Kejadian kemarin benar-benar membekas di ingatanku. Aku bahkan masih bisa mengingat aroma parfum Michael dan kehangatan punggungnya. Lalu setelah kusadari, harapanku agar tak bertemu lagi dengannya dan tidak lagi pergi ke tempat itu mungkin tak akan terjadi.
Setidaknya hingga aku mengembalikan jaket Michael yang tertinggal padaku.
***
Hari ini hari Minggu, aku tak harus pergi ke sekolah, atau pergi kemana pun. Karena hari minggu adalah hari mencuci dan bersih-bersih rumah. Sejak masuk SMA aku tak banyak menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Sejujurnya aku tak memiliki banyak teman, dari dulu.
Keluargaku adalah keluarga terpandang, ayahku adalah anggota parlemen di kota ini. Ibuku memiliki sebuah toko tas bermerknya sendiri. Karena hal itu, ayah dan ibuku sangat ketat terhadap orang-orang yang dekat denganku. Mereka berpikir aku akan mudah dimanfaatkan. Karena seperti yang pernah mereka alami, orang-orang mendekati mereka hanya karena latar belakang mereka.
Tapi sejak masuk SMA aku diperbolehkan tinggal sendirian disini, atas pengawasan dari pamanku yang merupakan pengajar di sekolah tempatku belajar saat ini.
Aku bersyukur.. ada sebuah kebebasan yang akhirnya bisa aku rasakan sebelum akhirnya aku lulus dan kembali menjadi manusia yang dituntut untuk sempurna oleh keluarga dan lingkunganku.
Sejak tadi aku sedang asik bersenandung.. menikmati Minggu pagi musim semi yang indah ini. Namun ketika aku harus memasukan semua cucian kotor ke dalam mesin cuci, senandungku berhenti.
Ada sebuah jaket asing didalam tumpukan baju kotorku.
Ah... Jaket Michael! Aku melupakannya!
Melihatnya saja, degup jantungku kembali tak normal. Harapan agar tak bertemu dengan orang semacamnya serta mengunjungi daerah tak ramah itu lagi.. ambruk seketika dalam benakku.
Apa yang harus aku lakukan? mengembalikan jaket ini atau aku biarkan saja?
Sambil menyalakan mesin cuci yang berbunyi mendengung. Aku memikirkan bagaimana nasib jaket lusuh itu. Aku tidak ingin kembali ke daerah penuh orang-orang kasar itu, tapi secuil perasaan ingin bertemu dengan Michael mempengaruhiku.
Rasanya tak tenang. Langkahku cepat menuju dapur. Memasukkan 2 helai roti tawar kedalam mesin pemanggang. Melamun sebentar mendengarkan sayup sayup acara berita pagi dari televisi di ruang tengah.
Tak lama setelah suara mesin pemanggang roti yang berderak, suara bel rumahku pun berbunyi. Aku penasaran, siapa orang tak berkehidupan yang bertamu ke rumah orang pagi pagi sekali. Pamanku? Tak mungkin, di hari Minggu ini, mungkin saja dia masih tidur dengan nyaman bersama teman wanitanya yang entah pacarnya atau bukan.
"Sebentar." Dari dapur aku berlari menuju pintu depan. Membukanya dengan cepat dan terkejut hingga menganga.
Michael, malaikatku ada di depan pintu saat ini. Tersenyum manis secerah matahari pagi di ufuk sana.
"Yo Maria!" Sapanya.
"Ah! Michael! Silahkan masuk dulu." Inginnya aku ingin menanyakan 'ada apa?' atau 'kenapa?' tapi suara mesin pengeringku telah berbunyi. Aku harus segera mengeluarkan cucianku, jika tidak baunya akan tidak sedap.
Ia masuk dengan kikuk, celingukan ketika sudah berada di dalam. "Duduk dimana pun kau suka, Michael. Aku harus mengurus cucianku dulu." Kebetulan sekali dia kemari bukan? Meski aku tak tahu apa alasannya tapi ini kesempatanku untuk mengembalikan jaketnya tanpa harus pergi ke tempat itu.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Michael berdiri sebentar lalu duduk di salah satu kursi sofa dekat jendela. Pandangannya terus tertuju pada luar jendela, dari matanya yang memerah aku yakin dia belum tidur hari ini. Apakah ia pulang bekerja dan langsung kemari?
