Sudah cukup lama Hazel mengobrak-abrik isi ranselnya, namun novel itu belum juga ia temukan. Benda sebesar itu tidak mungkin terselip didalam ransel sekecil ini. Jika tidak menjatuhkannya, sudah pasti novel itu tertinggal didalam perpustakaan. Hazel memutar tubuhnya dan berdiri menatap gedung itu kembali. Otot diwajahnya seketika mengendur, menunjukan ekspresi kelelahan sekaligus frustasi. Mau tidak mau dia harus kembali ke perpustakaan itu. Menghidari terjadi hal yang tidak diinginkan jika novel itu jatuh ke tangan orang lain.
"Ah, sial."
"Maaf, Mbak. Tapi sebentar lagi jam kunjungan hampir habis." Seorang petugas berujar sambil menahan Hazel yang hendak menerobos pintu masuk. "Mbak bisa kembali besok."
"Lima menit?" Hazel mencoba untuk bernegosiasi.
"Tapi––"
"Barang saya tertinggal didalam. Mbak mau tanggung jawab kalau besok barang saya gak ketemu? Atau––"
"Oke … tiga menit." Tutup sang petugas seraya mempersilakan Hazel memasuki gedung.
Hazel benar-benar menggunakan waktu tiga menitnya mencari novel. Dengan langkah tergesa Hazel berlarian kesana kemari menyusuri tempat mana saja yang sempat ia singgahi. Hingga sepasang mata elangnya kini bergerak seolah tengah melakukan scanning disegala penjuru ruangan. Usahanya sama sekali tak membuahkan hasil. Hazel belum juga mendapatkan apa yang ia cari sejak tadi. Sampai-sampai tidak sadar kalau seluruh gedung seketika berubah gelap. Seseorang menguncinya dari luar, mengira kalau sudah tak ada lagi pengunjung karena hari sudah mulai gelap.
Nasi sudah menjadi bubur. Hazel terduduk pasrah diantara rak-rak buku yang menjulang tinggi. Merogoh saku celananya dan menggunakan cahaya ponsel untuk kembali mencari novel miliknya. Kembali menyeret kakinya menyusuri setiap sisi ruangan itu.
"Astaga!" Hazel berteriak tepat saat cahaya senter dari ponselnya mengenai wajah seseorang didepannya. "Zaidan?"
Ya. Dia adalah orang yang sama dengan sosok yang ditemui Hazel beberapa saat yang lalu. Seseorang yang mirip dengan Zaidan itu masih memasang wajah acuh, sama sekali tak bereaksi sekalipun Hazel berteriak kencang. "Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam disini? Mencuri? Atau menguntitku?" selidik Zaidan.
Hazel mendelik. "Hey! Jangan asal menuduh sembarangan. Aku kembali karena barangku tertinggal disini. Sekarang barang itu telah hilang dan aku harus bermalam disini karena terkurung."
"Aku menemukan sesuatu yang tergeletak dilantai, siapa tahu memang benda itu yang kamu cari."
"Sebuah buku novel?" tanya Hazel memastikan.
Zaidan mengangguk. "Ya. Novel bersampul hitam dengan tinta emas diatasnya."
Hazel diam terpaku saat melihat novel itu berada dalam genggaman tangan Zaidan. Dia tidak tahu apakah pria itu sempat membuka novel itu atau tidak. Yang pasti, jika Zaidan sudah membukanya, bisa dipastikan dia ikut terkejut karena ilustrasi dan nama tokohnya sama persis dengan dirinya.
"Tahun berapa sekarang?" tanya Hazel. Memandangi wajah pria yang baru saja menuntunnya untuk menduduki salah satu kursi disana.
"2019. Kenapa?"
Hazel menggeleng. "Tidak. Em—apakah menyesal terkurung disini demi mengembalikan novel ini padaku?" tanyanya sambil membelai cover novel itu dengan jemarinya lembut.
Pria itu menggeleng. "Sedari tadi aku menunggumu. Karena aku yakin kamu akan kembali demi novel ini."
