webnovel

Sebuah Pondasi Agama

Yasir terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Ia melihat sinar matahari yang memasuki ruangan berwarna jingga pertanda kalau hari sudah senja. "Mimpi yang sungguh aneh", batinnya berkata. Ia menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Mirah dan keluarganya belum kembali sampai detik ini. Ia memijat keningnya pelan. Kemana mereka?

Aku mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Kuraih kayu yang tak jauh dari tempatku dan segera menumpukan berat badanku pada kedua kakiku. Seketika rasa sakit yang teramat sangat itu kembali lagi. Aku meringis kesakitan dan sekujur badanku gemetaran menahan keseimbangan. Dengan langkah yang tertatih-tatih, aku berjalan menuju pintu kayu itu. Suara decitan pintu itu khas layaknya pintu yang tua dan usang. Debu pasir pun bertebaran. Aku terbatuk-batuk pelan karenanya. Cahaya yang sangat terang menyilaukan mata dan aku sedikit menutup kedua mataku. Samar-samar mataku mulai bisa menyesuaikan cahaya luar dan aku bisa melihat sekitar. Aku terkejut teramat sangat dan mataku terbelalak lebar. "Dimana aku????"

Di tempat lain, pasukan besar itu sudah tiba di arena pertempuran. Dalam dua hari ini, mereka sama sekali tidak bisa menembus pertahanan musuh. Mereka sangat kuat dan perang masih seri. Medi duduk di pasir sambil meluruskan kakinya dan ia menengguk sisa air di dalam botolnya. Kondisinya sangat kumal, sama seperti mayoritas prajurit. Ia mengusap bekas pasir pada pipi dan dahinya, lalu melihat sekitar. Ia menoleh dan terlihat semua prajurit sangat kelelahan, ada yang menunduk lesu, ada yang berjalan gontai. Semuanya tampak patah semangat. Sebagian prajurit bergotong royong mengangkat kawannya yang gugur dan mengubur mereka. Orang-orang terpilih itu sudah mendapatkan surganya. Hari sudah senja, kedua pasukan besar itu kembali ke kemah masih-masih untuk beristirahat. Besok pagi, pertarungan akan dilanjutkan kembali. Kedua mata Medi berkaca-kaca hendak menangis. Ia menggigit bibir bawahnya dengan keras dan berkata dalam hati. Ia mengulangi kata-kata itu berkali-kali sehingga membuat air matanya meleleh perlahan.

Seseorang berjalan lemah kearahnya lalu memegang pundaknya, menguatkannya. Medi berucap dengan suara yang lirih. "Rasul tidak pernah bohong." Ia mengucapkannya berkali-kali sama seperti didalam batinnya. Kawannya hanya menepuk-nepuk pundaknya sambil menenangkannya. Medi masih mengulangi kata-kata yang sama hingga lima belas detik. Kawannya mengangguk-angguk mengiyakannya lalu memeluknya dengan erat. Ia mengikuti Medi mengatakan, "Rasul tidak pernah bohong." Pertolongan Allah sangatlah dekat.

Ini adalah perang pertama baginya. Pertama kalinya juga bagi dia untuk melihat sakaratul maut dengan kepalanya sendiri. Ia termangu sejenak awalnya. Kemudian ia melanjutkan pertempuran itu. Ia menata hati berulang kali untuk menguatkan hatinya. Namun ia tak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Ia melepaskan pelukan kawannya kemudian ia mengganti kain ikat kepalanya dengan warna merah, pertanda berani mati. Pada saat itu, jika prajurit memakai ikat kepala berwarna merah tandanya ia akan menyerang musuh hingga mati shahid. Ketika ia selesai mengikat kepalanya, terlihat tetesan darah dari dalam lengan bajunya sebelah kanan.

"Kau terluka?" Tanya kawannya

"Ini bukanlah masalah." Jawab singkatnya. Pemuda itu langsung meraih lengan Medi dan menyingkap bajunya. Terlihatlah sobekan pada lengan atasnya dan mengeluarkan darah. "Kau terluka! Biar kubantu." Ia mengajak Medi masuk kedalam tenda untuk membalut lukanya. Medi menepis pelan sambil berkata, "Aku tidak apa-apa."

"Menjadi mujahidin tidak hanya kuat, tetapi juga perlu kecerdasan. Jika kau kehabisan darah, kau akan mati konyol sebelum peperangan." Medi akhirnya mengikuti saran kawannya. Darahnya yang menetes itu telah berjihad dijalan Allah. Ia telah mengorbankannya di jalan yang mulia itu. Ia mengangkat pandangannya dan melihat keluar jendela. Suara kesakitan orang-orang masih terdengar, lirih. Ada yang kehilangan kaki, tangan. Ada pula yang tertusuk panah. Pengorbanan mereka demi Allah, kecuali orang-orang yang munafik. Sungguh merugi mereka.

