webnovel

Bab 26

Pernah mendengar perbedaan manusia dan semut?

Manusia memiliki kehidupan pribadi yang tak diketahui orang lain. Namun dewasa ini, yang terjadi malah sebagian orang tidak bisa menjalin hubungan jika tidak berbagi kehidupan pribadi. Mereka rela menyediakan dan memperdagangkan kehidupan pribadi demi berbaur dengan banyak orang untuk hidup lebih baik. Privasi yang dimiliki manusia dianggap sebagai kelemahan dan produk yang hanya bisa dimiliki manusia. Kelemahan inilah yang sering di kumpulkan untuk di manfaatkan.

Sedang semut, mereka bisa bekerja sama, berbaur dengan kawanan lainnya, saling bergotong royong agar bisa mencapai tujuan yang sama.

Tak ubahnya dengan kehidupan di desa dan di kota.

Kota memiliki pengertian sebagai sebuah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri khas perkotaan.

Sedang desa menurut defisini universal ialah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan. Atau lebih mudahnya biasa kita sebut sebagai pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Desa.

Sebenarnya, jika di perhatikan lebih detail, perbedaan antara keduanya berbeda tipis. Hanya letaknya saja yang menjadi pembeda. Dalam pandangan masyarakat luas, kota identik dengan kesibukannya. Menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja dari petang kembali ke petang lagi. Menutup pintu rapat-rapat pertanda tidak inginnya ada gangguan. Mereka sibuk mengejar materi sebagai wujud pengakuan atas kemampuannya. Guna mencukupi kebutuhan materi yang terus mencekik.

Lain halnya dengan kehidupan desa. Tidak banyak yang ingin berpikir akan ini. Bagi mereka yang sudah terbiasa hidup dalam lingkaran kota, akan enggan menginjak desa maupun kampung halamannya. Sebagian dari mereka memilih melupakan latar belakangnya. Karena apa? Kesibukan yang menggunung.

Desa … meski lingkupnya tidak sebesar kota juga tidak bisa dikatakan kecil. Kehidupan di dalamnya masih nampak asri, alami nan murni. Kerja sama antar warga terjalin kuat. Rukun tetangga dan rukun warga terbentuk turun-temurun bahkan di jadikan sebuah kewajiban.

Sehingga tidak aneh, satu berita baik maupun buruknya akan segera tersebar. Media di pedesaan tentu berbeda dengan perkotaan. Hanya dengan satu kata saja sudah mampu membuat mulut-mulut perjulidan bersuara. Tidak heran, desa menjadi sangat di hindari bagi sebagian manusia.

Sayangnya, pilihan Ayana sangat tepat. Rencana ini di luar struktur perjanjian bersama Maharaja. Atas inisiatifnya sendiri, mengesampingkan segala tindak tanduk ke depannya, misi ini penting untuk Ayana jalankan. Satu minggu Ayana rasa cukup. Untuk memahami segala situasi yang terjadi dan bom yang akan dirinya lemparkan.

"Jadi ada tujuan apa?"

Bicara-bicara, Ayana sudah duduk di kursi ruang tamu Bapak Lurah. Singkirkan soal nama yang tadi sudah di jabatkan tangannya dan Ayana acuh dalam membalas.

"Liburan saja pak." Pilihan klasik. Tidak mungkin ingin berbuat macam-macam di sini. Apalagi mengutarakan niatnya. "Lepas penat."

"Oh." Bapak Kades seolah memahami. "Cuma nggak ada home stay di sini. Ada tapi mungkin beda kondisinya dari kota."

"Nggak masalah pak. Justru yang di cari suasananya yang berbeda. " Senyum Ayana merekah. Yang akan terjadi ke depannya, harus dirinya hadapi. "Jika ada tempat sewa saya bersedia. Karena harus mengikuti prosedur 'tamu harap lapor' saya sowan lebih dulu ke sini."

Iya sowan: berkunjung artinya.

Sebelumnya, Ayana mencari info senekad ini tidaklah sulit. Tapi mungkin harus berkorban waktu. Karena siapa? Demi kebaikannya. Demi kebahagiaannya.

