Setelah memastikan jika Meta telah duduk, Yoga pun mendekat ke tempat tiga temannya. Bahunya ditepuk berkali-kali, mereka seolah tampak takjub jika seorang Yoga bisa berada di sini malam ini. Siapa yang akan menyangka, jika seorang sekelas Prayoga Mahardika yang sangat sibuk akan sudi meluangkan waktu datang pada sebuah pesta ulang tahun dari seorang perempuan. Dan ya, teman-temannya lebih tahu lagi adalah, yang ulang tahun tidak lain adalah wanita yang sedari dulu terus mengejar-ngejar Yoga.
"Tumben lo nongol di pesta-pesta gini, Becca udah nyogok lo pakai apa?" tanya Bayu. Dia pun tampak mengulum senyum, sebab dia tahu pasti jika hampir tiap tahun Becca melakukan segala hal untuk membuat Yoga datang. Dan akhirnya, di malam ini untuk yang pertama kali Yoga benar-benar datang. Siapa yang tak penasaran tentang itu?
"Perempuan itu nggak bakal nyerah sampai dia dapetin Yoga. Minimal bisa tidur ama Yoga!" seru Bima. Semua temannya langsung bertos ria, seolah menyetujui ucapan dari Bima. Sepenasaran itu Becca dengan Yoga sampai membuat wanita satu itu kelimpungan luar biasa.
Tapi, apa yang menjadi bahan bahasan, dan tawaan dari teman-temannya, Yoga sama sekali tak ikut bicara. Bahkan dia hanya diam sambil sesekali mengamati Meta. Ya, ada Fabian yang mendekati meja Meta. Yoga memerhatikan itu. Dia tak bicara, dia tak melangkah kemana-mana, namun ada satu yang menandakan dia tampak tak suka. Pandangan dingin itu, serta rahangnya yang tampak mengeras. Dia, tak mau Meta didekati oleh laki-laki mana pun.
"Kenapa lo nggak mau aja sih, Ga? Tidur ama Becca kan nggak ada salahnya," imbuh Bayu. "Tubuhnya juga bahenol, bahkan kita-kita juga penasaran pingin tahu rasanya Becca, sekali-kali nggak apa-apa, kan. Kan lo single juga," lanjut Bayu kemudian.
Yoga langsung memicingkan matanya, memandang Bayu dengan tatapan tajam. Seolah tak suka dengan apa yang baru saja Bayu ucapkan. Sementara Bima yang menangkap mimik wajah tak suka Yoga pun, langsung menarik tubuh Bayu, kemudian dia pun tertawa dengan nada yang kaku.
"Udah-udah, ngomong apa sih kalian pada. Yoganya udah nggak nyaman ama bahasan kalian," tegur Boy. Boy kembali melirik Yoga yang tampak kesal tapi dia tak membuka suara. Itu adalah salah satu kebiasaan Yoga, irit bicara bahkan kepada para sahabatnya. Meski dia dalam keadaan marah sekalipun. "Ohya, Ga, lo ke sini ama siapa?" tanyanya basa-basi, mencoba mencairkan suasana dan membuat Yoga kembali nyaman.
"Pasangan," jawab Yoga singkat.
Ketiga temannya langsung memekik, saat Yoga mengatakan itu. Demi apa pun, bahkan selama perkuliahannya dulu, sampai detik ini sebelum Yoga mengatakan itu. Mereka tahu pasti siapa Yoga. Tipikal laki-laki yang seolah tak memiliki minat kepada wanita. Sebanyak apa pun wanita itu mengejarnya.
"Serius?" tanya ketiganya tampak kaget.
Apa benar yang dibawa Yoga adalah pasangan? Pasangan yang berjenis kelamin wanita, kan? Sebab bagaimanapun, ada rasa curiga dari ketiga sahabatnya. Karena selama ini Yoga menjauhi wanita, yang mereka pikir adalah jika benar, kalau Yoga tak memiliki minat dan hasrat kepada manusia berjenis kelamin wanita.
