Chelsea tertegun. Tangannya refleks mengucek mata, memastikan jika penglihatannya tidak salah. Jarak mereka hanya terpisah tiga meter, bukan 4.800 kilometer. Mendekat sedikit saja, dia bisa menyentuh sosok itu.
Jadi, itulah yang dilakukan Chelsea.
Di tengah deru hujan yang masih turun deras, dia melangkah pelan. Matanya membingkai sosok lelaki tampan berkulit sawo matang, sedikit terlalu terang dibanding warga lokal, dan mengenakan jas kasual beraksen batik.
Jantung Chelsea berdenyut kencang. Terakhir kali mereka bertemu sudah terlewati empat putaran tahun. Banyak yang berubah seharusnya, tetapi lelaki itu masih terlihat sama.
Rambut hitam lurus sedikit gondrong hingga menyentuh tengkuk. Bibir penuh yang selalu berhasil membangkitkan hasrat Chelsea. Hati gadis itu tersengat nyeri mengingat ciuman-ciuman panas mereka selama bersama. Kemudian, tubuh tinggi dan gagah itu yang tak pernah gagal memberinya kehangatan, kecuali terakhir kali saat mereka berpisah.
"Glen?" panggil Chelsea tak tahan lagi.
Dia yakin, lelaki itu mendengar suaranya. Namun, sosok itu bergeming. Langkah Chelsea kian dekat hingga dia berada tepat di samping lelaki setinggi 180 sentimeter itu.
"Glen Defan Aditya Sumitro?" panggilnya sekali lagi, menyebut nama panjang lelaki itu.
Sangat perlahan sosok itu menoleh. Chelsea dihantam gelombang kebahagiaan. Darahnya menderu kencang oleh antusiasme. Lelaki itu benar-benar Glen.
"Chelsea, apa yang kamu lakukan di sini?"
Gadis itu tersenyum lebar. Dalam satu loncatan pendek, dia melemparkan diri ke pelukan lelaki itu. Glen sigap menangkapnya dan menahan Chelsea dalam pelukan. Kehangatan serta aroma tubuh Glen membangkitkan kenangan di benak Chelsea.
"Astaga, ini benar dirimu?" Gadis itu tak percaya.
Glen, anehnya, membalas pelukan Chelsea tak kalah erat. Kenangan perpisahan mereka bertahun-tahun silam sejenak terlupakan. Dia menghidu kuat-kuat aroma feminin yang menguar dari tubuh gadis berambut lurus itu. Masih sama seperti dulu. Manis.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Glen melepas pelukan dan mengulang pertanyaan.
"Berlibur," jawab Chelsea semringah. Dia masih belum melepas pegangannya ke kelepak jas Glen. "Kau sendiri, apa yang sedang kau lakukan di sini? Bukankah kau tinggal di Jakarta?"
Glen baru saja buka mulut hendak bicara. Namun, suara feminin lain menghentikan aksinya. Jantungnya serasa melorot demi mendengar pertanyaan yang terlontar dari suara familier itu.
"Glen, siapa wanita itu?"
Chelsea dan Glen sama-sama menoleh. Seorang perempuan sebaya Chelsea berdiri mematung dua meter di belakang mereka. Penampilannya sempurna dengan kebaya warna biru pas badan disertai kain batik bermotif sido asih. Rambut gelap pekat perempuan itu tergelung rapi dan dihiasi bunga segar.
Namun, bukan kostum sempurna berharga mahal yang mengusik Chelsea. Melainkan sorot murka yang berkobar di sepasang mata cokelat gelap itu. Dan perasaan Chelsea sontak tak nyaman.
Perlahan dia melepas pegangannya pada Glen. Pandangannya bertemu dengan penampilan formal lelaki itu lalu berganti memandangi si perempuan. Chelsea menelan ludah setelah menyadari keserasian dua orang itu.
Si perempuan berderap mendekati Chelsea. Tangannya terangkat tinggi siap menampar. Chelsea tahu persis apa yang akan terjadi dan bergerak mundur. Menjauh. Lebih sebagai respons defensif untuk melindungi diri.
Namun, gadis itu justru merasakan tarikan kuat di pinggangnya. Matanya terbeliak menyadari Glen menariknya mendekat dan merengkuhnya masuk pelukan. Tangan lelaki itu juga sigap menahan pergerakan si perempuan yang bersiap menampar Chelsea.
"Lepasin, Glen!" Si perempuan berseru murka. Tidak peduli keberadaannya sekarang di ruang publik dan rawan jadi tontonan.
"Enggak, sebelum kamu janji mau tahan diri," balas Glen sangat dingin.
Perempuan itu mengerjap, juga Chelsea. Debar jantung Chelsea bahkan meningkat tajam setelah merasakan sikap protektif lelaki itu. Perasaan itu masih ada, ujarnya dalam hati. Seperti dugaannya selama ini. Belum menghilang, bahkan makin mengental.
