webnovel

Bab 21

Dalam dua jam berikutnya, tangan Dinda tidak pernah beristirahat memasak ketika lelah ia berhenti sejenak, menarik napas, dan melanjutkan lagi aktivitasnya tidak peduli sesibuk atau selelah apa pun, Dinda merasa beruntung karena bisa melakukan hal yang paling disukainnya.

Ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam, restoran sudah sepi hanya tersisa beberapa pelanggan Dinda memasak pesanan yang terakhir sebelum akhirnya ia bisa duduk untuk mengistirahatkan kakinya.

"Hari yang sangat sibuk," komentar Maya dari pintu dapur.

Dinda tersenyum kelelahan "Ya."

"Seandainya Farel ada disini sekarang, dia pasti bangga padamu," kata Maya lagi .

"Berapa lama lagi Farel pulang dari Italia?" tanya Dinda yang terkadang sudah tidak bisa mengingat lagi hari dan tanggal.

"Aku benar-benar berharap dia cepat pulang dapur kita kekurangan orang terutama untuk akhir pekan seperti sekarang."

"Dia akan pulang lusa ," kata Maya sambil menyodorkan segelas air putih dingin pada Dinda.

"Ini minumlah sepertinya kau benar-benar butuh minum."

"Thanks mbak,"

Dinda mengambil minuman yang disodorkan Maya,

"Mbak juga masih kelelahan." Dinda memandang ketiga teman kokinya.

"Kalian bisa pulang lebih awal aku yang akan membereskan dapur nanti" ujar Dinda dan di angguki oleh teman kokinya

''Thanks Dinda ,''kata ketiga temannya berbarengan.

Dinda memandang ketiganya satu persatu ''Kerja yang bagus hari ini,''

"Kau juga,'' saut mereka .

''Kami pulang dulu ya .'' Donna dan mengenakan jaket.

''Hati-hati dijalan,'' kata Dinda ketiganya melambaikan tangan lalu keluar dari dapur. Dinda tahu mereka pasti ingin cepat-cepat kembali kepada keluarganya.

''Tak terasa waktu cepat berlalu,'' kata Maya pikirannya menerawang masa lalu. Dinda meminum air dari gelasnya

''Yah....hampir empat tahun aku tidak pernah menyangka aku bisa berada di dapur ini"

'Maya tersenyum ''Aku tidak pernah meragukan kemampuanmu, sejak mencicipi spagetti bolognese mu, aku tahu Farel sudah menemukan asisten yang dicari-carinya selama ini .''

Dinda meminum habis air digelas nya, lalu beranjak ketempat cucian dan mulai mencuci semua peralatan yang digunakannya.

''Biar ku bantu,'' kata Maya. ''Terima kasih,'' kata Dinda, keduanya menutup restoran pukul dua belas malam.

pagi itu Dinda memulai hari seperti biasa setelah sarapan ia mandi, kemudian membaca koran yang ada dimeja tamu. Tatapanya jatuh pada halaman iklan disitu tertulis bahwa sekolah SMA nya dulu akan mengadakan reuni untuk angkatannya, seluruh alumni diharapakan hadir, nama dan nomor handphone Jihan tertera disana sebagai ketua panitia Alumni.

[Apakah sebaiknya aku pergi?]" batin Dinda dalam hati.

[aku bisa datang bernostalgia disekolahanku dulu dan bertemu dengan Bara mungkin dia sekarang sudah ditingkat akhir fakultas kedokteran].

Dinda meletakkan korannya kembali ke meja, lalu berjalan kekamar tidurnya, ia membuka kertas "JANGAN MENYERAH" dari Bara dengan perlahan.[aku takut sampai sekarang dia belum memaafkanku] pikirnya lagi.

[hubunganya dengan jihan pasti semakin erat] Mungkin saja mereka kini sudah bertunangan.

"apakah aku bisa melihat Bara tanpa sedih?"

Empat tahun, orang-orang bilang waktu bisa menyembuhkan luka hati tapi Dinda belum bisa melupakan Bara.

[Apakah empat tahun berikutnya aku baru bisa melupakanya?].

pikirnya Dinda merasa bingung, ia sungguh tidak tahu selama ini ia masiih belum bisa melupakan Bara, ia tidak bisa membuka hatinya untuk orang lain ia tahu dia bodoh karena masih mengingat Bara setelah sekian lama, tetapi hatinya tidak bisa berbohong.

"Kau terlihat sedikit bingung hari ini." Mata maya mengawasi dinda dengan tajam.

"Tidak seperti biasanya, apakah ada hal yang menganggu pikiranmu?" Waktu menunjukkan pukul tiga sore Dinda sedang mengelap peralatan masaknya.

