Chelsea berkacak pinggang. Pandangannya puas menatap bangunan dua lantai di hadapannya. Palet cokelat dan hitam dalam berbagai gradasi warna semakin menegaskan produk yang dijual oleh gadis itu.
Ini bakeriku sendiri, batin Chelsea.
Rasa puas tak ditutupinya, melimpah ruah dalam ekspresi penuh bahagia. Bibir ranum gadis itu tak henti mengulas senyum. Matanya berbinar cerah membaca papan nama toko di dinding lantai dua, tepat di atas kanopi cokelat tua yang memayungi bagian depan toko.
Cacaote Bakery and Cafe.
Itu nama bakeri miliknya sendiri. Dibangun dari hasil kerja keras selama lima tahun ditambah penjualan rumah ibunya di Melbourne.
Keputusan Chelsea pindah ke Brisbane memang tidak salah. Setidaknya jumlah pesanan di situs web toko daringnya jauh melebihi ekspektasi. Satu permulaan bagus untuk memulai awal baru.
"Chelsea, apa kita perlu menelepon pemasok telur baru? Pemasok terakhir kita sering terlambat mengirim barang." Seorang gadis berambut pirang berteriak dari belakang etalase. Tangannya menggenggam gawai yang menempel di telinga.
"Silakan saja, Diane!" Chelsea balas berteriak.
Jawabannya disambut jempol dari si pirang bertinggi 170 sentimeter bernama Diane. Chelsea lantas melangkahkan kaki masuk bakeri sekaligus kafe mungil tempatnya mengais uang.
Di depan pintu kaca dia berpapasan dengan Henry, mahasiswa paruh waktu yang dipekerjakannya sebagai pelayan membantu Diane.
"Mau pergi kuliah?" sapa Chelsea ramah.
Henry mengangguk. Wajah muram lelaki sembilan belas tahun itu memantik tawa Chelsea. Ditepuknya bahu si jangkung berambut hitam yang sekepala lebih tinggi dari gadis itu.
"Bersemangatlah. Kau pasti bisa mengerjakan kuis dari profesormu."
Henry memutar bola mata. "Aku tak terlalu yakin, Chels. Aku masih belum menguasai materi yang diujikan hari ini.
"Kau pasti bisa." Chelsea memberi semangat pada mahasiswa Universitas Teknologi Queensland tersebut.
"Kuharap kau membawa keberuntungan seperti biasanya." Henry melambai lalu berjalan memasuki mobil butut yang terparkir di depan bakeri.
Chelsea mengamati mobil dengan cat yang sudah usang itu hingga menghilang dari pandangan. Saat kembali ke dapur, Diane memberikan laporan menggembirakan.
"Aku tak percaya kita bisa membukukan keuntungan luar biasa pekan ini." Gadis dua puluh dua tahun itu bersandar ke meja stainless. "Omzet kita naik 200 persen. Idemu tentang membuat kudapan pasangan sangat menakjubkan."
Chelsea tersenyum kecil. Dia tak merespons pujian Diane. Gadis itu pilih menyibukkan diri dengan mengelupas kertas di jaconde yang telah dibuatnya beberapa jam lalu.
Almond sponge cake tersebut lalu diolesi dengan sirup kopi, menumpuk selembar jaconde lagi, lalu mengolesi dengan buttercream. Sembari mendengarkan ocehan Diane, gadis itu terus melakukan hal yang sama pada almond sponge cake-nya hingga terbentuk keik opera legendaris.
"Sepertinya enak." Diane menelan ludah seraya memelototi keik buatan bosnya. Gadis yang bekerja sebagai kasir merangkap pelayan bakeri tersebut merupakan perpanjangan tangan Chelsea dalam melayani pelanggan.
"Masih belum selesai," ujar Chelsea datar. Dia menaruh keik buatannya di rak kawat lantas mendinginkannya di kulkas.
"Masih perlu disiram glaze dulu sebelum disajikan." Gadis itu menyebut bahan opera cake terakhir yang terdiri dari campuran cokelat dan mentega tawar leleh.
"Kuharap kafe hari ini bisa terkondisi dengan baik." Diane melayangkan pandangan keluar jendela dapur. "Kita kekurangan satu personel karena Henry harus pulang lebih awal."
"Aku akan membantu di depan jika pengunjung ramai." Chelsea meraih potongan stroberi besar untuk membuat pastri kedua.
"Itu harus. Popularitas bakerimu meningkat drastis sejak kau memutuskan membuka kafe juga di sini."
Chelsea tersenyum tipis. Lima belas menit lagi Cacaote akan dibuka.
Bakeri sekaligus kafe yang berjarak hanya delapan menit jalan kaki dari stadion Gabba Brisbane itu memang tak pernah sepi pengunjung sejak hari pertama dibuka.
