webnovel

Bab 22

Mama hendak menyelanya, tapi Dinda sudah berkata lagi.

"Tidak ada bantahan kali ini. Pokoknya aku mau menginap disini sampai Mama sembuh ."

Melihat tekad putrinya yang tidak tergoyahkan, Mama akhirnya menyerah.

"Kau tidak tidur?" tanya Mama tiba-tiba.

Dinda memandang Mama yang terbangun di tengah malam, sudah tiga hari Dinda berada dirumah sakit menemani Mama. Kondisi Mama semakin hari semakin baik, Dokter sudah mengatakan besok Mama boleh pulang.

"Maaf, aku membangunkan Mama" sambil menyuguhkan segelas air.

" Tidurlah, Mama sudah tidak apa-apa ," kata Mama setengah mengantuk.

"Aku akan tidur sebentar lagi" janji putrinya. Beberapa saat kemudian, Dinda melihat Mamanya kembali tertidur pulas, mata Dinda tertuju pada kalender meja di sebelah tempat tidur Mama .

hari ini hari reunian, Dinda tidak bisa datang tapi ia tidak menyesal. Mama orang terpenting baginya, lebih dari sebuah reuni ataupun pekerjaan. Tanpa Mama, Dinda tidak tahu harus berbuat apa. Mama mendukung pekerjaannya yang sekarang. Mama bilang selama Dinda bahagia, apapun yang dikerjakan Dinda, ia akan mendukungnya seratus persen. Dinda menatap Mama dengan haru. mama telah berhasil membanting tulang membesarkannya selama ini. Ia mengelus rambut Mama dengan perlahan lalu mengecup keningnya.

"Mama ibu terbaik didunia" bisiknya perlahan. Setelah itu ia berbalik ke jendela dan menatap langit, malam bulan purnama, bintang di langit bersinar terang. Dinda teringat pada kenangan masa lalunya di sekolah tentang pertemuannya dengan bara, melihatnya dari kejauhan, mengembalikan lukisannya, semobil berdua dengannya, tertidur dibahunya, sampai perpisahan dengannya. ia mengambil kertas JANGAN MENYERAH yang di berikan oleh Bara dari saku celananya.

"Mungkin sudah waktunya aku melupakan masa laluku," katanya perlahan.

"Selamat tinggal Bara dimana pun kau berada." Ketika Dinda hendak membuang kertas tersebut, niatnya terhenti, bagaimanapun kertas tersebut sudah menemaninya pada saat-saat tersulit dalam hidupnya. Dinda melipat kertas tersebut dan menyimpan kembali ke dalam saku. (hanya satu kenangan ini) katanya dalam hati.

(biarkan aku menyimpan yang satu ini saja dan melupakan yang lain).

Satu bulan kemudian, Dinda menghadap Farel dengan gugup, wajah bosnya terlihat menakutkan itu artinya ia pasti melakukan kesalahan serius. "Farel...," katanya perlahan."

"Begini ...soal menu baru restoran hari, The Mixed Spagetti, aku tahu seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu"

"Maaf." Farel memandang Dinda dengan bingung "Apa yang kau bicarakan ?" Kini giliran Dinda yang bingung.

"Bukankah kau memanggilku ke sini karena kau tidak suka dengan menu baruku?"

Farel berbahak-bahak ."Tidak aku dengan menu barumu."

"Kalau begitu, mengapa mukamu menyeramkan begitu?" tanya Dinda terus terang.

Farel cemberut "Karena sepertinya aku bisa kehilangan asisten terbaikku."

"Kau memecatku ?" Dinda protes.

"bukankah kau bilang kau suka menu baruku? jadi mengapa kau memecatku?"

"Dinda, duduklah dan dengarkan aku dulu." perintah Farel. Dinda tidak punya pilihan lain selain duduk dan mendengarkan perkataan bosnya.

"Aku tidak memecatmu," kata bosnya kemudian.

"Bulan kemarin ketika aku pergi ke Italia, aku berkunjung ke teman lama sekaligus pelatihku, Alberto Luceri, aku bercerita tentang kau padanya. Jadi, kalau kau tertarik kau bisa belajar banyak padanya."

Dinda kaget sampai melongo "Maksudmu..aku bisa belajar dari gurumu?"

Farel mengangguk "Jadi, bagaimana ? kau tertarik ?" Tanya Farel penasaran.

"Kau akan mempelajari banyak hal darinya hanya saja kau harus pergi ke Italia, aku yang akan menanggung akomodasi nya". Dinda sangat berminat dengan usul Farel.

"Tapi berapa lama aku harus tinggal di italia ?"

"Mungkin setahun," kata Farel mengira-ngira.

"Aku tidak tahu semua terserah pada Alberto dan kau, kau mau terima tawaran ini?"

Dinda tertawa gembira. "Aku pasti sudah gila kalau menolak tawaran sebagus ini hanya saja aku harus mendiskusikannya dulu dengan Mamaku."

Farel mengganguk mengerti "Aku harap Mamamu mengerti dan mengizinkanmu pergi"

"Aku akan berbicara pada Mama hari ini," kata Dinda.