"Jangan dibuka!" tahan Hazel saat melihat Zaidan mulai membuka halaman demi halaman novel itu.
"Kenapa?"
"Ka-karena—" Hazel menggigit bibir bawahnya gugup. "Karena aku harus pergi."
Belum sempat Zaidan membuka mulut, Hazel lebih dulu berdiri, berlari, dan bersembunyi dibalik rak-rak buku yang menjulang tinggi. "Bawa aku masuk ke dunia fiksi," gumam Hazel sambil memejamkan mata. Memeluk novel yang sengaja dibuka pada halaman kosong tanpa bab.
~~~@~~~
Jakarta, 2022.
Grand Residence Jakarta
Hazel perlahan membuka matanya. Dia juga terlihat mengembuskan nafasnya seraya mengusap dada setelah memastikan dirinya tak lagi berada di perpustakaan. Sebenarnya, bukan maksud Hazel pergi meninggalkan pria yang mengaku bernama Zaidan didunia nyata, kemudian pergi menemui Zaidan didunia fiksi. Kedatangannya ke dunia fiksi hanya untuk memastikan dan mencari jawaban dari semua pertanyaannya selama ini.
Kening Hazel menyerit saat menyadari posisinya menghadap pintu apartmen Zaidan. "Apartmen Zaidan?"
Hazel memberanikan diri untuk masuk tanpa mengetk terlebih dahulu. Dengan penuh rasa bersalah karena telah pergi begitu saja, Hazel melangkahkan kakinya mendekati Natasha yang tengah bercengkrama mesra dengan kekasihnya, Kim Samuell, di sofa apartmen Zaidan.
"Balik juga lo," sindir Natasha dingin. "Zaidan ada dikamarnya. Nih, bawain pizza sama cola sana. Kayaknya itu cowok belum makan semenjak lo pergi kemarin malam."
"Oh ya, Hazel," ujar Samuell membuka suara. Memutar tubuh dan memperbaiki cara duduknya menghadap Hazel. "Zaidan bilang kalau dia lagi gak mau diganggu. Tapi dia minta dibangunin jam enam pagi nanti. Lo masih inget jadwal terbang ke Bali besok pagi, kan?"
"Bali?"
"Ya. Gue harap lo gak kabur-kaburan lagi disana. Kasihan Zaidan, dia sibuk nyariin lo dari kemarin malam."
Hazel mengangguk dan pergi ke kamar Zaidan dengan menenteng piring berisi potongan pizza dan segelas berisi cola. "Ba-baik."
Sepasang mata Hazel menatap sendu daun pintu kamar bertulis 'Zaidan Room'.
Tok! Tok! Tok!
"Zaidan, makan dulu!" teriak Hazel sambil mengetuk keras daun pintu.
Ceklek!
Pintu terbuka dan menunjukan sosok Zaidan tengah berdiri mematung dengan kaus putih dan celana pendek hitam. Matanya terlihat sayu dan setengah terbuka, menggaruk belakang kepalanya setengah sadar. "Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara parau.
"Jam 6."
Pria itu terbelalak dengan mulut terbuka membentuk huruf O. Dengan secepat kilat dia berbalik dan merapikan kasur. Menyingkirkan barang-barang yang berserakan diatas tempat tidurnya. Berlari kearah kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi. "Ah sial!" makinya kesal, kemudian membungkukan tubuhnya. Meraih botol sampo dan menumpahkan ditelapak tangannya, diusapkan kepuncak kepalanya setelah dibasahi air wastafel terlebih dahulu.
Hazel berdiri diambang pintu kamar mandi, memandangi punggung Zaidan dengan tatapan heran. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir dengan tingkah Zaidan saat ini. "Kamu kucing?" Walaupun terlihat kebingungan, namun Hazel tetap menghampiri sang kekasih untuk membantunya mencuci rambut.
Hazel bahagia. Alasan lain ia kembali kedalam dunia novel yaitu untuk melanjutkan kisah yang tertunda. Lagipula, Hazel ingin tahu alasan kenapa saat didunia nyata––sikap Zaidan terlihat sangat dingin padanya. Lebih menyenangkan melihat sikap Zaidan didunia novel, setidaknya dia bisa merasakan bahagianya dicintai seorang Zaidan Abriana.
