webnovel

The Retro: Art and Death

Arabella El-Gauri, seorang dosen kriminologi muda. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Bella adalah pengidap hyperthymesia, atau Highly Superior Autobiographical Memory (HSAM). Bella tidak dapat melupakan apapun yang terlanjur diingat otaknya, bahkan memori terburuk sekalipun.   Suatu hari, Bella mengalami kecelakaan yang membuatnya dapat mengetahui apa yang terjadi di masa depan dan masa lalu tanpa direncanakan. Kecelakaan itu juga yang mempertemukannya dengan Tristan Emilio Fariq, seorang Polisi dan Kapten Detektif yang ditugaskan untuk mengusut kasus pembunuhan berantai yang dijuluki ‘The Retro’. Singkat cerita, Tristan dan Bella lantas menikah, ditengah berjalannya investigasi kasus tersebut. 'The Retro', pembunuh berdarah tanpa satu mikroliter jejak darah. Seni klasik. Menjadi ciri khasnya. Lalu siapa, apa, dan bagaimana 'The Retro' bekerja?   Diluar dugaan, Bella Rupanya mampu melihat perlahan-lahan, samar-samar, siapa pelaku pembunuhan sadis itu dalam mimpi dan penglihatannya. Kemampuan ingatan superior menjadikan itu semakin nyata. Mampukah Tristan dan timnya mengungkap siapa 'The Retro'? Unlock the answer by read this story! ------ Hello, Readers! Selamat datang di novel ketiga Aleyshia Wein. Genre untuk novel kali ini adalah Crime, Mystery, dan Romance dengan sedikit unsur Sci-Fi. Seperti biasa, gaya bahasa cenderung teknis, dan istilah-istilah asing terkait kriminologi, seni, hukum, dan politik akan dijelaskan dalam notes Author. Harap bijak dalam membaca, karena akan mengandung unsur-unsur kekerasan dan 'inspirasi kreativitas' dalam menghilangkan nyawa seseorang dan penggunaan senyawa-senyawa kimia berbahaya. Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif, tidak mencerminkan situasi, protokol, dan sistem sesungguhnya dari instansi yang diangkat. Penulis menggunakan nalar dan membentuk sistem sendiri untuk novel ini. Novel ini sangat TIDAK disarankan bagi pembaca dibawah 17 tahun. Semoga dapat menikmati alur kriminal dan romansa dalam novel ini. Jika berkenan, dapat memberikan masukan dan review untuk peningkatan kualitas penulisan kedepan. Regards, Aleyshia Wein

aleyshiawein · Urban
Not enough ratings
295 Chs

Menyadap Pembicaraan

Satu sesi seminar telah dilewati. Pingsannya Bella tidak banyak menyita waktu, acara itu kembali berlanjut sampai tengah hari. Saat ini jeda istirahat shalat dan makan siang tengah diberikan pada seluruh peserta. Tampak ballroom seminar itu kini dipenuhi oleh menu makan siang yang menggugah selera.

Namun tidak untuk Tristan, disaat dua rekannya Jevan dan Yudha dengan lahap menyantap makan siang mereka setelah lelah menyimak empat presentasi, Ia memilih untuk sekedar minum teh ditemani sepotong brownies. Entahlah, Tristan tidak berselera makan.

Sedari tadi Tristan memikirkan Arabella hingga melamun, dosen itu benar-benar menyita perhatiannya beberapa jam terakhir.

"Tan, kok bengong sih? Makan sono ntar laper Lo," ujar Yudha. Berbicara informal dengan atasan di jam istirahat adalah kebiasaannya. Ya bagaimanapun juga, Yudha, Jevan, dan Tristan itu seumuran.

Tristan menggeleng, "Gak nafsu," jawabnya singkat, padat, jelas.

Jevan kemudian tersenyum miring, sembari memotong daging rendang di piring datarnya, "Kayaknya Lo tertarik banget ya sama dosen yang pingsan tadi?"

UHUK!

Tristan tiba-tiba terbatuk setelah mendengar kalimat Jevan barusan. Yudha dan Jevan malah menertawainya alih-alih memberikan minum atau tissue.

"Ter … tertarik gimana?" tanyanya kemudian.

"Yaelah, make nanya. Biasa aja dong paniknya kalau gak tertarik. Kayak drama Lo tadi, dia pingsan, Lo udah siap badan mau maju ke panggung. Keliatan kali," timpal Yudha.

Tristan hanya terdiam. Tidak membantah, tidak juga menerima. Teman-temannya itu memang gemar sekali berasumsi, kebiasaan karena terlalu sering berurusan dengan penjahat yang berbohong dan bersiasat.

"Terserah, Gue mau keluar dulu," ujar Tristan kemudian, membawa ponselnya ke luar ballroom. Tidak ada tujuan, Ia hanya berjalan hingga akhirnya memutuskan berhenti di balkon lantai tiga hotel itu.

Mata Tristan menyisir sisi demi sisi pemandangan dari lantai tiga. Cukup tinggi untuk dapat melihat kondisi lalu lintas dan pergerakan orang-orang di jalan raya. Rupanya kota itu semakin padat saja setiap tahunnya.

Bosan dengan pemandangan keluar hotel, akhirnya Ia melihat ke bawah, tepatnya ke lobby. Tampak disana tiga orang wanita berjalan beriringan, dengan satu diantaranya yang berkemeja putih gading dipapah oleh dua lainnya.

Tristan memicingkan matanya, "Arabella?" gumamnya. Sekali lagi Ia memastikan, rupanya memang dosen itu.

"Kok gak ke rumah sakit sih? Sakit kepala tiba-tiba pingsan dikiranya bukan masalah serius apa?" lanjutnya agak sewot sendiri.