"Dia di sana," lanjutnya. Sambil menunjuk tempat Meta dengan dagunya.
Ketiganya pun tampak menoleh, melihat pada ujung pandang Yoga. Memicingkan mata mereka seolah hendak memastikan, bagaimana gerangan wajah sosok yang diakui Yoga sebagai pasangannya, agar dia benar-benar yakin jika benar itu adalah pasangan dari sahabatnya.
"Yang sama Fabian itu?" tebak Boy. Yoga pun mengangguk. Boy langsung memekik. Jadi benar jika wanita berwajah cantik yang sedang duduk dengan Fabian itu adalah pasangan dari Yoga? Jika iya, maka hal itu benar-benar luar biasa. Tapi, Boy pun tak menampik, seorang Yoga Mahardika jika tidak memiliki pasangan yang sempurna adalah perkara yang percuma.
"Gila, cantik banget tuh cewek. Lo nemu di mana, Ga?" kini giliran Bima yang bertanya. Dia masih tampak terpukau dengan kecantikan Meta.
"Kantor," jawabnya. Lagi-lagi jawaban singkat itu yang didengar teman-temannya, namun mereka tampak tak peduli. Toh selama ini Yoga yang mereka kenal memang seperti itu.
"Karyawan elo?" tanya Bima lagi. Yoga mengangguk dengan senyumannya.
"Yakin, Ga? Bukan dari konglomerat, artis, atau anak pejabat?" selidik Bayu. Lagi Yoga menggeleng. Yoga memilih pasangan dari kalangan biasa saja, bahkan seorang karyawannya? Apa Yoga benar-benar sudah gila?
"Untuk apa? Toh aku bisa memberinya segalanya,"
Jawaban itu sontak membuat tiga temannya saling jotos. Benar juga apa kata Yoga, dan ketiga temannya pun tak memiliki hak untuk mengadili pilihan Yoga. Hanya saja ketiganya menjadi semakin penasaran dengan perempuan itu. Sehebat apa sampai bisa membuat Yoga bertekuk lutut di hadapannya.
Dan di sisi lain, Meta tampak melirik Fabian dengan sebal. Sedari tadi yang dilakukan cowok di sampingnya ini hanya bercerita sambil meneguk minuman beralkoholnya.
"Beneran elo ke sini ama Yoga?" tanya Fabian. Meta mengangguk seperlunya. "Ini kan pesta, Met. Yoga nggak mungkin butuh sekertaris di pesta ulang tahun, kan?" tanya Fabian lagi. Dia benar-benar merasa aneh dengan Yoga. "Kalau lo mau ke pesta ini, elo tinggal ngomong ama gue. Gue bakal temenin elo."
"Enggak, makasih," ketus Meta. Dan itu berhasil membuat Fabian terkekeh geli. Baru kali ini, dan baru Meta yang bisa menjutekinya sampai seperti ini.
"Lo pasti mau diperalat Yoga...," kata Fabian pada akhirnya. "Lo tahu, yang ngadain pesta ulang tahun ini adalah cewek yang sedari dulu naksir Yoga. Dan gue yakin, dengan ngajak elo, Yoga akan beralasan udah punya cewek biar nggak digangguin cewek itu."
Ya, Meta juga merasa seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, toh dia tak memiliki hak untuk menolak perintah telak atasannya. Kalau dia menolak, yang ada atasannya itu akan melakukan sesuatu kepadanya. Dan hal yang mengerikan dari itu semua adalah, Meta tidak mau dipecat. Sudah itu saja!
"Yoga sepertinya nggak kenal Becca. Cewek itu punya 1001 cara untuk mendapatkannya," guman Fabian, sembari menyeringai memandang ke arah Meta.
"Mbak Becca?"
"Lho elo Meta, kan?"
