"Pengalaman kerja 20 tahun? Aneh sekali. Bagaimana bisa ada kesalahan input? Jika memang dia sudah bekerja 20 tahun di sana berarti dia memalsukan usianya. Oh ya, jika dia benar benar mengenal Paman (Holan) berarti usianya tidak jauh sama dengannya," Arvy berpikir. "40 tahun? 45 tahun? Saat aku menebak usianya ada zero zero di belakangnya dia juga nampak terkejut. Sebenarnya siapa Rataka ini? Aku jadi makin penasaran dengan kemisteriusannya."
Karena kesal dengan deduksinya tentang siapa sesungguhnya Rataka yang aneh itu, ia menuju apartemennya. Dia mengambil kunci basemen di laci dekat tangga menuju bawah dan menuruni tangga.
Dibukanya pintu basemen dan ia sama sekali tidak terkejut dengan kondisinya yang berantakan.
Ranjang yang acak acakan, tali rantai besi, tali temali tebal, genangan air di salah satu lantainya yang cekung, cipratan darah Valen di dinding dan beberapa titik di lantai serta pisau yang ia lemparkan di sudut ruangan.
Arvy menghela napas sembari memejamkan matanya.
Ia akhirnya memutuskan untuk membersihkan basemennya. Membersihkan lantai dan dinding, merapikan ranjang tempat tidur Rey, menyimpan selimutnya ke almari kecil serta tali tali ke laci, mencuci dan membersihkan pisaunya lalu menyimpannya kembali ke laci kecil samping tempat ia tidur. Sesaat sebelum memasukkannya kembali lagi ke sarung atau selongsongnya, Arvy menatapnya lama dan mengingat kembali pertengkarannya dengan paman saat itu.
"Kau mau paman masukkan penjara?!"
"Kau seharusnya tidak berpikir seperti pembunuh, kau harus berpikir seperti yang orang biasa pikirkan. Apa kau tidak pernah terpikir untuk menghubungiku? Pamanmu seorang polisi, jadi apa yang kau ragukan?! Menahan dua orang di sini hanya akan memperburuk masalah."
"Apa ayahmu tahu kau seberbahaya ini?!"
Arvy mengingatnya sembari termenung.
"Berbahaya? Aku?"
Tiba tiba ponsel di sakunya berbunyi.
Arvy segera menaruh pisau itu dengan rapi, lalu keluar dan mengunci pintu basemennya yang sudah bersih. Ia mengangkat panggilan itu.
"Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah sakit yang pernah didatangi Nona Gita, Tuan Muda. Namun tidak menemukan apapun."
"Bagaimana dengan rumah sakit yang lain?"
"Saya akan coba mencarinya lagi. Saya juga akan mencari di klinik dan dokter pensiunan."
"Dokter pensiunan?"
"Iya, Tuan."
Arvy terdiam dan berpikir sejenak.
"Baiklah, kalau begitu." Arvy hendak menutup panggilannya, namun suara laki laki dari seberang telepon itu mengatakan sesuatu.
"Anu Tuan Muda, begini…"
"Ada apa lagi?"
"Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tanyakan saja."
"Apa anda tahu dari mana kakek anda mendapatkan dokumen itu?"
"Memang ada apa dengan dokumennya?"
Laki laki bawahan Arvy yang mencari Gita itu ragu mengatakannya.
"Ada apa? Katakan saja, tidak usah takut."
"Sepertinya dokumen itu palsu."
Hening sejenak.
"Kau di mana?" tanya Arvy kemudian. "Temui aku sekarang."
"Maaf, Tuan. Saya masih di luar ibu kota."
"Begitu ya."
"Saya juga sudah membuat daftar klinik dan dokter pensiunan di ibu kota. Saya masih harus mengurusnya sampai besok. Setelah saya selesai, saya pasti akan langsung menemui Tuan Muda."
"Baiklah. Hubungi aku kapan saja kalau sudah selesai.
Arvy lalu menutup panggilannya. Ia segera melangkah menuju kamarnya dan membuka dokumen yang berada di dalam amplop cokelat dengan tergesa. Ia membacanya dengan hati hati.
Di lembar pertama adalah identitas personal, tertulis nama nama rumah sakit yang pernah di datangi Gita untuk berobat, nama anggota keluarganya yang sudah meninggal, alamat rumah lamanya, universitas di mana ia kuliah, namun belum sampai lulus ia pergi. Tidak ada pergi ke Toronto sama sekali. Ia berobat dari rumah sakit sana sini dan akhirnya hampir sembuh namun ia menghilang. Catatan akhir menunjukkan 1 tahun yang lalu, dirinya baru meninggalkan rumah sakit itu.
