"Gibran!" Teriak Andhini. Saat ia berhasil membuka sedikit kain penutup mulutnya.
Tubuh itu tersungkur dengan lemas, sepertinya beberapa tulang-tulangnya juga retak, ditambah dasar segar dibeberapa bagian.
"Berisik!" Bentak Daren dan langsung menyumpal mulut Andini lagi.
Kini tersisa satu orang, siswa yang sedari tadi tak banyak bicara. Gibran tersenyum miring tanda kemenangan ada didepan mata. Siswa itu mengeluarkan benda berwarna perak.
'Pisau?' Andini ragu dengan penglihatannya.
"Hati-hati, jangan sampai membuat kulit anak mami itu terluka. Bisa-bisa ketampanannya menurun." Daren terkekeh senang.
Andini terhenyak, dia berpikir Zidan adalah anak yang tidak lihai berkelahi. Tapi ternyata diantara ketiganya hanya dia yang memegang senjata tajam.
"Pengecut! Kau beraninya main senjata!" Gibran justru memancing emosi Zidan.
Tatapan kebencian itu kian semakin terlihat, Zidan meremas belati itu dengan kuat. Dia berlari ke arah Gibran hendak menyerangnya.
"Hmmmm.." Andini mulai berontak, dia benar-benar mengkhawatirkan Gibran sekarang.
"Diaamm jalang." Teriak Daren dan langsung mendorong Andini hingga tersungkur dilantai. Gibran yang semula fokus menyambut serangan Zidan sontak kehilangan perhatiannya.
"Andini!" Saat Gibran menatap ke arah Andini, Zidan sudah berada didekat Gibran dan mengarahkan belati itu ke arahnya. Untung saja Gibran dengan cepat menghindar, tapi tangannya justru tanpa sadar menahan benda tajam itu. Darah segar mengalir dari tangan Gibran.
Gibran meringis kesakitan. Tangannya kini benar-benar terluka. Daren semakin tertawa kencang, ada rasa kepuasan melihat Gibran terluka. Sementara Andini yang masih tersungkur hanya bisa menangis tertahan.
"Mmmm.. mmmm." Mulut Andini yang tersumpal kembali bersuara. Dalam hati ia meneriaki Gibran untuk pergi dan meninggalkannya saja.
Sekali lagi Zidan berusaha menyerang Gibran, tapi kali ini Gibran bisa mengungguli gerakan Zidan, hingga akhirnya dia bisa menjatuhkan Zidan dengan mudah.
Darah terus menetas, tapi Gibran seolah tidak peduli. Kali ini dia beralih ke Daren. Daren tersenyum kecut melihat 3 temannya sudah berhasil ditumbangkan oleh Gibran.
"Lepaskan dia Daren, jangan membuatku sampai harus menghabisi mu." Perinta Gibran dengan suara pelan, nafasnya sedikit tersengal karena kelelahan melawan 3 orang sekaligus.
Daren menarik tubuh Andini, tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan Cutter tajam. Dengan cepat ia mendekatkannya ke leher Andini, tubuh Andini bergetar hebat. Tangisannya membuat wajah dan pakaiannya basah oleh air mata dan keringat.
"Jangan berani-berani menyentuhnya Daren." Tatapan Gibran terlihat berbeda, sangat berbeda jauh dengan Gibran yang biasanya di lihatnya.
Andini menangis tertahan, saat ini bahkan dirinya tidak punya keberanian untuk menangis keras. Takut memancing emosi Daren. sialnya anak-anak yang sempat terkulai lemas itu mencoba untuk bangkit kembali. Daren tersenyum lega, dia tidak harus menghadapi Gibran seorang diri.
'Gibran ku mohon, pergilah!' Suara hati Andini memohon dengan sangat. Ini pertama kalinya dia mengalami hal yang sebelumnya hanya dilihatnya di sinetron. Tidak pernah dibayangkannya akan mengalami penculikan seperti ini diusianya yang sudah sangat dewasa.
Mereka mulai menyerang Gibran secara bersama.
Tiba-tiba ditengah perkelahian itu terdengar suara Sirene polisi yang mendekat, Daren dan ketiga anak itu saling berpandangan.
"Sial! Polisi." Teriak salah satu dari mereka, dalam sekejap mereka berhamburan menyelamatkan diri sendiri. Tersisa Daren yang masih kebingungan. Tapi melihat anak-anak itu pergi, Daren juga bergegas meninggalkan tempat itu dengan kumpulan umpatan yang keluar dari mulutnya.