"Kamu tunanganku, Glen." Perempuan itu sudah berdiri di hadapan si lelaki. Matanya berkilat-kilat. "Dan kamu meluk cewek lain?"
"Dia bukan cewek lain, kok." Glen menyeringai.
Ide gila itu melintas begitu saja dan tak sanggup Glen tolak. Jika setelah ini dia akan mendapat amukan orang tuanya, itu urusan belakangan.
"Bukan cewek lain?" Perempuan yang memakai riasan tebal di wajah itu mengernyit.
"Betul." Glen makin rapat memeluk Chelsea. "Dia ini ... kekasihku."
Perempuan itu terbelalak. Chelsea membeliak lebar. Dua kaum hawa itu serempak memelototi Glen.
"Kamu tunanganku," desis si perempuan. Kali ini dia sadar sudah jadi tontonan orang-orang di lobi.
"Memang," jawab Glen santai.
"Itu artinya kamu udah enggak bisa berhubungan lagi sama cewek lain," tegasnya.
Glen menelengkan kepala. "Yang bener? Aturan dari mana itu?"
"Glen!" Si perempuan meradang. Matanya melotot galak dengan sorot tajam seolah mampu menebas Glen.
Namun, lelaki itu merespons kemarahan tunangannya dengan raut muka datar. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda ketakutan di sana.
"Pertunangan ini enggak akan mengekangku dari apa pun." Lelaki itu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi dengan tunangannya. Lantas, berbisik ke telinga si perempuan berkebaya.
"Mau atau tidak mau, kamu harus terima kehidupanku seperti ini. Kamu tunanganku, dia pacarku. Mari, jalani hidup masing-masing tanpa saling menyakiti."
Kemudian, Glen menarik Chelsea pergi. Gadis itu sempat menahan langkah.
"Dia—dia tunanganmu?" tanyanya setengah tak percaya. "Jadi, pesta pertunangan malam ini adalah milikmu?"
"Tahu dari mana malam ini adalah pertunanganku?" Glen menyipitkan mata.
Namun, Chelsea mengabaikan pertanyaan lelaki itu.
"Kau harus kembali ke tunanganmu, Glen," bujuknya.
Lelaki itu mengertakkan gigi. Rahangnya mengencang. Suara bernada tajam lolos dari kerongkongannya.
"Jangan mencampuri urusanku, Chelsea. Lebih baik kamu bantu aku pergi dari sini."
Chelsea gamang. Dia sudah berdiri di bawah kanopi paling pinggir. Hujan mulai reda meski curahnya masih cukup deras.
Dia menengok ke belakang dan menangkap basah tunangan Glen berdiri mematung. Perempuan itu tidak mengejar, tetapi tidak juga menghilang. Hanya berdiri dengan sorot tajam menusuk dan tangan terkepal di samping tubuh.
"Aku menginap di lantai tiga," kata Chelsea sekonyong-konyong.
Glen tersentak, sejenak mengolah informasi yang diberikan Chelsea. Sejurus kemudian dia menggeleng.
"Jangan di hotel ini. Bapak dan Ibuk bisa menangkapku sangat mudah. Centeng-centeng mereka akan mengurungku hingga hari pernikahan jika tahu aku mencoba kabur."
"Centeng-centeng?" Chelsea terbelalak. "Maksudmu—"
"Bodyguard, pengawal pribadi, atau apa pun kamu mengistilahkan," tukas Glen tak sabar. "Dan bisakah kamu mengambil keputusan dengan cepat? Kepergianku dan Mita sudah terlalu lama. Orang-orang akan curiga."
"Jadi, namanya Mita?" Chelsea bertanya tidak nyambung.
Ujung-ujung bibir Glen berkedut. Gadis ini masih sama, tak berubah sama sekali. Selalu berhasil membuatnya gemas tak karuan.
"Chelsea?" Glen berusaha mengembalikan fokus gadis itu.
"Oke, oke. Kubantu. Kau bawa mobil? Kita jalan-jalan saja menghabiskan bensin."
Glen tak tahan untuk tidak tersenyum. Selera humor Chelsea masih tetap sama. Seloroh yang dipelajarinya dari warga Indonesia yang tinggal di Australia sering membangkitkan tawa Glen.
"Aku bawa mobil. Kamu yang mengemudi." Glen melemparkan kunci mobil ke arah Chelsea lalu berlari menerobos hujan.
Sementara gadis itu masih termenung. Pandangannya bergantian antara Glen yang berlari dan sang tunangan yang berdiri mematung. Gadis itu melempar tatapan permohonan maaf pada si tunangan lalu menghela napas panjang. Keputusan telah dibuat. Dia mengikuti Glen menerobos hujan.
Maafkan aku. Ternyata aku masih belum bisa melupakan tunanganmu.
~O~