Di lembar kedua terlampir dokumen kesehatan terakhir Gita di rumah sakit Adijaya di luar ibu kota. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan hendak menelepon bawahannya tadi, namun sebuah telepon masuk, ia kira itu dari bawahannya namun ternyata itu adalah…
"Saya Mark, saya ada di bar anda, Tuan Ar…eh maksudnya Arvy."
"Ada apa menghubungiku?"
"Ada gadis manis yang ingin bertemu dengan anda?"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Katanya namanya Amy, dia mencarimu, Vy."
"Amy? Kenapa dia ada di sana?"
"Serius kau tanya itu padaku? Cepatlah kemarin pacarmu sudah menunggu."
"Pacar? Jangan asal bicara! Dia bukan pa…"
Tuuut
Mark memutuskan panggilannya.
Arvy menatap ponselnya sebal.
"Bagaimana bisa seorang pengawal bersikap seperti ini? Sialan!"
Arvy memasukkan dokumen penting itu di laci paling bawah, ia keluar kamar dan meraih coatnya di gantungan, lalu keluar meninggalkan apartemen menuju bar nya.
Beberapa saat sebelumnya, Amy sengaja datang ke bar Arvy dan berniat untuk mengakhiri kecanggungan mereka. Dio juga tidak ada bersamanya lagi, ia takut akan jadi kecanggungan terus menerus selama acara keluarga. Dio juga memintanya agar akrab dengan Arvy.
Ia berdiri di depan bar dan menghela napas.
"Astaga…apa yang aku lakukan di sini? Terakhir aku ke sini dai mabuk seperti orang gila, menangis dan membicarakan pacarnya. Apa kali ini dia akan mabuk lagi? Ah kenapa aku selalu menemuinya saat dia mabuk sih? Kuharap kali ini dia normal."
Amy memutuskan masuk ke dalam, lumayan cukup ramai bar nya, pelayan juga sibuk melayani pelanggan. Namun karena bukan pelanggan, Arvy begitu masuk langsung menuju ruang belakang. Yang biasa di akses karyawan dan staf.
Tiba tiba seseorang menghentikannya. Amy sangat terkejut karena perawakannya yang tinggi, memakai jas hitam kaca mata hitam dan sepatu resmi seperti seorang mafia di acara televisi.
"Astaga!" Amy kaget setengah mati.
"Siapa kau, gadis kecil? Berapa usiamu? Anak dibawah umur tidak boleh ke bar, kau tidak tahu?"
"Apa?!" Amy jengkel. "Paman ini siapa?"
"Aku? Aku adalah pengawal Tuan Arvy hari ini."
"HA?!"
"Jadi…" Mark melihat penampilan Amy dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Amy memakai blues biasa dan rok pendek, tas selempang kecil dengan rambut lurus dan ikatan rambut ponytail samping. Wajahnya kecil dan memakai sepatu putih. Gaya khas anak gen z. mark senyum senyum sendiri melihatnya.
"Berapa usiamu? Apa kau sudah 18 tahun?"
"Paman ini apa apaan si?!" Amy memanyunkan bibir sebal. "Aku ini sudah 20 tahun tauk!"
"Apa kau pacarnya Arvy?"
"Tidak! Tentu saja tidak! Jangan ngawur kau, dasar om om, cih!"
Amy berbalik lalu duduk di kursi pelanggan. Ia seba sendiri memikirkan tuduhan Paman yang sok kenal tadi padanya.
"Apa Arvy suka tipe gadis muda seperti itu? Bukannya dia terlalu tua mengencani gadis lugu itu?" Mark menggeleng. Ia mengira Arvy adalah om om yang suka dengan gadis yang masih kecil. Ia lalu memutuskan untuk menelepon Arvy.
Arvy sampai di bar nya, ia masuk dari pintu depan dan melihat Mark berdiri di dekat kasir. Ia menghampirinya.
"Di mana Amy?"
"Bukannya dia lebih cocok jadi adikmu?" Mark meliriknya dengan sinis. "Apa kau pedo?!"
Mark tiba tiba meneriakinya.
"Kau ini bicara apa sih?"
"Aku lihat profilmu di akun aplikasi, usiamu sebentar lagi 26 tahun. Gadis itu baru 20 tahun, aishhh ckckckck."
Arvy menggertakkan giginya. "Coba kau bilang lagi? Katakan lagi coba? Aku? Dengan anak itu? Woi sadarlah! Kau bahkan tidak tahu siapa dia?!"
Arvy memegang kepalanya, balik ke bar malah harus debat konyol begini.
"Apa mereka mengganti pengawal jadi pelawak sekarang?" batin Arvy.
"Jadi dimana dia?"