"Medi terluka." Ia menyampaikannya pada Midan. Dengan langkah yang pincang ia keluar tenda dan berjalan menuju tenda saudaranya itu. Dengan wajah yang cemas, ia mendekati Medi dan bertanya. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." Senyuman Medi dapat menenangkan hatinya sedikit. "Bagaimana keadaanmu?"

Beberapa saat yang lalu ketika peperangan masih berlangsung, Medi dan Midan yang semula selalu berdampingan, secara tidak sengaja mereka terpisah dan disibukkan oleh musuhnya. Mereka tidak pernah bertemu sampai berakhirnya peperangan. Medi terus menyerang ke sayap kanan, sedangkan Midan menyerang lurus ke tengah. Mereka terpisah secara alami. Midan sudah menumbangkan belasan musuh Allah dan pedangnya telah terlumuri darah. Ia terus maju kedepan menghampiri musuh, kemudian ia mengayunkan pedangnya lagi kearah musuh. Beberapa dari mereka masih sempat menangkis, namun sisanya mereka kalah cepat dengan ayunan pedang Midan. "Ini untuk Allah yang telah kau perangi." Midan menebas leher musuh didepannya. Kemudian ia maju lagi dan menebaskan pedang kearah tangan musuh yang menghadang jalannya. "Ini untuk Rasulullah yang telah kau dan kaummu hinakan." Ia terus maju menembus barisan musuh dan menebas sana-sini. "Dan ini untuk Al-Quran yang telah kau dan kaummu injak-injak." Ia mengambil nafas panjang sejenak lalu berkata lagi, "Jangan macam-macam dengan kami, umat Islam. Sekali kau hina, puluhan juta jiwa siap mengangkat senjata. Itulah kami, pondasi kokoh didalam namun sangat tenang diatas permukaan. Sekali kau ganggu pondasi kami, maka jiwa raga akan kami korbankan."

Atas dasar cinta, kami membela Allah dan Rasulnya. Jika kami diam saja, maka itu bukanlah cinta. Sangatlah wajar jika seluruh umat Islam marah ketika Allah dan Nabi dihina. Sudah tertanam rasa cinta yang mendalam dihati kami. Hal ini sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Kalau sudah cinta, apa saja akan dilakukan demi sang tercinta. Melebihi pengorbanan orang tua kepada anaknya.

Midan berdiri diantara musuh-musuhnya yang tumbang. Darah merah terlihat dimana-mana. Ia pun berbalik dan seketika itu terlihat sebuah panah mengenai lengan kanannya. Jikalau ia tidak berbalik saat itu, maka terkenalah sudah tepat dijantungnya. Memang belum saatnya ia mati. Sang malaikat maut masih bertugas mencabut nyawa lainnya, bukan Midan. Ia segera mencabut panah itu dan menoleh kearah sang pemanah. Beberapa panah melayang lagi kearahnya dan ia segera mengambil perisai yang tergeletak disebelahnya. Ia menangkis panah-panah itu. Midan terus dihujani oleh belasan panah dan ia terus bertahan dibalik perisai. Dalam situasi ini ia tidak bisa bertindak lebih. Bergerah sedikit, maka panah itu akan mengenai bagian tubuhnya. Ia menanti saat yang tepat saat pemanah itu mengisi ulang panah-panahnya. Namun belum selesai hujan panah itu, kemudian terdengar suara tembakan dari arah yang sama. Midan benar-benar sebuah ancaman bagi mereka. Ia harus mati. Rentetan peluju menghujam mengenai perisainya. Ia terus bertahan dibaliknya. Namun cepat atau lambat, ia harus melawan. Ia kemudian meraih pistolnya dan menembakkannya tepat kearah dahi orang-orang itu. Sang pemanah juga mati oleh pelurunya. Ia menghela nafasnya. "Menyusahkan sekali. Tidaklah murah harga peluru." Ia menyimpan kembali pistolnya disamping kiri sabuknya.

"Kau tidak apa-apa?" Salah satu muslim menyusulnya dengan keadaan yang berdarah-darah. Sepertinya ia telah terkena beberapa sabetan pedang.

"Alhamdulillah", jawab singkat Midan.

"Ini sungguh gila. Pertahan mereka sangat kuat sekali. Aku tidak bisa menembusnya", ucap kawannya.

"Cepat atau lambat, pertahanan mereka akan melemah."

Kemudian, sebuah suara muncul dari arah belakang mereka. "Sepertinya khalifah kehabisan jumlah pasukan sehingga ia memperbolehkan anak muda sepertimu untuk ikut." Midan bersiap siaga dan menggenggam erat pedangnya. Ia berpaling dan tiba-tiba ujung pedang terlihat beberapa senti didepan wajahnya. Ia mengelak dan beberapa helai rambutnya terpotong. Terjadilah duel dua lawan satu.