sebagai bukti.

Yesha menguap lebar.

Dia melirik ke pintu kamar yang ada di dalam kantornya, tetapi menepiskan keinginannya untuk tidur barang sekejap. Pekerjaannya masih banyak. Dia harus mulai menindaklanjuti kasus teror dan ancaman pembunuhan si politisi, serta menghilangnya Zola.

Setelah mengurus kepindahan Hanasta, Yesha segera kembali ke kantornya. Dia meregangkan tubuhnya, kemudian diiringi erangan yang terdengar enggak banget, Yesha bangkit dari kursinya, kemudian menyeret langkahnya keluar kantor dengan mug kosong di tangannya.

"Tampang lo payah banget," ujar Karen dari balik mejanya. Sang sekretaris sedang hamil besar. Dia menduga Karen bisa melahirkan kapan saja, meski perempuan itu berkata waktu persalinannya masih sekitar dua bulan lagi.

Yesha mengingatkan dirinya untuk mencari karyawan temporer untuk menggantikan Karen sementara perempuan itu mengambil cuti melahirkan.

Yesha memutar bola matanya, mengacuhkan perkataan Karen dan mengeluyur ke arah dapur untuk membuat kopi hitam. Dia berharap cairan hitam pahit itu mampu mendongkrak semangatnya. Semenjak Karen hamil, dia dan anggota timnya yang lain jadi terbiasa membuat minuman sendiri, kecuali saat ada tamu.

Yesha menjerang ketel. Dia melongokkan kepalanya ke luar dapur dan berseru, "Lo mau gue bikinin sekalian nggak, Mbak?"

"Nggak. Makasih," sahut Karen.

Suara lain menyahut, "Gue mau juga dong, Yesh. Jangan kemanisan, ya."

Yesha menyumpahinya. Itu suara anggota timnya yang lain, Fabian. Salah satu yang terbaik di biro detektifnya. Pria itu seniornya saat di kampus dulu.

Beberapa menit kemudian, dia keluar dari dapur dengan dua gelas berisi kopi hitam. Fabian sedang berdiri di depan meja Karen yang sedang menghitung uang pecahan seratus ribuan—yang kemudian diserahkan pada pria itu.

Fabian bertubuh tinggi dan kekar mirip tukang pukul, dengan rambut gondrong sebahu. Dia mengenakan setelan celana jins, jaket kulit, serta sepatu bot. Lebih mirip anggota geng motor daripada detektif. Sama seperti Karen, pria itu sudah bekerja dengan Yesha sejak awal biro detektif ini berdiri.

Pria itu nyengir lebar ketika melihat Yesha membawa dua gelas kopi.

"Ini yang bikin gue betah di sini. Meski beban kerjanya udah kayak kerja paksa, tapi gajinya gede, terus bosnya juga pengertian banget," guraunya. Dia memasukkan uang itu ke dompet, kemudian menyusul Yesha duduk di sofa.

Yesha duduk di sofa di seberang Fabian dan mengacungkan jari tengah ke arah pria itu. Fabian tergelak. Sementara di balik mejanya, Karen hanya bisa menggeleng-geleng sembari mengusap-usap perutnya yang membuncit, berharap tingkah laku anaknya kelak tak seperti kedua pria di hadapannya.

"Lo kayaknya mesti ngambil cuti, Yesh. Tampang lo parah banget. Kayak habis kelindes rombongan babi," Fabian menyarankan.

"Gue tadi bilang kayak gitu," Karen menimpali, sambil membereskan bon pengeluaran mingguan yang tadi diserahkan Fabian.

Yesha memutar bola mata. "Gue cuma kurang tidur," tukasnya. Dia berpaling pada Karen, kemudian berkata, "Kasus si agen properti udah beres. Kasus apa lagi yang ada di daftar tunggu?"