Kami melanjutkan perjalanan kami ke barat daya.
Kami nggak punya kereta, jadi kami semua harus menunggangi Filo.
"Haruskah kita mencuri sebuah kereta disuatu tempat?"
Kami sudah dikejar para pemburu hadiah. Gak masalah kan kalau cuma nambah kasus satu kereta kecil?
"TIDAK!"
Filo berteriak gak setuju.
"Kalau kita mencuri sebuah kereta, aku gak mau menariknya!"
Kurasa Filo punya rasa keadilan yang cukup tinggi.
"Yah, aku nggak mau mencuri kereta juga sih, tapi menunggangimu sepanjang waktu sangat melelahkan."
"Gimana menurutmu, Putri?"
"Hmm....."
Sang putri terlihat kebingungan oleh pertanyaanku.
Apa yang menggangu dia?
"Itu mungkin agak berbahaya, tapi mungkin lebih baik menyuruh Raphtalia pergi ke desa terdekat untuk membeli kereta."
Itu mungkin ide yang bagus. Atau haruskah kami meminta bantuan Shadow?
"Hari sudah senja. Haruskah kita berhenti untuk beristirahat?"
"Ya! Oh..."
Aku setuju dengan ide dia, tapi sang putri masih menatapku sambil merengut. Ada apa dengan dia?
Perut Filo bergemuruh keras.
"Aku laper!"
"Makanmu banyak sekali, Filo!"
Mel menusuk Filo dengan jari telunjuknya.
"Heh, heh."
Aku senang mereka berteman, tapi mereka mulai bertindak seperti pasangan yang bego. Itu menjengkelkan.
Aku selesai membuat api unggun dan melanjutkan membuat makan malam.
"Silahkan, Putri."
Aku selesai membuat makan malam dan mengulurkan piring pada putri—tapi dia masih merengut padaku.
Ada apa dengan dia?
"Mel, bukankah kau juga mau makan?"
"Ya, tapi..."
Dia melirik padaku lalu memalingkan tatapannya. Dia kuatir tentang sesuatu.
Tapi apa?
"Ada apa?"
"Bukan apa-apa."
Saat Raphtalia menanyai dia, dia mengulurkan tangan dan merampas piring yang kutawarkan.
"Ada apa denganmu, Mel?"
"Um...."
Mel bertindak cukup aneh sampai-sampai Filo jadi kuatir sekarang.
"Kau tau aku nggak punya kekuatan pencuci otak, kan?"
"Aku tau itu!"
Dia segera berpaling.
Meskipun sejujurnya dia nggak bersikap begitu aneh—semua hal perlu dipertimbangkan. Dia bermain dengan Filo, dan tersenyum serta berbicara dengan Raphtalia.
Dia cuma bersikap jengkel padaku. Dia mengabaikan aku.
Aku nggak tau apa masalahnya.
"Jangan katakan itu."
"Huh? Apa itu, Putri?"
Dia gemetar, dan dia menggumamkan sesuatu.
"Apa yang kukatakan?"
"Jangan memanggilku 'Putri' lagi!"
Dia berteriak. Matanya berlinang air mata.
"Kenapa kau marah begitu?"
"Aku punya nama! Namaku Melty!"
"Apa? Kenapa aku menyatakan dengan jelas kayak gitu?"
"Aku marah, Pahlawan Perisai, karena kau tidak memanggilku dengan namaku! Dulu kau biasa memanggil aku Mel!"
Putri pasti merasa stres karena perjalanan panjang kami. Dia memegang kepalanya dan bertindak histeris.
Filo dan Raphtalia memperhatikan sang putri yang ngomel-ngomel. Mereka jelas-jelas sama terkejutnya kayak aku.
"Kukatakan lagi! Aku punya nama. Namaku Melty. Tapi Pahlawan Perisai terus memanggilku 'putri kedua'! Itu gelarku, bukan namaku!"
"Apa? Kau mau aku memanggilmu dengan namamu?"
"Bukan itu sebabnya aku marah! Kenapa kau memperlakukan aku secara berbeda dari yang lainnya?!"
"Memperlakukanmu secara berbeda? Itu nggak seperti kau sudah jadi bagian dari partyku untuk waktu yang lama!"
"Tapi aku sudah berbagi suka dukamu, kan? Jangan memanggil aku menggunakan gelarku!"
"Terus, kau sendiri memanggilku 'Pahlawan Perisai'."
Sang putri kayaknya paham.
"Pahlawan Perisai" bukanlah namaku.
"Baik, aku akan memanggilmu Naofumi kalau begitu. Aku akan memanggilmu Naofumi, jadi aku minta kau memanggilku Melty!"
"Duh....."
"Nah kan?! Ayolah, Naofumi! Panggil aku Melty!"
Aku nggak suka bertindak begitu akrab.
Dia sangat sopan pada Raphtalia, tapi kami harus bertindak seperti kami benar-benar dekat secara tiba-tiba?
Tetap saja, aku nggak mau dia memanggilku "Tuan" atau semacamnya. Itu akan mengingatkan aku pada saat-saat bersama Lonte itu. Lonte itu dulu memanggilku "Tuan Pahlawan Perisai."
Kalau aku nggak menyetujuinya sekarang, dia pasti akan menyebabkan lebih banyak masalah, selain itu, dia membantu kami melindungi Filo dalam pertempuran yang sebelumnya.