"Dinda ," Farel memberi peringatan. "Kalau kau jadi pergi ke Italia, jangan lupa untuk pulang dan bekerja kembali"

"Apakah kau masih perlu meminta izin mama?" Mama memandang putrinya sambil tersenyum bangga. "Tentu saja Mama mengizinkanmu, ini kesempatan langka, kau harus meraihnya."

"Aku tahu...," katanya hati-hati. "Tapi...".

Mama menggeleng "Kau tidak perlu khawatir soal Mama, Mama sudah sembuh total kok, pergilah kejarlah mimpimu untuk menjadi seorang chef pasta".

Dinda memeluk Mama erat-erat. "Terima kasih Ma, aku berjanji akan sering-sering menelpon dan Mama juga harus berjanji harus menelponku kalau terjadi apa-apa. Aku pasti akan langsung pulang."

"Mama berjanji akan menjaga diri Mama dengan baik-baik kau tidak usah khawatir." Mama balas Dinda dengan memeluk dan Dinda dengan erat

"Kau juga harus menjaga diri disana."

"Aku berjanji," kata Dinda bersungguh-sungguh.

Dua minggu kemudian, para pelayan restoran dan rekan kerja nya Farel serta mama mengantar Dinda ke bandara. "Telepon Mama sesampainya kau disana." Kata Mama sambil memberikan pelukan terakhir pada putrinya sebelum berangkat .

Maya juga memeluk Dinda dan berbisik, "Jangan lupa untuk kembali, kau satu-satunya asisten yang bisa diterima Farel. Aku tidak tahu berapa lama dia bisa bertahan dengan asisten barunya yang akan datang besok." bisik Maya sambil sedikit tertawa

"Aku berjanji akan kembali Mbak." Dinda melepas pelukannya dan mengucapkan selamat tinggal pada yang lainnya, kemudian kakinya melangkah pergi menuju pintu masuk keberangkatan.

Dinda, 23 tahun

Dinda berdiri di depan restoran Farel, satu tahun sudah restoran ini di tinggalkannya. Dari luar restorannya masih tampak sama pintu kaca berwarna merah yang menjadi pintu masuk restoran Farel, seakan-akan memintanya masuk.

Dinda membuka pintu tersebut dan dentingan lonceng terdengar dari dalam ruangan. Ia melihat ada beberapa perubahan dekorasi meja dan kursi lebih cerah, lebih efisien dan membuat ruangan terlihat lebih luas.

Terdapat beberapa pelayan sedang berkonsentrasi membereskan meja dan kursi, mereka tidak melihat Dinda yang sudah berada di dalam ruangan.

Dinda tersenyum, Maya keluar dari ruangan pelayan dan terpana melihat sosok Dinda di ambang pintu

dinda berhambur memeluknya.

"Dinda!" Seru Maya sambil tersenyum lebar.

"Kapan kau kembali? kenapa kau tidak memberitahuku ?"

Dinda tersenyum lebar. "Rahasia aku ingin mengejutkan kalian." seru Dinda, reaksi Maya menyadarkan pelayan lain yang akhirnya berkerumun mendekati Dinda dan bergantian memeluknya.

"Selamat datang kembali ," kata mereka.

"Aku senang berada disini lagi." Dinda tersenyum memandang rekan-rekan kerjanya.

"No!No!No!" teriak suara dari arah dapur.

"Kau dipecat!"

Seorang pria muda keluar dari dapur dengan kesal dan langsung membanting pintu keluar restoran.

"Dia tidak pernah berubah," Dinda berkomentar. Maya tersenyum kecut.

"Hanya kau yang berhasil bertahan lama dengannya."

Dinda melihat salah satu pelayan. Pelayan itu mengumpulkan uang dari teman-temannya, pelayan itu tersenyum penuh kemenangan ."Dua minggu, aku kan sudah bilang dia tidak akan bertahan lebih dari dua minggu."

Dinda mengerti sekarang, ia lalu berpaling pada Maya. "Mbak ikut taruhan juga?" Tanyanya penasaran.

Maya mengangguk sambil menyerahkan uangnya pada si pemenang. "Aku bertaruh satu bulan" Dinda tidak bisa menahan tawanya.

"Maaya !" teriak Farel dari dalam dapur "Carikan aku asisten baru ?! "

Maya tersenyum kemudian balas berteriak.

"Aku sudah menemukanya ! aku yakin kau tidak akan memecatnya kali ini."

"Itu juga yang kau katakan sebelumnya..." Farel keluar dari dapur dengan kesal.

"Kau bilang ..." suaranya terhenti ia menatap Dinda dengan kaget.

"Buonw sera (selamat malam) Farel." Dinda mendekati bosnya dan memeluknya .

"Senang melihatmu kembali, kau tidak berubah." Farel gembira bukan main "Kapan kau tiba? kenapa kau tidak bilang-bilang?"

Dinda melepaskan pelukannya. "Aku baru saja tiba pagi ini. Aku ingin memberi kejutan ."

"Alberto benar benar menyukaimu."