Meta langsung berdiri, menyalami Becca kemudian memeluknya sekilas. Dia benar-benar tak tahu, bagaimana bisa dia bertemu dengan Becca di tempat ini? Atau jangan-jangan ini adalah pesta ulang tahun Becca? Mantan boss dari perusahaan temppat ia kerja terdahulu?
"Kalian kenal?" tanya Fabian kaget.
Becca tertawa, kemudian dia menjitak kepala Fabian. "Dia ini mantan karyawan gue yang paling kompeten. Asal lo tau!" katanya. Kemudian dia menarik tangan Meta, mengajaknya untuk menjauh dari Fabian. "Met, gue denger elo sekarang jadi seketarisnya Yoga, ya?" selidik Becca.
Meta hanya tersenyum hambar, tampaknya Meta baru paham jika Becca yang tergila-gila dengan Yoga adalah Becca mantan bos perusahaannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing sekarang. Bagaimana bisa dia terjebak dalam pusaran orang-orang gila seperti ini? Bagaimanapun, meski ini adalah kepura-puraan, bagaimana jadinya jika Becca tahu jika ia kesini bersama dengan Yoga. Terlebih, Yoga ingin dia berpura-pura jadi pasangannya? Bisa-bisa Meta akan dikuliti oleh Becca atau malah dimutilasi hidup-hidup. Dia lebih tahu tentang Becca dari siapa pun itu!
"Oh, itu...." kata Meta bingung. Dia tidak tahu harus berkata apa, bahkan mulutnya terasa tercekat untuk sekadar mengeluarkan suara.
Mata Meta melotot saat Yoga berjalan ke arahnya, dia tahu betul seperti apa Becca. Ini benar-benar kiamat baginya.
"Mbak, sepertinya gue harus ke toilet, deh,"
"Eh tunggu dulu, gue ada kerjaan buat elo. Menguntungkan," kata becca.
Lagi Meta menelan ludahnya dengan susah, sambil melihat ke arah Yoga yang tampak sudah melotot ke arahnya.
"A... apa, Mbak?"
"Gue beri elo sepuluh juta, dengan catatan elo harus dapetin nomor Yoga buat gue,"
Bab 5 (c)
"O... oke, Mbak. Nanti gue kasih ke elo, ya, kalau udah dapet," jawab Meta setengah gugup. Mendapatkan sepuluh juta hanya dengan meminta nomornya bosnya, itu adalah pekerjaan yang menyenangkan.
Meta buru-buru pergi, saat Yoga mulai mendekat ke arahnya. Berada pada jauh dari Yoga saat ada Becca adalah hal yang terbaik. Karena jika tidak, Becca akan tahu jika Yoga membawanya kesini untuk berpura-pura jadj pacarnya.
"Yoga, lo dateng?" tanya Becca.
Yoga yang hendak mendekat ke arah Meta pun berhenti, mencari keberadaan Meta yang sudah hilang entah ke mana.
"Lo dateng ama siapa?" tanya Becca lagi.
Yoga melirik Becca sekilas, kemudian dia memandang lurus-lurus pandangan yang ada di depannya.
"Sama kekasihku," jawabnya enteng.
Becca tampak kaget mendengar penuturan itu, tapi dia berusaha untuk bersikap tenang.
"Di mana pacar lo?" tanyanya lagi.
Yoga menunjuk tempat hilangnya Meta dengan dagunya.
"Ke sana," jawab Yoga. Hendak melangkah tapi tangannya ditarik oleh Fabian.
"Ya, gue mau ngomong," katanya.
Becca yang tahu jika Fabian, dan Yoga hendak berbicara sesuatu penting pun memilih untuk pergi.
"Elo gila, ya?" kata Fabian setelah melihat Becca pergi.
Yoga mengerutkan alisnya, memandang Fabian dengan tatapan bingungnya.
"Elo bilang sama temen-temen kalau Meta cewek elo?"
"Kenapa?"