Setelah mengurus pakaianku dan menjemur Beberapa yang masih agak basah, termasuk jaket milik Michael. Aku kembali membuat sarapan. Kuputuskan untuk membuat satu lagi untuk Michael. Roti isi telur dan beberapa iris daging panggang. Serta 2 gelas jus jeruk segar.
Aku cukup terampil untuk menyiapkan semua itu. Ini adalah salah satu yang bisa aku banggakan sebagai seorang wanita. Setidaknya walau aku tak pandai memulai sebuah obrolan dan tak terlihat menyenangkan, aku pandai memasak dan mengurus rumah.
Dengan nampan aku membawakan menu sarapan untuk kami berdua di ruang tengah. Michael tampak terkejut saat aku datang dengan makanan.
"Apa ini?" Tanyanya dengan wajah yang masih terkejut. Lucu sekali.
"Sarapan. Aku yakin kau belum sarapan. Pulang bekerja?" Setelah meletakkan nampan di meja aku duduk di sisi nya.
"Kau bisa membaca pikiran ya?" Michael memiringkan kepalanya lalu tersenyum, "Sebenarnya aku kemari untuk menyerahkan ini." Ia meletakkan sebuah paper bag besar.
Aku membukanya, itu berisi tas ranselku lengkap dengan isinya dan juga beberapa barang yang hampir dirampas para preman kemarin sore.
Ya Tuhan..
"Kau repot-repot membawakannya?!" Aku ingin menangis saking terharunya.
"Kemarin aku memungutnya dan karena aku tak bisa menghubungimu karena ponselmu ada padaku dan juga aku sudah tahu alamat rumahmu jadi aku antarkan saja."
"Terimakasih banyak!! Entah apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikanmu!"
"Ah.. sarapan ini sudah cukup sebagai balasannya." Ia meraih roti isi dan menggigit dengan gigitan yang besar. Mengunyahnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum.. tanpa aku sadari.
Biasanya aku akan sangat senang bisa sarapan sendirian. Karena aku akan menikmati makananku tanpa ada kalimat aturan dan sebuah tekanan dari orang lain. Tapi kali ini, sarapan dengan seseorang membuatku merasakan sesuatu.
Makanan jauh terasa lebih lezat jika menikmatinya bersama. Obrolan-obrolan ringan tentang jajaran toko di daerah tempat tinggal Michael serta hal-hal remeh yang ia alami sebelum kemari membuatku merasa nyaman.
Aku merasa seakan aku telah bertemu dengan kepingan puzzle yang telah lama hilang di hatiku.
.
.
.
Jaket Michael sudah kering sekarang. Aku melipatnya dan memasukan ke dalam paper bag. Tapi saat aku kembali ke ruang tengah untuk menyerahkannya. Michael sedang tertidur lelap di sofa.
Mendekat dengan ragu-ragu, aku memperhatikan wajah tidurnya yang tenang dan damai. Ia pasti sangat kelelahan setelah bekerja semalaman. Cepat-cepat aku berlari ke kamar dan meraih selimut bersih untuk menyelimuti tubuh Michael. Udara saat ini mungkin hangat, tapi aku tak mau jika dia sampai masuk angin.
Aku seharusnya berhati-hati dengan Michael. Dia adalah orang asing yang baru aku temui kemarin sore. Dia mungkin memang menolongku. Tapi aku tak tahu bagaimana dia sebenarnya bukan?
Lagi pula ayahku berkata 'kejahatan bukan hanya berdasarkan niat, tapi juga karena adanya kesempatan.' jika aku tak mau menjadi seorang korban maka jangan memberikan kesempatan untuk para kriminal. Tapi... Michael tak mungkin bisa aku cap sebagai kriminal, menduganya saja aku tak tega. Dia terlalu mirip malaikat.
Lalu yang lebih pentinh, Pamanku akan sangat marah jika tahu aku membiarkan orang asing tidur di ruang tengahku saat ini. apalagi orang asing itu adalah seorang pemuda berambut gondrong dengan anting di telinganya.
***