"Gak ada waktu, Sayang," jawab Zaidan. Kemudian keluar setelah menerima handuk dari tangan Hazel dan kembali ke kamar sambil untuk mengeringkan rambut dan berganti pakaian.
Zaidan menoleh kemudian memberi kode tangan agar sang kekasih segera berbalik badan. Dan Hazel pun paham, segera membalikan badannya memunggungi Zaidan. Untuk yang pertama kalinya, kedua sejoli ini berada dalam satu ruangan dengan rasa gugup yang membuncah. Biasanya, Zaidan hanya berani membuka kausnya sambil memunggungi sang kekasih. Namun kali ini keadaan yang membuat mereka terpaksa berada dalam satu ruangan karena waktu yang mendesak.
Dan setelah membalikan tubuhnya, Hazel berjalan layaknya gaya jalan kepiting dengan melangkah miring. Pergi melewati ranjang menuju pintu kamar. Rasanya ingin segera keluar dari zona yang bisa membunuhnya secara perlahan. Tak mempedulikan gemuruh dalam dadanya, seperti sekelompok music orchestra diiringi dengan suara sorakan riang para penonton.
Wanita itu menggerakan ekor matanya kemudian meringis, tak sengaja melihat beberapa helai pakaian ditubuh Zaidan yang terjatuh dan tergeletak dilantai. Sedangkan sang pemilik kamar sama sekali tak mempedulikan apakah Hazel mengintip tubuh telanjangnya atau tidak. Dia hanya tersenyum geli saat melihat Hazel berjalan miring untuk menghindarinya, berusaha untuk memberikan ruang pribadi pada kekasihnya.
"Woah!" seru Hazel setelah berhasil keluar dari kamar sang kekasih. Berdiri membelakangi pintu dan meletakkan satu tangan didepan dada. Napasnya memburu cepat, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Ayo berangkat!" ajak Zaidan setelah mengejutkan sang kekasih dengan memakan potongan besar pizza yang hendak masuk kedalam mulut Hazel.
"Natasha!" panggil Zaidan saat melihat Kim Samuell sibuk memakan pizza bersama Natasha. "Habis wawancara narasumber nanti, gue cuti satu hari sama Hazel. File-nya dikirim langsung ke editor biar dipublikasi hari itu juga." Pintanya sambil mengunyah potongan pizza ditangan Hazel dengan mulut penuh.
"Lo mau kemana?"
Pria itu berjalan cepat kearah dapur untuk mengambil sebotol air mineral dan meneguknya cepat. Kemudian kembali setengah berlari dengan pakaian casual dan ransel besar dipunggungnya, menenteng camera video ditangan kanannya. "Kerja!" jawabnya santai.
Semua tercengang mendengar jawaban santai Zaidan. Sepertinya tebakan mereka benar, Zaidan mengigau. Dia terbangun saat Hazel mengetuk pintu kamarnya, mengira wania itu memang membangunkannya dipagi hari sesuai pesannya. Pantas saja pria itu terlihat begitu tergesa dalam melakukan sesuatu. Bahkan untuk yang pertama kalinya mereka mengetahui fakta bahwa seseorang seperti Zaidan hanya mencuci rambutnya, tidak berendam didalam bathup atau mandi air shower seperti biasanya.
"Hah?! Kerja?" teriak Samuell, Hazel, dan Natasha kompak.
"Gue gak percaya kalau pria didepan gue ini punya IQ 150." Ledek Natasha sambil menggeleng tak percaya.
"Zel, bawa tuh bocah ke balkon, pelototin matanya. Gue mau antar Natasha pulang dulu, bye." Ujar Samuell sambil berlalu menggandeng Natasha.
"What's wrong?" tanya Zaidan. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Berjalan kearah balkon setelah meletakkan ransel dan juga tas cameranya diatas sofa.