Meski baru berumur dua minggu, Chelsea resmi membuka bakeri di pertengahan Maret dan seminggu kemudian melanjutkannya dengan menambah meja kafe untuk makan di tempat, Cacaote berhasil mendulang kesuksesan sebagai sebuah bakeri baru.
"Apa kita perlu menambah pegawai lagi?" Diane bertanya hati-hati.
Chelsea menghentikan kegiatannya yang tengah sibuk mengocok putih telur. "Karena Henry bekerja paruh waktu?"
Diane mengangguk perlahan. "Beberapa kali bagian depan dibuat kewalahan karena antrian pengunjung. Kau seharusnya bisa fokus di dapur, tapi terpaksa mengurus pesanan jika Henry tidak datang."
Chelsea manggut-manggut. "Tolong letakkan pembukuan toko di ruang atas sebelum kau pulang nanti. Aku akan memeriksa apa keuangan kita mampu menggaji satu pegawai lagi."
"Kau bahkan bisa membayar dua tenaga penuh waktu sekaligus," kekeh Diane. "Baiklah, akan kuletakkan buku besarnya di apartemenmu. Jangan lupa, tambah stok pear tart dan tarte au citron. Banyak yang suka menu itu dan persediaan di etalase sudah menipis."
Chelsea mengangguk. Rona bahagia memancar dari wajahnya. Begitu Diane pergi dari dapur, sang pattisier kembali berkutat dengan aneka bahan kue. Aroma manis menguar kuat dari dapur mungil itu.
Dia baru bisa beristirahat setelah toko tutup di jam sepuluh malam. Rasa lelah tak dihiraukan Chelsea. Diane telah pulang sejak setengah jam lalu.
Lampu-lampu dimatikan. Rolling door telah diturunkan menutup bagian depan toko yang berdinding kaca. Gadis itu kini seorang diri dalam ruangan temaram dengan penerangan cahaya dari dapur saja.
"Ini sangat melelahkan." Chelsea bergumam seorang diri.
Dia duduk di atas konter dapur sembari menggenggam mug berisi teh hangat. Pandangannya terarah ke luar jendela dapur.
Dia beruntung mendapatkan bangunan dua lantai dengan halaman kecil di bagian samping dan depan toko. Setidaknya mata Chelsea bisa disejukkan oleh tanaman alih-alih tembok bata membosankan dari toko tetangga.
"Tapi kau tak boleh mengeluh, Chels." Dia menepuk pipi sendiri. "Susah payah kau pergi dari Melbourne. Ini waktumu untuk mulai menikmati hidup."
Gadis itu melompat turun dari konter dapur dan berjalan ke satu sisi ruangan. Tangannya membalik kalender dinding. Kerutan dalam muncul di dahi.
"Sudah sebulan ternyata aku meninggalkan Indonesia." Jemari lentik itu menelusuri angka demi angka di bulan Februari. "Dan kau belum pernah menghubungiku lagi."
Helaan napas itu sangat berat. Chelsea mencuci mug yang kosong lalu berjalan naik menuju lantai dua.
Satu keberuntungan lagi bagi Chelsea karena berhasil mendapatkan hunian dengan toko di bawah dan apartemen dua kamar tidur di atasnya. Meski berharga cukup mahal, setidaknya setimpal dengan fasilitas yang diperoleh.
"Kau sangat menguras tabunganku." Chelsea menepuk tembok berpelapis kertas dinding warna cokelat.
Dia tiba di void rumah yang sekaligus menjadi ruang duduk dan ruang kerja pribadinya. Ada buku besar keuangan toko yang diminta Chelsea dari Diane sebelum gadis itu pulang. Sesuai pernyataan pegawainya, neraca keuangan toko berada dalam kondisi yang sangat bagus.
"Sepertinya memang sudah waktunya merekrut pegawai baru." Chelsea membolak-balik lembaran di pangkuan.
Satu tangan yang lain meraih remote control dan mengarahkannya ke televisi layar datar yang terpasang di satu sisi dinding.
"Satu pegawai laki-laki sepertinya cocok. Dia bisa menggantikan Henry jika berhalangan. Sebaiknya lowongan kuumumkan di mana, ya?"
Chelsea begitu tenggelam dalam pemikirannya hingga mengabaikan televisi yang menayangkan rangkuman berita hari itu. Bibir mungil Chelsea menggumamkan berbagai rencana saat ekor matanya menangkap kilasan citra yang sangat familier.
Wajah cantik itu memucat. Genggamannya di buku keuangan terlepas. Nanar Chelsea memandangi tayangan di televisi.
"Tidak, ini tak mungkin," desisnya kalut.
~O~