webnovel

The Retro: Art and Death

Arabella El-Gauri, seorang dosen kriminologi muda. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Bella adalah pengidap hyperthymesia, atau Highly Superior Autobiographical Memory (HSAM). Bella tidak dapat melupakan apapun yang terlanjur diingat otaknya, bahkan memori terburuk sekalipun.   Suatu hari, Bella mengalami kecelakaan yang membuatnya dapat mengetahui apa yang terjadi di masa depan dan masa lalu tanpa direncanakan. Kecelakaan itu juga yang mempertemukannya dengan Tristan Emilio Fariq, seorang Polisi dan Kapten Detektif yang ditugaskan untuk mengusut kasus pembunuhan berantai yang dijuluki ‘The Retro’. Singkat cerita, Tristan dan Bella lantas menikah, ditengah berjalannya investigasi kasus tersebut. 'The Retro', pembunuh berdarah tanpa satu mikroliter jejak darah. Seni klasik. Menjadi ciri khasnya. Lalu siapa, apa, dan bagaimana 'The Retro' bekerja?   Diluar dugaan, Bella Rupanya mampu melihat perlahan-lahan, samar-samar, siapa pelaku pembunuhan sadis itu dalam mimpi dan penglihatannya. Kemampuan ingatan superior menjadikan itu semakin nyata. Mampukah Tristan dan timnya mengungkap siapa 'The Retro'? Unlock the answer by read this story! ------ Hello, Readers! Selamat datang di novel ketiga Aleyshia Wein. Genre untuk novel kali ini adalah Crime, Mystery, dan Romance dengan sedikit unsur Sci-Fi. Seperti biasa, gaya bahasa cenderung teknis, dan istilah-istilah asing terkait kriminologi, seni, hukum, dan politik akan dijelaskan dalam notes Author. Harap bijak dalam membaca, karena akan mengandung unsur-unsur kekerasan dan 'inspirasi kreativitas' dalam menghilangkan nyawa seseorang dan penggunaan senyawa-senyawa kimia berbahaya. Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif, tidak mencerminkan situasi, protokol, dan sistem sesungguhnya dari instansi yang diangkat. Penulis menggunakan nalar dan membentuk sistem sendiri untuk novel ini. Novel ini sangat TIDAK disarankan bagi pembaca dibawah 17 tahun. Semoga dapat menikmati alur kriminal dan romansa dalam novel ini. Jika berkenan, dapat memberikan masukan dan review untuk peningkatan kualitas penulisan kedepan. Regards, Aleyshia Wein

aleyshiawein · Urban
Zu wenig Bewertungen
295 Chs

Satu Baris

Bella hanya mengikuti di arah jalan Sierra didepannya. Mereka sudah memasuki badan pesawat, menunggu antrian agar sampai di kursi nomor 90A dan 91B. Bella berbohong ketika mengatakan Ia baik-baik saja, karena nyatanya langkah gadis itu masih terseok-seok. Beruntung sekali Ia hanya menggunakan sneakers sekarang, jika itu heels, mungkin Ia akan terjatuh begitu saja.

Akhirnya mereka sampai di deret kursi tempat duduk mereka. Bella yang duduk di B meminta Sierra duduk lebih dahulu, sementara Ia menaruh beberapa bawaannya ke tempat bagasi di atas. Sayangnya karena kurang teliti, satu buku tebal jatuh dari goodie bag miliknya. Nyaris saja benda berat itu mengenai kepalanya jika seseorang tidak menangkap buku itu terlebih dahulu dengan cekatan.

Bella menoleh ke belakang, berterimakasih dan meminta maaf pada si pria penangkap buku. Detik berikutnya, Bella tahu kalau itu Tristan. Hanya dari tangkapan mata beberapa detik ketika tadi pagi Ia menjawab pertanyaan pria itu sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Sekilat itu Bella mengingat wajah, nama, bahkan latar belakang seseorang.

"Duduk disini Mas Tristan?" tanya Bella, menunjuk kursi nomor 92C, kursi disamping miliknya.

