5 5. Denting Oven

"Tetap disini.." ia berbisik tepat di telingaku, aku ada dalam pelukannya yang tiba-tiba. Tanpa aba-aba..

***

Setelah menyelimuti tubuh Michael, aku beranjak tapi belum selangkah pun kaki ini pergi sebuah tarikan kuat membuatku mundur dan jatuh menimpa Michael.

Ia menarik pergelangan tanganku dan kini aku ada dalam pelukannya. Sebuah pelukan yang tiba-tiba tanpa terduga. Aku panik dan mencoba meronta untuk melepaskan diri, tapi sebuah bisikan tepat di telinga membuatku membeku seketika.

"Tetap disini.." suara Michael yang lirih terdengar pelan sekali. Terdengar sedih. Saat aku melihat wajahnya, matanya masih terpejam erat. Dia masih tertidur!

Dia bermimpi?!

Astaga, ia hanya sedang bermimpi.. tapi jantungku ini tidak bisa memakluminya, berdebar-debar hebat seakan sedang berdansa di dalam sana. Sekuat tenaga aku berusaha tenang, lalu pelukan erat Michael melonggar. Kesempatan untukku melepaskan diri dan pergi sejauh mungkin. Setidaknya.. hingga aku bisa menenangkan diri, karena debaran di dadaku mulai terasa menyesakkan.

.

.

.

Sudah 2 jam sejak kejadian itu. Ini sudah hampir pukul 11 siang. Mencoba menenangkan diri dengan melipat pakaian lalu membereskannya ke dalam lemari pakaian. Masih juga belum tenang, aku memutuskan untuk bergelut di dalam dapur. Aku akan membuat cookies. Mungkin saja prosesnya akan membuatku lebih tenang dan melupakan hal tadi.

Tapi baru saja aku menuangkan tepung terigu ke dalam loyang kocok, sosok Michael sudah berdiri dan hampir menempel pada bagian belakang tubuhku.

"Kau pandai membuat kue, Maria?"

Argh! Aku hampir saja melempar balloonwist saking terkejutnya. Ia tersenyum senyum melihatku yang menjauh darinya sambil memeluk sebungkus mentega. Mungkin baginya aku terlihat konyol.

"Aku ini ... Bisa dikatakan bisa membuat kue. Bukan pandai, hanya bisa. Lagipula hari ini aku akan buat cookies bukan kue." saking terkejutnya aku, kalimat yang aku lontarkan jadi terbata-bata.

"Luar biasa! Boleh aku bantu?" Ia menawarkan diri dengan wajah sumringah khas anak-anak, yang antusias dengan hal baru.

Tidak! Kenapa kau tidak segera pulang?! Aku tidak tenang! Aku takut dan sangat grogi.

"Boleh!"

Bagus!! mulut dan hatiku tidak singkron! tenangkan dirimu Maria! tenangkan dirimu! batinku sedang melakukan pergulatan.

"Oke! Apa yang harus aku lakukan?"

Pulang! Kau harus pulang! .... Tapi, wajah Michael yang antusias terlihat manis. Pesona Michael menang dalam pergulatan di dalam batinku.

"Ini, ikuti tata cara dalam buku resepnya. Setelah tepung, kita harus masukan gula dan mentega."

Wajahnya memerah sambil terus sibuk mengaduk adonan. Sedikit demi sedikit gemuruh di hatiku membaik. Aku sudah bisa meredakan debar jantungku yang liar tadi.

Sudah bisa melonggarkan diri, mendekat padanya. Memperhatikan dirinya lebih dekat dan lebih dekat lagi. Tentu saja aku harus mengawasinya kan, aku tak mau dia mengacaukan adonanku.

"Begini?" Michael menoleh padaku, aku mengangguk. Tekstur adonannya sudah pas untuk dibentuk di atas loyang dan dipanggang.

Michael tertawa ketika ia berhasil membentuk adonannya bulat sempurna di atas loyang yang telah aku taburi tepung.

Manis sekali, semakin lama aku mendengar suaranya semakin aku menyukainya, lalu dengan mudah otak ini mengingat warna suaranya yang unik dan merdu. Semakin lama aku melihat wajahnya, semakin aku mudah membingkainya bagai lukisan dalam ruang kepalaku.

Aku sudah menyadarinya.. sejak awal aku bertemu dengannya. Hatiku sudah memilih Michael untuk jatuh cinta.