"Harusnya jawabanmu itu jam delapan belas bukan jam enam." Gerutu Zaidan sambil berjalan lemas meninggalkan balkon, menenteng kembali ransel dan kameranya menuju kamar tidur. Menjatuhkan tubuhnya diatas kasur tanpa melepas sepatu dan mengganti pakaian.
Ada perasaan sesal dihati Hazel saat melihat sang kekasih menggerutu kesal karenanya. Namun, disisi lain ada juga perasaan yang menggelitik, saat melihat tingkah Zaidan yang berbeda seperti biasanya. Pria yang biasanya selalu ingin terlihat perfect dan serius itu kini bertingkah polos dan kekanakan. Tipe pria yang tak pernah merajuk, kini berani merajuk hanya karena jam tidurnya yang terganggu oleh sang kekasih. Jelas saja Hazel merasa menang, jarang-jarang dia melihat Zaidan berbicara banyak sambil memanyunkan bibirnya.
Hazel menyunggingkan senyumnya. "Aku akan menginap."
Zaidan mengerutkan keningnya dan menoleh ke sumber suara. "Apa maksudmu?"
"Ayo tidur bersama untuk malam ini." Menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang, menjadikan perut Zaidan sebagai bantal. "Maksudku … bisakah berbagi kamar bersamaku?"
Zaidan membelalakan matanya. "Ah, o-oke." Seraya bangkit menuruni ranjang dan berjalan kearah pojok kamar, mengambil sesuatu didalam lemari besar.
Hazel membulatkan matanya tak percaya saat melihat sang kekasih membongkar isi lemarinya. Pria itu benar-benar berniat mengganti suasana ranjang jadi lebih baru dan cerah, hingga memutuskan untuk mengganti sprei, bed cover, dan bantal berserta sarungnya. Suasana ranjang yang tadinya terlihat gelap dengan nuansa dark grey, kini semuanya disulap dengan warna serba putih yang jauh lebih cerah.
"A-ah, tak perlu berlebihan," ujar Hazel. Terkekeh saat melihat Zaidan bergerak cepat mengganti sprei, bantal, dan selimut dengan yang baru saja ia keluarkan dari dalam lemari. Pria itu bahkan melempar sembarang arah beberapa bantal dan guling, dia juga terlihat menyeritkan keningnya setelah menciumi selimut sebelum melamparnya ke lantai. Kembali bergerak cepat memunguti sprei dan selimut dilantai, kemudian memasukkannya ke keranjang cucian.
"Kemari!" pinta Zaidan sambil menepuk kasur disebelahnya.
Keduanya tersenyum sambil duduk bersandar dikepala ranjang, menyembunyikan bagian bawah tubuh mereka dibawah satu selimut. Ini adalah momen pertama Zaidan dan Hazel menghabiskan malam diatas ranjang yang sama. Jujur saja, ada rasa gugup yang tak mampu disembunyikan. Semua itu terlihat jelas dengan keduanya yang sama-sama menggigit bibir bawah dan meremas jemari mereka masing-masing. Tak ada yang mereka lakukan selain memandang lurus kedepan, dimana siaran televisi yang tengah menampilkan acara serial drama.
"Kamu bosan?" tanya Zaidan memecah keheningan. "Mau menonton ulang The Notebook?"
Hazel mengangguk. "Boleh."
Suasana kembali hening.
Sepasang sejoli itu kembali membungkam mulutnya masing-masing. Tak ada suara lain, selain suara televisi yang tengah menunjukan adegan romantis dua pemeran utama, Noah dan Allison. Sesekali Hazel tersenyum sambil membayangkan kebahagiaan Noah dan Allison dikehidupan nyata, bahkan Hazel sering membayangkan akan kisah ini semasih membaca cerita The Notebook versi novel dulu.
Hazel tersenyum tanpa menoleh sedikitpun, membiarkan Zaidan memadang wajahnya dari samping. "Aku ingin kamu menjadi seperti Noah. Pria yang terus mencintai Allison, walau tahu wanita itu tak lagi mengingatnya karena alzheimer karena yang dideritanya."