Fabian pun tertawa mendengar pertanyaan Yoga, seolah pertanyaan Yoga adalah hal yang sangat lucu.
"Udah lo nggak usah bohongin gue, gue udah tahu yang sebenernya. Meta udah ngasih tahu gue," kata Fabian lagi.
Yoga hanya diam, memerhatikan Fabian yang kini mengitarinya. Kemudian berhenti, dan bersedekap tepat di depannya.
"Jadi kapan drama ini akan selesai? Soalnya udah dari lama Meta itu jadi inceran gue,"
"Maksudmu?" tanya Yoga pada akhirnya.
"Gue mau jadiin Meta jadi pacar gue, Ga."
Mendengar pernyataan itu, Yoga kembali diam. Dan dia benar-benar tak tahu ada yang mulai aneh di hatinya. Fabian yang melihat ekspresi datar sepupunya itu pun kembali meneliti sepupunya, menarik sebelah alisnya kemudian kembali tertawa.
"Lo nggak naksir dia, kan? Lo nggak berpikir kalau Meta adalah cewek cantik yang istimewa di hati elo, kan?" selidik Fabian. Yang hanya diabaikan oleh Yoga. Yoga memilih untuk pergi mencari keberadaan Meta yang telah menghilang cukup lama darinya.
Sementara di sisi lain, Meta tampak syok, saat melihat Subroto telah berdiri di hadapannya dengan tatapan menghina. Kemudian dia menarik tangan Meta untuk menepi, mencari tempat yang jauh dari keramaian.
"Mau apa, lo! Jangan berani-beraninya lo sentuh gue!" bentak Meta yang mulai emosi.
Subroto adalah dalang di balik semua hidup sialnya. Kalau saja Subroto tidak menggodanya, dan melakukan pelecehan kepadanya dulu. Pastilah dia masih bekerja dengan aman dan tentram.
"Kamu dipecat dari perusahaan, kabarnya pindah ke perusahaan GM Group, ya? Jadi sekertaris? Sepertinya sekarang kamu sudah pintar untuk memanfaatkan tubuhmu, ya."
Plak!!!
"Gue nggak nyangka, ya, ternyata otak lo sama menjijikkannya ama wajah lo!" kata Meta mulai emosi.
Subroto malah tertawa, dia langsung menarik tangan Meta kemudian menghimpit tubuh Meta.
"Ayolah, aku hanya ingin sekali saja,"
Bukk!!
Meta kaget saat tubuh Subroto tiba-tiba tersungkur. Matanya terbelalak melihat Yoga sudah ada di sana. Menarik tangan Meta, dan membawa tubuh Meta dalam pelukannya.
"Berani kamu menyentuh kekasihku, akan ku potong-potong tanganmu itu," desisnya. Kemudian mengajak Meta untuk pergi dari ruangan itu.
"Siapa?" tanya Yoga pada akhirnya, setelah keduanya kembali duduk di meja mereka.
"Subroto, mantan atasanku dulu," jelas Meta. "Aku keluar dari perusahaan karena hampir diperkosa ama aki-aki jelek seperti dia. Tapi dia nuduh aku melakukan penggelapan uang perusahaan. Cih!" geramnya.
Yoga mengambilkan Meta air mineral agar seketarisnya itu meminumnya. Menenangkan sejenak pikiran jengkelnya.
"Apa ada yang sakit?" tanya Yoga lagi.
Meta terdiam sesaat mendengar pertanyaan aneh itu. Kemudian dia cepat-cepat menggeleng.
"Ga...," katanya. Aneh memang ketika memanggil atasannya itu tanpa kata 'Pak', tapi Yoga tampak memerhatikan Meta dengan seksama. "Boleh minta nomor HPnya?" tanyanya hati-hati. Yoga hanya diam, tak merespon ucapan Meta, dan itu berhasil membuat Meta kelabakan. "Soalnya--"
"Aku sudah miss call nomermu," kata Yoga kemudian.
