webnovel

Apa Kabar Mantan

"Jadi, kau bertunangan?"

Chelsea bersyukur sering menyopiri Glen selama di Melbourne. Tidak ada perbedaan antara di Negeri Kanguru dengan Indonesia. Kecuali jalur perjalanan yang membuat Chelsea sedikit kelimpungan.

"Jalan terus!" perintah Glen galak.

Gadis di belakang roda kemudi itu mendengkus keras. Matanya melirik peta digital di ponsel yang tersemat di dasbor mobil. Titik di peta sudah menunjukkan mereka tiba di taman Tirtonadi.

Lokasi parkir tak banyak dihuni kendaraan. Hujan membuat pengunjung jadi malas berkunjung ke taman ikonik itu. Chelsea menoleh ke arah samping, tempat Glen duduk mematung. Pandangan lelaki itu tertuju lurus ke depan, seolah tak menyadari mobil sudah berhenti.

"Saat di Melbourne, aku pernah menghadiri festival makanan Indonesia. Ada yang menyajikan hidangan bolu gulung batik. Berdasar koki pembuatnya, tiap motif batik memiliki makna sendiri."

Chelsea mengamati aksen batik di bagian jas Glen. Dia tidak ingin berprasangka, tetapi rasa penasaran tak bisa lagi dipendam. Perasaannya jadi tak nyaman saat teringat motif-motif yang juga melambangkan asmara.

"Ada satu yang sama motifnya dengan batik di pakaianmu. Kalau boleh tahu, apa makna batik itu?" tanya Chelsea hati-hati.

Sungguh konyol membicarakan corak batik di hari pertama pertemuan mereka. Setelah empat tahun berpisah, seharusnya sekarang mereka bernostalgia. Namun, insting Chelsea menyuarakan satu kecurigaan.

"Batik satrio manah," jawab Glen pendek.

"Artinya?"

"Kamu beneran pengen tahu?" Glen tak bisa menyembunyikan rasa geli. Suasana hatinya membaik dengan cepat setelah bertemu mantan pacarnya.

"Aku koki pastri. Ingin tahu adalah nama tengahku," gerutu gadis itu.

Glen tertawa. Tangannya melepas sabuk pengaman. Di luar, rintik hujan memukul-mukul badan mobil. Gerimis kembali menjadi deras.

"Satrio manah biasa dipakai calon pengantin pria saat prosesi pertunangan. Diharapkan agar lamaran dapat diterima oleh pihak calon pengantin wanita beserta keluarganya." Glen menjelaskan.

Tatapannya mengamati saksama raut muka gadis bule yang fasih berbahasa Indonesia. Namun, Chelsea tidak menampilkan ekspresi apa pun. Anehnya, hal itu memantik perasaan tidak nyaman di hati Glen.

"Pasangannya adalah batik motif sido asih, seperti yang dikenakan Mita tadi." Glen lagi-lagi penasaran dengan reaksi Chelsea.

"Oh, jadi namanya Mita?" tanya Chelsea.

Glen mengangguk pelan. "Paramita Anggun Dipokusumo, itu namanya. Anak tunggal keluarga Dipokusumo, sama sepertiku. Kami terjebak dalam perjodohan."

Untuk suatu alasan yang masih belum dimengerti Glen, dia merasa perlu menjelaskan hal itu pada Chelsea. Namun, detik berikutnya kerut dalam muncul di dahi lelaki itu  merasa terkejut dengan perasaannya sendiri yang mendadak melankolis pada masa lalu. Dia berdeham lantas buru-buru mengalihkan topik pembicaraan.

"Kenapa ke sini?" Glen mengalihkan topik pembicaraan.

Chelsea tersentak kaget. Dia terlihat bingung. Di kursinya, Glen mati-matian menahan tangan tetap di tempat. Lelaki itu sangat tergoda merengkuh Chelsea ke pelukan, menghibur gadis itu yang pasti syok dengan berita perjodohan yang didengarnya, dan menegaskan semua akan baik-baik saja.

Namun, tidak ada yang perlu dijelaskan. Glen tersenyum getir dalam hati. Mereka sudah berpisah, bukan lagi pasangan kekasih. Tidak ada kewajiban bagi Glen untuk menghibur gadis itu. Kecuali sebagai seorang sahabat.

"Aku berlibur," jawab Chelsea setelah terdiam cukup lama. "Aku baru saja mengundurkan diri dari tempat kerjaku."

"Jadi mendirikan toko kue sendiri?" Glen menyela.

Chelsea tertegun. Lelaki itu masih mengingat ucapannya. Fakta itu membuat arus kenangan membanjiri benak dan membuat hatinya kewalahan.

"Rencananya begitu." Chelsea berusaha menutupi gejolak perasaan.

Jemarinya mengetuk-ngetuk roda kemudi. Pandangannya melayang ke arah taman beberapa meter dari tempat parkir sekarang. Lampu jalan menjadi redup akibat tertimpa derasnya hujan. Mata hijau itu melirik ke atas hanya untuk menemukan curah hujan kian tinggi dan mulai disertai angin.