"Aku sudah melakukannya tanpa kamu pinta, Hazel."
Hazel menoleh, kedua matanya sukses menangkap ekspresi wajah Zaidan yang belum pernah ia lihat selama ini. Mata indah Zaidan seolah berbicara kalau pemiliknya memang memiliki cinta yang begitu besar dan tak akan habis dimakan waktu. Hazel tahu bahwa Zaidan memang mencintainya, tapi dia tak pernah tahu cinta seperti apa yang dimiliki Zaidan untuknya. Selama ini dia hanya bisa menerima, tak pernah sekalipun tahu sebesar apa cinta pria itu untuknya, setulus apa perasaan itu untuknya, dan seberapa lama cinta itu akan mengalir padanya.
"Apakah itu benar?"
Zaidan mengangguk dan menarik tubuh Hazel, menjadikan lengannya sebagai bantal kepala kekasihnya. "Jangan pergi! Jangan pergi dariku lagi! Jika kamu bersikeras untuk tetap pergi maka kisah diantara kita akan berakhir."
Hazel menoleh dan memandangi wajah Zaidan yang mulai terpejam. "Alih-alih melarangku pergi, kenapa kamu tidak bertanya kemana aku pergi sebelumnya? Dan kenapa aku pergi meninggalkanmu?"
Pria itu tersenyum tipis dengan kedua mata tertutup. "Aku tidak akan meminta penjelasan yang sudah jelas akan menyakiti diriku sendiri." Membuka matanya dan kembali berbicara. "Kamu bukan orang pertama yang pergi meninggalkanku, Hazel. Sebelum kamu, ada beberapa orang yang pergi dan meninggalkan luka."
Ucapan menohok Zaidan sukses membuat Hazel termenung memandang langit-langit kamar. Pengakuan pria itu itu ada benarnya juga. Untuk seseorang yang memiliki cinta cukup besar pada kekasihnya, dia tidak akan meminta penjelasan yang hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Bukan pura-pura tidak tahu atau seolah tidak terjadi apa-apa, upaya itu dilakukan hanya karena takut kehilangan. "Jika aku menjelaskan alasannya tanpa kamu pinta, apakah kamu akan terluka?"
Walau Hazel tahu semua penjelasannya nanti hanya akan menjadi angin lalu karena terdengar tidak masuk akal, tapi Hazel tetap harus menjelaskan apapun alasannya. Menjadi pembohong atau penipu bukan tindakan yang harus dilakukan pada orang baik seperti Zaidan. Tapi kembali lagi pada pinta Zaidan, mereka hanya akan terluka, karen Hazel pun mulai merasa berat untuk meninggalkan Zaidan lagi. Meski tidak cukup untuk dikatakan cinta, tapi kini Hazel sudah mulai merasakan perubahan hidup karena adanya cinta Zaidan. Perubahan kecil yang membawanya pada rasa nyaman, bahagia, sampai muncul harapan baru kalau kisah mereka memang nyata adanya.
"Ya, aku akan terluka."
"Kamu pengecut ternyata. Haha." Ledek Hazel mentertawakan ketakutan Zaidan akan kenyataan pahit hidupnya.
"Aku bukan pengecut."
"Lalu apa lagi kalau bukan pengecut? Takut aku pergi dan tak lagi mencintaimu? Sebesar itukah rasa cintamu padaku, Zaidan?" Hazel kembali terkekeh senang.
Zaidan merubah posisi tidurnya menghadap Hazel. Menatap wajah gadis itu dengan sorotan mata penuh cinta. "Aku bukan hanya cinta padamu, tapi aku percaya. Aku percaya kalau wanitaku takkan pergi meninggalkanku. Aku percaya bahwa cinta wanitaku sama besarnya seperti cintaku padanya. Dan aku percaya … kamu menghilang bukan untuk benar-benar meninggalkanku. Apapun alasan yang kamu punya itu sama sekali tak berhubungan rasa cintamu padaku. Kamu takkan meninggalkanku dan aku percaya itu."