Menit berikutnya, Bella sudah masuk ke dalam mobil, dan mobil itu melaju keluar area hotel. Sedikit hampa dirasakan Tristan begitu SUV meran maroon yang ditumpangi Bella menghilang di jarak sekian meter dari hotel. Rasanya ingin Tristan mengenal dosen itu lebih jauh. Tapi ya sudahlah, mungkin hanya perasaannya saja, pikir Tristan.

****

Jam lima sore, Bella dan Sierra sudah berada di bandara. Mereka berdua hendak kembali ke Jakarta lebih awal. Alasannya pertama karena kesehatan Bella, kedua adalah karena pekerjaan mereka. Seorang guru besar akan melakukan orasi ilmiah besok dan keduanya harus hadir.

"Mbak, Kamu serius mau pulang sekarang? Masih pusing gak?" tanya Sierra memastikan begitu mereka selesai check in.

Bella mengangguk, "Iya Sier, gak masalah. Lagian naik pesawat juga kan, gak terlalu capek harusnya," ujarnya.

"Yaudah deh. Ini Kamu kumat lagi apa gimana Mbak?" tanya Sierra, masih khawatir. Pasalnya Ia tahu beberapa kali Bella pingsan mendadak seperti ini, dan alasan Bella selalu sama; anemianya kambuh. Bella tidka pernah menceritakan perihal mimpi-mimpi yang membuatnya sampai pingsan itu.

"Kayaknya sih gitu."

Tak lama kemudian, ponsel Sierra berdering. Tepat ketika mereka mengambil barang bawaan yang discan dibawah metal detector.

"Halo?"

"…"

"Ah ya, belum Mbak. Kami baru sampai," ujar Sierra, sembari turut membawakan tas selempang Bella agar Ia tidak keberatan.

"…"

"Oh gitu. Oke deh, kayaknya bakal bareng ya boardingnya."

"…"

"Baik Mbak, sama sama."

Panggilan itu berakhir. Mereka lanjut berjalan untuk menunggu waktu boarding satu jam lagi.

"Siapa Sier?" tanya Bella penasaran.

"Panitia tadi. Nanya kita udah take off atau belum. Katanya ada beberapa peserta seminar dari Jakarta yang kepulangannya juga harus maju, katanya flight nya sama kayak kita," jelas Sierra.

"Terus? Emang harus bareng?"

"Enggak. Katanya panitia belum ngasih bingkisan pembicara kan ke Mbak? Tadi keburu colapse. Sekalian dianterin katanya nanti," ujar Sierra.

Bella mengangguk-ngangguk, "Oke. Padahal gak selesai loh itu seminarku," ujarnya.

"Selesai lah Mbak, cuma satu yang gak sempet dijawab kan, dali mas mas polisi yang ganteng itu, hehe."

"Halah Kamu ini buaya banget lho, Sier."

****

Dua orang panitia acara seminar benar-benar datang membawakan bingkisan dan hadiah untuk Bella, si pembicara seminar. Sungkan sungkan Bella menerimanya, sekaligus kembali meminta maaf akan ketidaknyamanan yang tak sengaja Ia lakukan tadi pagi.

Tidak hanya dua panitia itu yang datang, namun juga delapan orang peserta seminar yang harus kembali ke Jakarta karena harus dinas di instansi asal besok pagi.

"Teman-teman, Kami pamit dulu ya, terimakasih kehadiran dan partisipasinya. Semoga selamat sampai tujuan," ujar salah satu panitia yang tampaknya lebih tua.

Kesepuluh orang disana termasuk Bella dan Sierra pun berdiri, sebagai bentuk hormat pada dua panitia itu hingga dipastikan mereka tak terlihat lagi dari samping ruang boarding.

Di kursi paling ujung, duduk Tristan, tampak memisahkan diri dari rekan-rekan lain yang saling mengobrol satu sama lain. Energi Tristan dirasa nyaris habis, Ia lelah kalau harus kembali berinteraksi dengan orang banyak.

Namun beberapa menit kemudian, pikirannya terkoneksi ke percakapan orang-orang yang ada di belakangnya. Dalam diam, Ia menyadap pembicaraan tiga wanita itu. Tristan yakin benar tanpa harus menoleh, kalau Bella ada disana. Luar biasa, suara dosen itu pun Ia hafal diluar kepala.

"Oalah anemia ya Mbak. Tadi udah ke klinik atau kemana gitu tapi kan? Udah minum obat?" tanya seorang wanita yang tidak Tristan tahu siapa.

"Iya, tadi sudah istirahat di poliklinik dekat hotel beberapa jam sebelum kesini. Alhamdulillah udah lebih baik."

Kali ini baru Bella.

Tristan menghela nafas lega. Rupanya tidak separah yang Ia kira, pikirnya. Merasa sudah mendapat informasi yang Ia cari, Tristan lantas menyudahi agenda penyadapannya, kembali fokus pada berita di ponsel.

'Pembunuhan Berantai The Retro; Kasus yang Tak Kunjung Menemui Titik Terang'

'Siapakah The Retro sebenarnya?'

'Jejak-jejak Kriminal Pembunuh Sadis The Retro yang Misterius'

Begitulah tajuk-tajuk berita yang dibaca Tristan. Kasus lama namun masih berlangsung, baik penyelidikannya, ataupun kasusnya. Kasus yang membuat seniornya di kepolisian harus berpacu dengan waktu, mencari pelaku sebelum korban baru bertambah.

"Panggilan kepada penumpang pesawat udara Garuda Indonesia tujuan Jakarta, dengan nomor penerbangan GA-127 harap memasuki pesawat!"