Agatha melompat di antara dahan demi dahan pohon berusaha untuk mengejar vampir yang telah lama tidur berhibernasi.
"Sial, nih vampir sudah berapa ribu tahun sih tidak bangun? Jangan sampai ia menghisap darah Nayla," batin Agatha
Sehingga ia berusaha menyelamatkan Nayla. Namun, si vampir bersayap terbang menjauh, Agatha kesulitan untuk menolongnya
"Tolong! Tolong!" teriak Nayla dari angkasa di antara cengkaraman tangan si vampir.
Si vampir terus membawanya terbang. Namun, sebuah panah perak menembus pinggang si vampir membuat asap putih dari lukanya.
"Aahgg!" teriak si vampir. Ia kesakitan akibat luka tersebut.
Ia melepaskan cengkramannya,
"Aaa!" teriakan Nayla.
Nayla jatuh melayang dari ketinggian, sebelum ia terhempas sebuah tangan menarik dan membopongnya.
Nayla membuka matanya dan melihat Alan menolongnya dari balik hoodie-nya.
"Alan .... " lirih Nayla. Ia bersyukur tidak terhempas ke bumi.
Akhir-akhir ini, ia merasa dirinya bagaikan magnet yang selalu menarik malapetaka.
Ia bernapas lega, saat ia tahu Alanlah yang menolongnya.
Alan mendarat tepat di samping Agatha dan Gwendolyn dengan busur panahnya juga Andre yang menembak si vampir yang sudah melesat menjauh dengan asap yang masih keluar dari pinggangnya.
"Mom! Pap! Syukurlah, kalian di sini!" teriak Agatha memeluk keduanya.
Alan menurunkan Nayla, ia sedikit bingung melihat ketiganya. Ia melihat ketiganya tidak cocok disebut sebagai orang tua dan anak karena usia mereka yang tidak jauh berbeda.
"Apa kabarmu, Brother?" tanya Agatha yang langsung berhamburan ke pelukan Alan.
"Aku baik-baik, saja! Mengapa kau tidak bilang akan pulang?" tanya Alan khawatir.
"Aku ingin membuat kejutan, tetapi aku yang malah terkejut dibuat vampir itu. Vampir jenis apakah itu?" tanya Agatha bingung.
Nayla masih bingung memandang semua orang, "Mereka keluarga? Apakah mereka monster juga?" batin Nayla bingung.
"Ehm, kami bukan monster. Walaupun memang begitu adanya. Paling tidak, kami monster yang sopan!" ucap Gwendolyn tersenyum.
Agatha tertawa geli akan penjabaran ibunya, "Memang ada monster sopan, mam?" tanya Alan.
Keempatnya tertawa, kecuali Nayla yang sedikit bingung harus bagaimana. Alan memahami kebingungan Nayla.
"Nay, ini Ayahku Andre, Ibuku Gwendolyn, dan Agatha adikku! Mom, Pap, Agatha. Ini Nayla," ujar Alan.
"Suit! Suit!" Agatha langsung bersiul. Gwendolyn mencubit pinggang Agatha.
Gwendolyn takut jika Alan akan menjadi kikuk dan sedikit malu. Ia sama sekali belum pernah membawa dan mengenalkan seorang wanita mana pun kepada keluarga vampirnya selama 500 tahun ini.
Alan tidak tahu harus bagaimana memperkenalkan Nayla kepada keluargannya. Gwendolyn, Andre, dan Agatha saling pandang.
Mereka merasakan sesuatu yang telah terjadi kepada Alan. Keduanya tersenyum bahagia, selama ini mereka mengetahui kesepian dan kesedihan Alan.
Di antara mereka, hanya Alanlah yang tidak pernah menerima dirinya menjadi seorang monster. Walaupun hanya dialah vampir sejagad raya yang tidak pernah merasakan darah manusia.
Namun, demikian ia masih saja merasa enggan untuk berbaur dengan manusia maupun vampir. Ia hanya bergaul dengan keluarga vampirnya saja.
Dulu, sewaktu kedua orang tua dan adiknya masih hidup dia hanya diam-diam melihat mereka dari kejauhan. Mengirimi mereka uang tanpa tahu siapa yang memberikan.
Gwendolyn mendekati Nayla,
"Akh, Nayla sayang. Apa kabar? Ayo, mampirlah ke rumah kami!" tawar Gwendolyn.
Nayla kebingungan harus bagaimana, Alan hanya memandang ke arah Nayla ia hanya diam saja.