Sejauh yang kutau, dia nggak bohong pada kami—dan dia berusaha mendamaikan si Sampah denganku, setidaknya sampai para knight ikut campur dan mengacaukan semuanya. Kalau dipikir lagi lebih jauh, dia menyelamatkan kami saat Motoyasu menyebabkan keributan di kota.
Dia nggak bohong, dan sepertinya juga nggak berusaha menculik Filo dari kami.
Aku punya keraguan tentang mempercayai orang-orang dari dunia ini, tapi kalau aku harus mempercayai seseorang, kurasa aku bisa mempercayai dia.
Filo itu naif dan polos, tapi dia punya karakter dengan penilaian yang bagus. Kalau Filo mempercayai dia, kurasa aku bisa mencoba mempercayai dia juga.
"Oke, baik. Melty. Apa itu lebih baik?"
"Ya! Tetap panggil seperti itu, jangan diganti lagi!"
"Oke, oke."
Jadi dia akan mengamuk setiap kali aku memanggil dia "Putri"? Itu akan sangat menjengkelkan.
"Itu mengejutkan."
Tentunya, Filo memang gila dan berisik, tapi dia nggak histeris. Dia cuma mengamuk secara kekanakan.
Mel dan Filo itu mirip, mungkin karena mereka berusia hampir sama.
"Oh Putri Melty, aku nggak tau kalau kamu semarah itu."
"Raphtalia, berhentilah memanggilku 'Putri'!"
"Baiklah, Nona Melty."
"Itu lebih baik!"
Aku penasaran gimana yang dirasakan Raphtalia tentang itu. Dia mulai memanggilku dengan namaku saat kami melawan anjing berkepala dua. Kurasa saat kami menggunakan nama kami, itu semacam bukti kalau kita semakin dekat.
"Raphtalia, aku senang kau bukanlah orang yang pilih-pilih."
Dia sangat merepotkan awalnya, tapi pada akhirnya dia jadi sangat berguna.
Nggak seperti Filo, dia bertarung secara tradisional, menggunakan pedang. Karena aku adalah pengguna Perisai, kami sangat cocok. Saat kami menjual barang, dia bisa menjalankan toko. Saat kami lari, dia menggunakan penyamaran. Dia selalu jadi bantuan yang besar.
"Apa itu pujian?"
"Tentu."
"Dan kurasa kau serius?"
Dia mendengus.
"Ada apa, Master?"
Adapun untuk Filo, aku nggak mau Filo memanggilku dengan namaku....
"Filo, jangan gunakan namaku."
"Kenapa?!"
"He, he..... Itu akan aneh!"
"Tapi kenapa? Kenapa cuma aku satu-satunya yang gak boleh memanggilmu dengan namamu?!"
"Coba katakan."
"Naofumi!"
Aku bahkan nggak dapat awalan "Tuan"? Dan dia secara berlebihan mengucapkan setiap suku katanya. Itu terasa salah.
"Ya, nggak enak banget. Dan bisakah aku mendapatkan honorifik?"
"Nanny, nanny, booboo!"
"Oke Filo, tenang."
"Tapi!"
"Melty benar. Filo, kau panggil aku Master saja. Kau bisa menyebut itu 'tersisihkan', tapi disisi lain, itu membuatmu spesial!"
"Boo!"
"Baik. Aku yang membesarkanmu, jadi gimana dengan 'Papa?' 'Dad?' 'Ayah?'"
"Um.... Aku nggak suka itu!"
"Kenapa?"
Bagus juga sih, aku nggak mau mahluk sebesar dia memanggilku "Papa".
"Aku lebih suka memanggilmu 'Master' daripada 'Ayah'!"
"Betul kan? Oke, tetap panggil begitu."
Aku penasaran apakah dia punya semacam motivasi dalam menyukai suatu kata? Terserahlah.
"Naofumi."
"Apa?"
Mel berpaling kearahku.
"Katakan namaku lagi."
"Huh? Kenapa, Melty?"
Dia memejamkan matanya dan mendengarkan dengan cermat saat aku mengatakan namanya.
"Bukan apa-apa."
"Dasar aneh."
Aku betul-betul dikelilingi oleh orang gila.
Bahkan jika dia ngomel-ngomel, aku memutuskan untuk menyesuaikan suasananya.
"Gimana kalau kita tidur lebih awal biar besok kita bisa memulai hari baru lebih segar?"
Beberapa hari belakangan, sejak kami bertemu Melty di desa yang terjangkit penyakit, sangatlah sibuk. Begitu banyak hal yang telah terjadi.
Kami hampir mati beberapa kali. Banyak hal buruk yang terjadi, tapi kalau perjalanan kami yang sekarang berhasil, maka semuanya akan terbayar lunas.
Ditambah aku punya anggota party lagi yang mempercayai aku. Sejujurnya aku sangat senang.
Aku masih terkejut bahwa aku bisa mempercayai adiknya wanita jalang itu.
Kalau kami saling mempercayai, kami bisa membuktikan ketidakbersalahanku. Diakhir perjalananku, aku merasa seperti ada secercah harapan.
Adapun untuk malam ini, aku ingin tidur nyenyak.
Aku harus.... aku punya teman-teman yang mempercayai aku.
***