Sangat mudah bagiku untuk menyukainya. Tapi aku seharusnya mudah juga untuk melupakannya, karena aku akan memilih untuk menjauh dan tak lagi bertemu dengannya. Sayangnya.. Michael, pria satu ini seakan memang ada untuk aku sukai.

"Oke, sudah semua! Saatnya memanggang kan?" Suara Michael berhasil membuat lamunan yang memutar pertemuan pertamaku dengannya buyar.

"Ah ya! Saatnya memanggang.." dengan cepat loyang-loyang itu aku masukan ke dalam oven yang telah aku panaskan sebelumnya.

"Membuat cookies ternyata menyenangkan ya? Kau selalu melakukan hal ini sendirian?" Ia berjongkok dan menatapku sambil tersenyum. Rambut pirang panjangnya yang bergelombang terlihat kotor karena coklat.

Tanpa sadar aku menyentuhnya, membersihkan bagian yang kotor dan mengaitkan beberapa helai yang terjatuh di depan wajah Michael ke telinga. Tatapan kami bertemu, mata hijau sapire yang berkilauan.

Ia meraih tanganku, aku bisa merasakan betapa kasar tangannya di atas permukaan kulitku. Bangkit dari jongkoknya dan berdiri sepenuhnya di hadapanku.

Bagai hipnotis, mata itu.. aku tak ingin berpaling darinya, wajahnya mendekat, dan bisa kurasakan tangan Michael yang meraih belakang wajahku hingga telinga.

Debaran itu datang lagi. Lebih banyak, lebih menggema, hingga membuatku meremang.

Jarak kami hanya beberapa inci. Aku bisa merasakan hangat hembus nafasnya, ia akan menciumku? Apa aku akan membiarkan ini?

Ya.. biar saja!

TING!!

Michael dan aku hampir melompat terkejut. Suara denting oven entah kenapa jadi lebih kencang dari biasanya tadi. Seakan sedang menegurku yang mudah sekali terbawa suasana.

Wajahku memanas dan segera menuju oven, aku melirik Michael sebentar. Dia berpaling dan menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Tapi aku bisa melihat telinganya yang memerah padam.

Andai oven tak berbunyi, apa ciuman itu akan jadi milikku? Lalu tentang hatinya..

Apa dia juga menyukaiku?

***

"Aku harus pulang.. dan bersiap untuk pekerjaanku." Michael menggaruk kepalanya. Aku yakin sebenarnya kepalanya tak gatal sama sekali.

Ah.. tentu saja. Sudah berapa jam ia berada disini? Dari pagi buta hingga lewat jam makan siang.

Tapi entah kenapa.. aku tak keberatan jika dia berada disini lebih lama.

Tidak.. jangan, aku tidak boleh berlaku hal bodoh begitu. Dia hampir menciumku, jika kami berada di dalam sini lebih lama.. entah apa yang akan terjadi.

"Michael, jaketmu." Aku menyodorkan sebuah paper bag berisi jaketnya dan sebungkus sedang berisi cookies yang tadi kami buat bersama.

"Ah terimakasih banyak. Kau bahkan mencucinya." Dia meraihnya sambil tersenyum sebentar. Melambaikan tangan lalu menyalakan mesin motor dan melaju dengan cepat. Begitu terburu-buru.

Aku mendesah.. ku harap hari ini tak akan terjadi lagi. Tak apa patah hati dan tak akan bertemu dengannya lagi. Aku harus fokus dengan sekolahku.

'Jatuh cinta bisa terjadi kapan saja.' ayahku berkata begitu. Dan ibuku juga mengatakan hal yang serupa.

Jadi tak apa jika tak bertemu lagi dengan Michael. Justru itu baik bagiku.

Tapi setelah aku menutup pintu rumahku, aku melongo. Sebuah helm full face tergeletak di meja menghadap kearahku.

Aku bisa membayangkan wajah Michael ada di dalam sana sambil tertawa-tawa, begitu senangnya.

'Saaaaampai jumpaaaa' begitu suara imajiner Michael yang aku dengar di telingaku.

Tak terasa aku menggeram. Kenapa ia pergi terburu-buru?! kenapa ia harus meninggalkan helmnya?! Aku tak mau pergi ke daerah tempat Michael tinggal! aku bahkan tak tahu alamat rumahnya!

Ukh! pemuda teledor itu!!

***

avataravatar
Next chapter