"Um, baiklah!" balas Nayla.
Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, ia merasa segalanya sudah terlanjur basah. Ia juga merasa lebih nyaman bersama dengan Alan.
Daripada bertemu dengan vampir yang mengerikan membawanya terbang ke angkasa.
"Apa boleh buat. Jika pulang pun aku juga tidak bisa," batin Nayla.
"Alan, bawalah Nayla secepatnya. Aku takut vampir lain akan banyak berkeliaran lagi," ujar Andre.
Andre yang langsung melesat bergandengan dengan istri dan putrinya, meninggalkan Alan dan Nayla.
"Ayo, naiklah ke punggungku! Jika kamu takut, pejamkan saja matamu." Alan menatap kedua mata Nayla yang bening.
"Baiklah! Apakah kau akan kuat? Aku sangat berat, aku sudah lama tidak berdiet." Nayla mulai gugup, sehingga ia lebih banyak bicara.
Alan tersenyum dan menggendong Nayla di punggungnya, ia ingin membopongnya tetapi keharuman darah milik Nayla dan gemuruh jantung miliknya tidak mampu ia kendalikan.
Alan takut bila berdekatan terlalu lama dengan Nayla. Alan takut jika ia menerkam dan menghisap darah Nayla, sehingga ia melakukan pembunuhan untuk pertama kalinya di dalam hidupnya terhadap manusia.
Nayla memejamkan mata saat Alan membawanya melompati dahan demi dahan. Alan merasakan Nayla ketakutan yang luar biasa,
"Apakah kau takut, Nay?" tanya Alan.
"A-aku ... Maklum saja. Baru pertama kalinya pengalaman unik ini bagiku," balas Nayla.
Ia tidak tahu harus berkata apalagi, secara ia hanyalah manusia biasa. Ia tidak pernah bergerak secepat angin dengan melompati semua dahan begitu cepatnya.
Semua itu adalah pengalaman terbaru bagi Nayla. Ia membuka matanya perlahan, ia hanya melihat kepekatan di depan matanya.
Ia melihat sebuah rumah terbuat dari bata dengan cerobong asap di salah satu atapnya. Rumah kuno tetapi sangat indah.
Alan menurunkannya tepat di depan pintu, "Ayo, masuk. Ini rumah kami. Semoga kau tidak kabur setelah memasuki rumah monster yang sopan," ucap Alan.
Ia ingin mengatakan vampir, tetapi ia mengurungkannya. Ia masih ragu jika Nayla tidak akan lari terbirit-birit. Nayla hanya tersenyum, ia berusaha untuk tidak gugup.
Walaupun jauh di dalam hatinya, ia sudah ingin mengangkat sendalnya untuk segera kabur. Akan tetapi, mengingat begitu cepatnya mereka melesat.
Ia merasa segalanya akan sia-sia, sehingga ia menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Nayla menguatkan tekadnya untuk masuk ke dalam rumah.
Ia melihat Agatha dan Andre sedang ngobrol di depan TV dengan seriusnya. Keduanya menoleh melihat Alan dan Nayla masuk.
"Hei, aku kira kalian tidak akan sampai. Aku kira kau akan menculik dan membawanya entah kemana Brother!" goda Agatha.
"Jangan dengarkan mereka Nayla. Mereka selalu seperti itu bila bertemu. Ayo, masuklah. Hangatkan tubuhmu," ujar Andre.
Nayla melihat Gwendolyn sibuk memasak di dapurnya. Aroma hidangan khas Indonesia begitu menggugah selera.
Kriuuukk!
"Aduh, buat malu saja nih cacing?" batin Nayla.
Gwendolyn tersenyum, ia mendengar semua bisikan di benak Nayla.
"Gadis ini, luar biasa berani. Ia tidak sedikit pun merasa takut berada di rumah monster. Padahal ia benar-benar tahu jika kami monster!" batin Gwendolyn,
"aku berharap Alan telah menemukan cintanya lewat gadis manis ini," sambung batin Gwendolyn.
Ia menyiapkan semua hidangan mewah di meja makan, "Ayo, Nay makanlah!" ajak Gwendolyn.
Nayla memandang ke arah Alan. Seakan ia meminta persetujuan, "Makanlah, masakan Ibuku sangat enak!" balas Alan.
Semua orang di ruangan itu begitu terkesiap, mereka tidak menyangka jika keduanya memiliki sesuatu yang istimewa.