"Awas saja kau Gibran! Lain kali kau akan habis ditangan ku!" Teriak Daren dengan emosi yang memuncak.
Gibran tak kalah bingungnya, kenapa bisa ada polisi ditempat ini sementara tidak ada yang menghubungi mereka. Andini tidak peduli dengan suara sirene itu. Dia terduduk lemas dengan air mata yang mengalir deras. Suaranya bahkan terdengar sesak dan sesenggukan.
Dengan cepat Gibran melepas ikatan itu, tak lupa sebuah pelukan mendarat ditubuh atletis Gibran. Andini menangis seperti anak kecil.
"Bodoh! Bisa-bisanya kau datang sendirian ketempat ini. Kau mau sok jadi pahlawan yah?" Andini mengomel dengan suara sesenggukan. Gibran hanya diam, sejak tadi jantungnya seperti tidak normal saja, berdebar tidak karuan. Bahkan lidahnya kelu untuk menjawab ucapan Andini, Andini terus saja menangis. Sedetik kemudian ia langsung menarik tangan Gibran yang terluka.
"Aaa.. aaahh, sakit!" Pekik Gibran. Andini menatapnya sinis.
"Tadi kau sok keras, sekarang kesakitan." Ujar Andini.
"Bagaimana tidak sakit kalau kau tekan seperti itu!"
"Kau jadi terluka." Andini kembali menangis.
"Ya Ampun, tidak papa. Ini hanya luka kecil saja." Gibran mencoba menenangkan Andini, tanpa sadar dia mengusap air mata Andini. Andini terkesiap, matanya beradu dengan pandangan Gibran. Tatapan itu berbeda dari biasanya, Gibran menatap Andini dengan tatapan teduh.
5 detik kemudian Gibran tersadar dengan posisi mereka yang begitu dekat. Wajah Andini yang basah dan sembab bahkan terlihat sangat dekat dimatanya. Dengan segera ia memundurkan tubuhnya dari Andini.
"Aah, ke-kemana polisi itu? Suara sirenenya masih terdengar tapi mereka tidak segera masuk." Gibran berbicara dengan sedikit terbata-bata. Perasaan gugup membuatnya seperti orang linglung.
"Ahh, iya aneh sekali." Andini yang sama gugupnya kini sudah berhenti menangis. Ia mencoba bangkit, tapi Gibran dengan sigap membantunya. Suasana canggung semakin menjadi-jadi.
Mereka keluar dari gedung, tapi anehnya tidak ada tanda-tanda keberadaan polisi disana, mereka hanya mendengar suara sirene yang terus menggema. Suara itu terdengar jelas, pandangan mereka mencari sumber suara.
"Gibran itu..." Andini menunju kesebuah ponsel yang tergeletak di atas tumpukan kayu. Disitulah sumber suara itu bermuara.
"Ponsel?" Gibran berucap sembari menoleh ke arah Andini.
Dengan cepat Gibran mengambil ponsel itu. Dia menghentikan bunyi sirene dari ponsel itu. Untungnya ponsel itu tidak terkunci dan dengan mudah Gibran mencoba mengecek isinya. Tapi nihil, ponsel itu benar-benar kosong. Seolah-olah hanya sebuah ponsel yang tidak digunakan. Tidak ada kontak pun tidak ada file apapun didalamnya.
"Siapa yang menggunakan ponsel ini? Apa kau datang dengan orang lain?" Tanya Andini penasaran.
Gibran menggeleng pelan, dia ingat jelas bahwa dirinya datang sendiri tanpa diketahui siapapun. Bahkan seingatnya tidak ada motor atau mobil yang mengikutinya dari belakang. Banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya.
"Gibran.." Andini menyentuh lengan Gibran dengan lembut, membuat Gibran tersadar dari lamunannya. Ia menunjukan wajah penuh rasa heran.
"Ayo pulang, lukamu harus diobati."
Gibran mengangguk pelan, namun pikirannya terus tertuju pada ponsel itu.
"Apa kau yakin bisa mengendarai mobil? Apa Peru kita menelfon seseorang untuk menjemput kita?" tanya Andini khawatir.
"Tidak perlu, aku masih bisa membawa mobil dengan baik."
"Ta—tapi.. atau aku saja yang bawa? Aku beluk lincah tapi aku pernah belajar mengendarai mobil saat masih kuliah." Kata Andini tidak yakin.
"Kau ingin kita berdua celaka?" tanya Gibran dengan wajah datar. Andini sontak tersenyum kecut.
"Benar, sebaiknya kau saja yang menyetir demi keselamatan kita bersama." Ujar Andini.