Tristan yang ditanya sedikit terkejut ketika tahu Bella masih mengingat namanya, "O-oh, Iya. Iya, 92C," jawabnya canggung.

Akhirnya Sierra, Bella, dan Tristan duduk di kursi masing-masing dalam satu deretan itu. Tampak kecanggungan dirasakan Bella dan Tristan. Lebih tepatnya Tristan saja sih, karena Bella sepertinya biasa saja. Pria itu sudah duduk di ujung, tidak ada teman bicara pula.

Hingga akhirnya Bella menawarkan permen mint pada Tristan, tidak sopan rasanya jika makan sendiri.

"Permen, Mas?"

Lagi-lagi Tristan terkejut, Bella ini sepertinya mudah sekali akrab dengan orang lain, pikirnya. Berbeda sekali dengan dirinya yang tertutup dan hanya bersosialisasi untuk urusan pekerjaan.

"Oh iya, makasih … Bella … eh, Mbak Bella maksudnya," ujarnya kikuk sembari mengambil satu permen itu.

Bella mengangguk dan tersenyum, "Maaf ya Mas, tadi gak sempat Saya jawab selesai pertanyaannya. Nanti akan Saya kirim email untuk lebih detailnya sebagai permintaan maaf," ujarnya.

"Iya, gak masalah. Makasih sebelumnya," ujar Tristan tersenyum tipis. Dasar tidak ramah.

"Kamu … udah baikan?" lanjutnya sekedar berbasa-basi.

Bella mengangguk, "Alhamdulillah udah."

"Syukur kalau gitu," ujar Tristan, kini membuka permen mint pemberian Bella dan memakannya.

"Buru-buru pulang ke Jakarta, Mas?"

"Iya, tiba-tiba ada rapat koordinasi yang dimajukan. Semua pimpinan divisi harus datang," jawab Tristan. Rupanya menguyah permen sedikit memperlancarnya berbicara di depan Bella.

"Wah, sibuk ya jadi pimpinan divisi bareskrim," ujar Bella. Entah memuji atau apa, Tristan tidak paham.

"Yah, begitulah," jawab Tristan seadanya. Kali ini menoleh pada Bella, melihat detail sosok dosen itu kemudian tersenyum.

Hening. Tristan sendiri tidak berinisiatif untuk bertanya balik meskipun Ia ingin tahu apa kesibukan Bella saat ini, apa yang dilakukannya, dan masih banyak pertanyaan lain. Terlalu canggung bagi Tristan untuk bertanya dengan orang baru seperti Bella.

****

Setengah jam penerbangan, pramugari mulai mengantarkan makanan dan mengedarkan beberapa tawaran merchandise untuk dibeli pada seluruh penumpang. Perjalanan mereka masih panjang, sekitar tiga jam lagi untuk sampai di Jakarta. Di luar, terlihat langit sudah gelap sempurna, namun kilatan petir diantara awan yang sudah menggumpal di beberapa titik itu masih terlihat jelas.

"Silakan …" ujar pramugari pada Tristan, Bella, dan Sierra. Tristan menyalurkan beberapa snack pembuka khas maskapai itu pada Bella dan Sierra.

Sedari tadi, Bella tidak menoleh, Ia bahkan tidak sadar kalau Tristan menunggunya untuk menerima snack dari pramugari. Gadis itu sibuk memandangi keluar jendela pesawat. Akhirnya, Tristan membuka meja lipat kecil di depan Bella, menaruh makanan itu disana.

"Eh, maaf gak tau. Makasih, Mas," ujar Bella akhirnya.

Tristan tersenyum tipis, "Sama-sama. Silakan dimakan," ujarnya.

Bella mengangguk, lantas mulai membuka kotak snack berwarna kuning itu. Sementara Tristan? Sudah habis satu roti dimakannya, pria itu kelaparan akibat tidak mengambil makan siang.

Baru saja Bella hendak menyuapkan roti keju ke mulutnya, pesawat tiba-tiba bergetar, lalu berguncang keras. Cukup keras ternyata, karena air minum Sierra sampai tumpah ke lantai kabin.