webnovel

Menjelang Pernikahan

Sudah dua minggu berlalu semenjak aku dan Yesha menandatangani surat perjanjian tersebut. Aku tak tahu sudah sejauh mana proses penyelidikan yang dilakukan Yesha untuk mencari Zola. Saat aku menanyakannya, Yesha selalu menjawab, "Kamu nggak perlu ikut campur, biar aku sama biro-ku yang urus."

Aku hanya bisa berharap dia sungguh-sungguh menepati janjinya.

Atas perintah Yesha, aku juga sudah keluar dari pekerjaanku. Mbak Feri menyambut baik kabar mengenai pernikahanku, meski agak menyayangkan karena aku harus keluar dari toko. Dia tidak tahu menahu mengenai permasalahanku dan aku tak berniat untuk melibatkannya.

Aku tak tahu kapan Yesha mengurusnya dan dari mana mendapatkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk persyaratan pernikahan kami.

Saat aku menyatakan pada Jasmine dan Rascal akan keluar dari D Daddy's, keduanya memiliki reaksi berbeda. Jasmine senang dengan kabar pernikahanku. Menurutnya, itu kabar baik karena berarti aku akan memiliki seseorang yang membantuku mencari Zola. Aku tidak akan melalui segalanya seorang diri dan aku punya seseorang untuk berbagi beban.

"Semoga Tuhan memberkati pernikahan kalian, Sayang," ucapnya parau. Aku tak melihat ada air mata, tetapi Jasmine menyeka matanya.

Tidak seperti reaksi Jasmine, sebaliknya Rascal justru tampak khawatir. Dia mempertanyakan mengapa begitu tiba-tiba, tetapi aku berkilah bahwa kami sudah merencanakannya cukup lama. Dari ekspresinya, aku tahu Rascal tidak memercayai perkataanku. Lagi pula, mana ada cowok yang membiarkan pacarnya kerja di kelab malam dan malah menyewanya? Mungkin saja, kalau cowok itu memiliki kelainan.

Aku tahu mereka semua peduli padaku dan ingin yang terbaik untukku. Bahkan Rascal yang berulang kali menegaskan bahwa dirinya tak lebih dari seorang bajingan yang memanfaatkan gadis-gadis putus asa demi keuntungannya pun tak seburuk apa yang selalu dia katakan. Dia justru melindungi kami di sini. Rascal tak pernah memaksa kami melakukan sesuatu di luar kehendak kami. Segalanya sepenuhnya kami lakukan atas keinginan kami sendiri.

Saat aku pergi, dia memelukku cukup lama dan berbisik, "Yesha yang kukenal orang baik, tetapi terkadang dia bisa menjadi seseorang yang sangat berengsek. Kalau kau butuh bantuan, jangan pernah ragu untuk menghubungiku."

Aku mengangguk. "Terima kasih banyak, Rascal. Kau sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Terima kasih sudah membantuku," balasku.

Rascal menggeleng. "Seorang ayah tidak akan mempekerjakan putrinya di tempat seburuk ini, Nak," ujarnya. Matanya tampak berkaca-kaca.

Tanpa bisa kutahan, bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman tulus. "Lebih tepatnya, kau tidak memaksaku untuk melakukan semua ini. Seseorang yang dulu katanya ayahku—meski hanya ayah tiri, pernah hampir menjualku ke rumah bordil dan selalu memukuliku saat dia kesal. Kau orang baik, Rascal. Kau melindungi kami semua." Kemudian aku mengecup pipinya.

"Oh, sialan kau Hanasta," umpatnya seraya menarikku kembali ke dalam pelukannya. Aku membalas pelukannya.

"Aku akan mencoba bertanya pada koneksiku di dunia bawah tentang adikmu. Mungkin saja mereka tahu sesuatu," ujar Rascal saat dia melepaskan pelukannya.

"Sekali lagi, makasih banyak, Rasc. Aku sungguh berhutang budi padamu," bisikku. Setitik air mata mengaliri pipiku.

***

Yesha memintaku agar selalu siap kapan pun dia memanggilku, entah untuk menanyaiku detail-detail mengenai menghilangnya Zola, ataupun untuk mengurus detail-detail pernikahan kami. Aku datang dan pergi sesuai keinginannya. Aku bahkan sampai mengganti nama kontaknya menjadi 'Baginda Raja', karena sikapnya memang benar-benar seperti seorang raja.

Pagi itu, dia tiba-tiba datang ke kamar kost-ku tanpa mengabari lebih dulu. Saat aku memprotes tentang kebiasaan Yesha yang selalu berbuat seenaknya, dia hanya berkata, "Terserah gue lah."