"Jadi, aku memutuskan keluar pekerjaan dan berlibur sejenak. Mengisi energi. Bekerja di dapur hotel nyaris membuatku jadi manusia yang lupa menikmati hidup. Setelah liburan ini selesai, aku akan mulai membuka tokoku sendiri," jelas Chelsea.

"Di Melbourne?"

Chelsea menggeleng. "Rumah di sana sudah kujual. Aku berencana pindah ke Queensland dan memulai awal yang baru di sana."

Gadis itu membeku saat merasakan telapak tangan besar dan hangat mendarat di puncak kepalanya. Glen memberikan sapuan sayang pada gadis itu. Jantung Chelsea berdentum-dentum keras. Tak sadar cengkeramannya di kemudi mengencang.

Glen masih sama dengan yang dikenalnya dulu. Chelsea mengerjap-ngerjap kuat, menghalau air mata yang berontak ingin keluar.

"John tidak mengganggumu lagi, bukan?" tanya Glen dalam nada lembut.

"Jangan peduli padaku." Chelsea tak sadar menyentak ketus. "Kau seharusnya menghibur tunanganmu sekarang."

"Aku mencoba peduli padamu, Chelsea." Glen masih berkata dalam nada lembut. Sama sekali tidak terprovokasi nada ketus gadis itu.

"Sudah kubilang, jangan pedulikan aku," sergah Chelsea gusar. "Aku minta maaf. Tadi aku terlalu terbawa situasi karena mendadak melihatmu di depan hotel. Seharusnya aku lebih bijaksana dengan tidak memelukmu sembarangan."

"Bukankah itu memang kebiasaanmu?"

Wajah Chelsea memerah. Apalagi setelah mendengar kelanjutan perkataan Glen.

"Kamu mandiri banget di luar, tapi manja luar biasa padaku. Aku suka itu."

"Glen?" Chelsea memohon.

Pandang mereka bertemu saat Chelsea menoleh. Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Ini sudah di luar batas kemampuannya menahan diri. Empat tahun pasca putus dengan Glen, dirinya tidak memiliki kehidupan percintaan yang aktif. Hanya sesekali melakukan pesta dan berakhir di ranjang beberapa orang kolega.

Tidak ada komitmen. Tidak ada perasaan terlibat. Saat para lelaki itu mengejar, Chelsea langsung membangun tembok barikade sangat tinggi yang susah ditembus.

Tembok trauma.

"Oke, udah kebangetan, ya?" Lelaki itu meringis. Dia menurunkan jok mobil hingga nyaris rebah. Posisinya memungkinkan Glen untuk sedikit bersantai.

"Jadi, apa kabarmu?"

"Baik," jawab Chelsea pendek.

"Ke Indonesia sendirian?" Glen kembali bertanya. "Sudah pergi ke kota mana saja?"

"Awalnya sendirian."

Jawaban Chelsea sontak membuat lelaki itu melirik. Namun, yang dilirik malah memandangi lokasi parkiran dari jendela depan mobil. Hujan kembali turun sangat deras. Mustahil untuk keluar dan duduk-duduk santai di taman Tirtonadi.

"Dari Melbourne ke Lombok. Ada beberapa minggu aku tinggal di sana. Kemudian, pergi ke Bali dan berakhir di Solo. Rencananya setelah ini aku akan berkeliling pulau Jawa dan kembali ke Australia."

"Sendirian? Backpacker?" Glen terdengar sangsi.

Tawa renyah Chelsea terdengar dalam mobil. Dia menggeleng-geleng. "Tidak! Aku bukan seorang turis yang tabah. Aku sangat menyukai kamar hotel yang nyaman meskipun tidak berharga mahal. Backpacker? Sudah jelas tidak. Sendirian? Emm ...."

Chelsea terdengar seolah mempertimbangkan jawabannya. Glen tak sadar duduk tegak. Lelaki itu memasang telinga waspada.

"Saat di Bali, aku bertemu seseorang. Dia koki yang diperbantukan di hotel tempatku menginap dan kebetulan bekerja di hotel Solo tempatmu bertunangan. Kami berbagi kamar selama di Bali."

Glen tak tahu bagaimana harus merespons. Dia sedikit terkejut menyadari masih ada sedikit cemburu tersisa di hati untuk seorang mantan pacar yang empat tahun tidak berjumpa.

Namun, Glen cukup bijaksana menyikapi hal itu. Dia hanya manggut-manggut sebagai reaksi paling netral.

"Kau sendiri, apa kabarmu selama empat tahun ini, Glen?" Chelsea balik bertanya.

Di jok penumpang sebelahnya, Glen menghela napas panjang. Jemarinya bergerak melepas dasi dan melempar ke jok belakang. Berikutnya giliran jas mahal yang dibuat khusus sesuai pesanan. Kini lelaki itu hanya mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung sesiku.

"Buruk, sangat buruk." Glen merenung. "Kurasa aku sudah melibatkanmu dalam situasi burukku. Apa kamu enggak keberatan jadi tamengku, Chelsea?"

~O~