"Kalau gitu, kebetulan ada home stay kosong dekat sanggar. Nggak jauh dari sini. Mari, saya antar."

***

Seperti mendapat kesempatan, pintu yang Ayana harapkan terbuka lebar. Tubuhnya bisa masuk dengan mudah. Mengakses setiap cerita yang ada di sini untuk dirinya jadikan bahan keakraban dengan warga sekitar. Ternyata, hidup di sela-sela manusia yang berbeda dengan dirinya tidak mudah.

Ada banyak perbincangan yang sebenarnya bukan diri Ayana sekali. Di tanya A hingga Z lalu kembali lagi ke awal. Sambutan yang tidak pernah ada di kota—lain maksudnya—jelas terlihat menakjubkan di matanya. Walau kesal setengah mati untuk meladeni.

"Kalau di sini Bu …" Ayana memulai. Membuka obrolan sebagai penengah atas semua pertanyaan. "Yang paling mencolok apa, ya?" Sambil menyiapkan buku note kecil beserta pulpen.

"Tari neng. Jaipongan. Tiap malam minggu pasti nanggap itu."

Baik. Ayana catat itu. Dan pertanyaan-pertanyaan lain meluncur sampai pada topik keinginan …

"Di sini ada janda nggak bu? Atau pelakor deh. Itu loh perebut laki orang."

Telah tersampaikan. Ayana ulas senyumnya dengan bangga.

Semua kepala yang hadir saling toleh. Kebingungan, ke mana arah pembicaraan ini. Kenapa berujung pada status janda dan pelakor.

"Di Jakarta bu, sekarang lagi marak banyaknya janda. Karena pandemi ini angka perceraian meningkat. Nah salah satu faktornya adalah ekonomi. Yang mana sang suami tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan istri. Tragisnya, di banyaknya kasus itu, menyoal perkara pelakor juga masuk ke salah satu daftar."

Di beri penjelasan macam itu, semuanya kompak mengangguk. Toleh kanan kiri lantas berbisik. Ayana menulis apa yang baru saja di sampaikan. Formalitas saja. Yang aslinya menyamarkan senyum di ujung bibirnya.

"Nggak ada sih neng," ucap salah satu warga.

Kepala Ayana terdongak. Makin bungah saja hatinya mendengar jawaban begini. Tidak ada tapi akan Ayana buat 'ada' sebentar lagi. Sampai di tolak untuk masuk ke kampung ini lagi jika bisa.

"Wah, syukur banget bu. Artinya desa sini aman ya bu. Jauh dari segala keburukan dan penyakit yang lagi gempar melanda." Di jeda tiba-tiba. "Tapi, menurut data riset, angka di sini gede loh bu." Terus Ayana mainkan perannya. Yang tadinya sudah tenang kembali tegang. "Bukan berniat mencemari atau menyebar berita yang istilahnya sekarang hoax. Tapi jodoh, maut, dan rejeki Tuhan sudah atur. Barangkali saja bu ada yang menjadi bagian tidak enak selama Covid-19 ini."

Tidak ada jawaban selain berbisik kembali satu sama lain. Mereka itu aneh. Manusia seaneh itu. Pikir Ayana. Ketimbang di suarakan lewat jawaban secara gamblang, justru bergerumut layaknya semut.

"Kalau putri ibu neng …" Gembira sekali Ayana menyambutnya. "Nikah tapi tinggal di Jakarta. Alhamdulillahnya lancar dan aman-aman saja." Wajahnya masih kentara ayu. Yang Ayana tatapi dalam-dalam. "Putri ibu dan suami sama-sama kerja di pabrik. Terakhir ibu ngobrol, kerjaannya di perpanjang. Kontraknya gitu ya, ibu nggak paham."

Masuk dalam genggaman. Ayana lingkari titiknya. Akan segera dirinya laksanakan semua rencananya.

"Nanti kita ngobrol lebih ya bu. Mana tahu cocok sama riset yang saya ambil. Jadi kita bisa berbagi pengalaman. Ya pokoknya semua kembali ke kita dan Tuhan."

Lidah Ayana hendak lepas dari tempatnya menyebut nama Tuhan. Itu bukan suatu kebiasaan dalam hidupnya. Asing dan hambar.