'Yaah … terserah kau saja, Baginda Raja. Alam semesta ini milikmu seutuhnya. Kami semua hanya menumpang di sini,' batinku sambil mengikuti Yesha masuk.

Aku menahan diri untuk memukul kepalanya dari belakang dan hanya bisa menyumpah dan memakinya di dalam hati.

Dia bertolak pinggang, mengamati kamarku yang hanya seluas kamar mandinya di kantor dengan lagak sok berkuasa bak seorang juri pengadilan. Dari samping, aku bisa melihat dahinya berkerut dalam. Tiba-tiba, tanpa peringatan apa pun, dia berkata tanpa mau repot menoleh ke arahku, "Beresin barang-barang lo. Cukup yang penting-penting. Lo pindah dari sini sekarang juga."

Aku membelalak. Pindah dia bilang? Apa aku tidak salah dengar? Eggak mungkin dia membawaku ke rumahnya sebelum kami resmi menikah kan?

Seolah bisa membaca apa yang kupikirkan, Yesha mengetuk keningku dengan telunjuknya seraya berkata, "Singkirkan pikiran kotor lo itu. Lo pindah ke apartemen gue untuk sementara waktu. Nggak besar, tapi nggak sekecil ini juga." Yesha melambaikan tangan ke ruangan seluas 4x4 meter yang sudah menjadi tempat perlindunganku selama enam bulan terakhir. Hidungnya mengerut jijik. "Kamar mandi gue bahkan lebih luas dari ini," ujarnya melontarkan penghinaan pamungkas.

'Nah, songongnya mulai keluar,' batinku kecut.

Setengah jam selanjutnya terasa begitu berat di hidupku. Aku membereskan barang-barangku yang tak seberapa diiringi berbagai komentar, celaan, sindiran, dan hinaan dari Yesha. Dia melontarkan semua itu sambil bermain ponsel dan tiduran di atas kasurku seperti di rumah sendiri.

Aku hanya melemparkan lirikan tajam, mengabaikan komentar-komentar pedasnya. Bahkan ketika komentarnya tak relevan lagi, seperti mengomentari soal bentuk bokongku serta perintahnya agar aku sedikit menaikkan berat badan, aku berpura-pura tidak mendengar.

"Gue nggak mau dikira nikah sama kerangka laboratorium IPA," cemoohnya.

'Berengsek!'

Yesha sepertinya sangat menikmati kegiatannya mengomentari orang lain, atau mungkin dia hanya suka mendengar suara dan omong kosongnya sendiri. Entahlah. Aku sih menduga yang kedua.

Kemudian, Yesha tak lagi bicara. Mungkin dia sudah muak mendengar suaranya sendiri, sama sepertiku. Aku sempat mengira dia akan terus mengoceh dan takkan berhenti sampai telingaku berdarah. Namun, saat aku berbalik, ternyata dia tertidur pulas.

Aku berkacak pinggang.

Kemudian, aku melangkah mendekatinya dan saat itu baru kusadari kelelahan yang ada di wajahnya. Tampak lingkar hitam samar di bawah matanya.

"Tau nggak? Aku lebih menyukaimu saat tidur daripada saat terjaga. Kamu nggak terlihat terlalu menyebalkan."

Aku membungkuk di atasnya, kemudian mengulurkan tangan untuk menepiskan helai rambut yang menjuntai ke dahinya. Tak ada lagi sorot mata dingin dan penuh kebencian. Yesha tampak begitu tenang. Tidak ada ketegangan di wajahnya.

Tanpa sadar, jemariku bergerak menyusuri wajahnya. Mata, hidung, tulang pipi yang tinggi, serta rahang yang kokoh. Dulu saat kami masih berpacaran, dia pernah menunjukkan foto ayah kandungnya. Aku masih mengingat rupa pria itu.

Ayah kandung Yesha tampan dengan karakter wajah yang bisa dibilang khas Prancis. Yesha mirip seperti dia, tetapi dengan karakter wajah lebih lembut yang sepertinya dia warisi dari ibunya.

"Udah puas mengagumi ketampanan gue?" tanya Yesha tiba-tiba membuatku tersentak. Namun, sebelum aku sempat menjauh, dia menarikku sehingga terjatuh di atas tubuhnya.

Senyum mengejek yang mulai akrab di mataku menari-nari di bibirnya. Matanya berkilat-kilat. "Nyoba godain gue dengan mamerin belahan dada lo itu tepat di depan wajah gue? Udah nggak sabar buat nunggu seminggu lagi, ya?"

'Dia benar-benar berengsek!'