Meta langsung girang bukan main. Upah sepuluh jutanya benar-benar akan ia dapatkan saat ini juga. Kemudian, dia mencoba mencari-cari di mana Becca berada. Rupanya, Becca tampak duduk bersama Fabian dan kawan-kawan.
"Buah?" tawar Yoga.
Meta pun menggeleng, tanpa sadar ia membuka mulut saat Yoga menyuapinya. Untuk kemudian, dia kembali memandang Yoga dengan perasaan canggung.
'Ini bagian dari drama pacaran, kan?' tanya Meta pada dirinya sendiri. Untuk kemudian dia tersenyum getir sambil menggaruk tengkuknya.
"Ga, aku boleh nemuin Fabian sebentar?" tanya Meta, yang berhasil membuat Yoga menghentikan kegiatannya menyuapi Meta.
Tapi Yoga masih diam, dia tak mengatakan apa pun. Sampai Meta berdiri dengan perasaan gembira luar biasa. Memerhatikan Meta yang tampak sudah akrab dengan Fabian, dan melihat Fabian tampak merangkul Meta.
Yoga tersenyum, dia meneguk beberapa wine yang baru saja disuguhkan oleh pelayan hotel. Untuk kemudian, mata Yoga memerhatikan Fabian tampak mencekoki Meta dengan beberapa minuman beralkohol. Yoga bisa menebak, bagaimana ini akan terjadi selanjutnya. Fabian pasti akan mengajak Meta memesan sebuah kamar, dan bercinta sampai pagi.
Yoga berdiri, kemudian melangkah keluar dari hotel itu dan berdiri di sana. Dia tak masuk mobil, juga tak melakukan apa pun. Selain benar-benar berdiri sambil memandang pintu hotel itu lurus-lurus.
"Pak Yoga, di mana Mbak Meta?" tanya Pak Cipto saat melihat bosnya itu keluar dari hotel.
"Minum, sama Fabian," jawab singkat Yoga. Yang masih tampak begitu tenang.
"Bapak tidak bawa Mbak Meta pulang? Nanti Mbak Meta diapa-apain sama Pak Fabian," kata Pak Cipto yang tampak khawatir. Dia tahu tabiat dari sepupu bosnya itu, yang akan melakukan hal gila dengan wanita-wanita cantik.
"Meta yang datang ke Fabian sendiri," jawab Yoga lagi. Mengingat betapa bahagianya Meta saat ingin menemui Fabian. Lagi Yoga menghela napas panjang, untuk kemudian melangkah menjauhi pintu hotel itu. Sembari meregangkan lilitan dasinya, Yoga tampak menyenderkan tubuhnya di mobil. Entah bagaimana caranya, kepalanya tiba-tiba mendadak sakit.
"Met, gue bisa anter lo pulang,"
"Nggak mau! Gue mau pulang ama Yoga!" teriakan Meta berhasil membuat Yoga menoleh.
Dia melihat Fabian berusaha merangkul Meta, tapi ditepis oleh Meta. Meta yang jalannya sempoyongan pun membuat Yoga khawatir Yoga pun akhirnya mendekat, sembari bersedekap ia melihat ke arah Meta, dan Fabian.
"Waktunya Meta pulang," kata Yoga pada akhirnya.
Dia meraih tangan Meta, tapi ditepis oleh Fabian. Tatapan Fabian tampak tak suka, matanya menajam seperti macan yang tak ingin kehilangan mangsanya.
"Biar gue yang anterin, Ga. Lo pulang duluan,"
"Saat ini Meta masih jadi kekasihku. Jadi seharusnya akulah yang mengantarnya pulang."
Fabian hanya bisa terdiam, saat Yoga menarik Meta untuk pergi. Merengkuhnya dengan sangat posesif, kemudian masuk ke dalam mobil. Yoga memerhatikan, perempuan yang kini telah bersandar di bahunya itu rupanya mabuk berat.