"Aku tidak pernah bisa menyembunyikan nya dari mbak, ya". Dinda tersenyum getir berusaha menutupi apa yang ia rasa.

Maya tersenyum "Tidak aku memang terbiasa mengamati orang-orang disekitarku salah satu tuntutan pekerjaanku, kau baik-baik saja?" Maya kembali bertanya.

Dinda tersenyum. "Aku tidak apa-apa, tadi pagi aku membaca koran sekolahku mau mengadakan reuni."

"Kau ragu untuk datang atau tidak ?" tanya Maya.

"Yah, begitulah." Dinda menarik napas perlahan.

"Ada orang yang tidak ingin kau temui?" Maya melihat tatapan Dinda dan menganggap pertanyaan nya telah mendapatkan jawaban.

"Kau asisten chef sekarang, masa lalu biarkanlah menjadi masa lalu."

"Aku tahu." Dinda menunduk. "Hanya saja, aku takut menemuinya lagi."

Maya terdiam ,"Dinda yang ku kenal berani menantang seseorang yang hampir memecatnya dua tahun yang lalu."

Dinda tersenyum. "Aku tidak seperti itu sewaktu sekolah." Maya menyentuh tangan Dinda.

"Dinda kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di reunian itu. Tidaklah kau ingin pergi saja?" Dinda terdiam.

Maya tersenyum lembut. "Kau tidak langsung mengatakan tidak, apa salahnya bernostalgia dengan teman lama?"

"Tapi aku tidak percaya diri bertemu dengan mereka, mungkin saja mereka sudah sukses dan aku_" Dinda tidak melanjutkan ucapanya

"Hey... kau jangan insecure seperti itu, kadar sukses setiap orang berbeda, kau hebat bagi dirimu sendiri. Kau sukses di usia mu yang sekarang kau bahkan sudah bisa menghasilkan uang sendiri dan menjadi asisten seorang Ceff ternama di kota ini. Ayolah Dinda berhenti menganggap rendah dirimu" Maya menepuk pundak Dinda berusaha menyadarkan temanya itu.

"Thanks mbak," kata Dinda berusaha tersenyum

"Coba kau fikirkan sungguh-sungguh lebih baik datang dari pada menyesal dikemudian hari, bukan?"

Sore harinya, Dinda memegang handphone nya dengan gugup, ia sudah memasukkan nomor Jihan di handphone nya.jemarinya bergerak ragu antara mau menelepon atau tidak, tapi sebelum sempat memutuskan, handphone nya sudah berbunyi dari kantor Mama.

"Halo," katanya.

Tak berapa lama kemudian wajah Dinda berubah pucat, telepon tadi berasal dari teman Mama di kantor dia mengatakan bahwa Mama pingsan dikantor dan sekarang sedang berada dirumah sakit.

Dinda langsung meninggalkan rumah dan bergegas menuju rumah sakit di dalam taksi, ia mengirim pesan pada Maya bahwa ia tidak bisa bekerja malam itu. Dinda berlari menuju kamar rumah sakit tempat Mama di rawat. Napasnya terengah-engah ia melihat Mama terbaring diranjang dengan selang infus ditangannya.

"Bagaimana keadaan Mama?" tanya Dinda panik "Apanya yang sakit, Ma? apa kata dokter ?"

Mama berusaha menenangkan putrinya. "Mama sudah tidak apa-apa, dokter memperkirakan Mama kena demam berdarah, jadi perlu dirawat ."

"Aku akan menginap disini," kata Dinda tegas. "Bagaimana dengan pekerjaanmu ?" Mama menanyakan dengan cemas.

"Aku sudah memberitahu Mbak Maya, dia bilang tidak usah khawatir lagi pula besok Farel sudah pulang dari Italia jadi pekerjaanku sudah ada yang menggantikan."

Dinda membuka jaketnya dan duduk di samping ranjang."Mama mau makan sesuatu ?" Mama menggeleng.

"Kalau begitu mama istirahat saja dulu" Dinda menyelimuti Mama dan memperhatikan Mama mulai memejamkan mata, semalamam Dinda tidak bisa tidur oa khawatir terjadi sesuatu pada Mama.

Pagi harinya, Dokter mengatakan kondisi Mama sudah membaik dan Dinda sedikit lega.

"Pulanglah," kata mama sedikit mengomel.

"Kau kelihatan lelah sekali istirahat saja."

"Baiklah ," kata Dinda tanpa berdebat.

"Aku akan pulang. Aku akan mengambil baju Mama untuk dibawa kemari dan aku akan tinggal dirumah sakit malam ini menemani Mama."