Tak terasa, matahari sudah berada di atas kepala. Memancarkan sinar yang menyengat kulit. Membuat seorang wanita akhirnya menghentikan langkah. Dan memilih untuk beristirahat, di kursi yang ada di halte bus.
Wanita itu adalah Rania, yang dari tadi berkeliling mencari pekerjaan. Namun, sampai detik ini belum ada satupun perusahaan, yang menerimanya bekerja.
"Aku harus mencari pekerjaan di mana lagi? Kenapa tidak ada satupun pekerja perusahaan, yang membuka lowongan pekerjaan?" tanya Rania dalam hati, yang hampir saja putus asa. Karena dari pagi hingga siang, ia terus saja berjalan. Mencari tempat yang mau menerimanya untuk bekerja.
Dari tadi, Rania hanya termenung. Memikirkan, seandainya ia belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia bingung, bagaimana ia bisa mendapatkan uang. Untuk biaya pengobatan, Rafa adiknya.
Hingga ada seorang wanita yang datang menghampiri Rania. Wanita itu tanpa sengaja, sekilas membaca map yang kini ada dipangkuan Rania.
"Maaf, Mbak. Saya mau tanya. Memangnya Mbak lagi mencari pekerjaan, ya?" tanya wanita itu.
Rania pun mengangguk, menjawab pertanyaan wanita yang tidak dikenalnya. "Iya, Mbak. Tadi saya sudah berkeliling untuk mencari pekerjaan. Namun, belum ada perusahaan yang mau menerima saya," jawab wanita itu.
"Kalau boleh saya tahu, Mbak jurusan apa, ya?" tanya wanita itu lagi kepada Rania.
"Saya jurusan S1 manajemen, Mbak," jawab Rania sambil tersenyum kearah wanita, yang begitu ramah kepadanya.
"Ya sudah, Mbak. Bagaimana kalau Mbak melamar di perusahaan tempat saya bekerja saja? Kebetulan kepala HRD-nya teman saya. Saya yakin, Mbak pasti diterima bekerja. Cuma-"
Wanita itu menggantungkan kalimatnya. Membuat Rania mengerutkan dahi, karena penasaran.
"Cuma apa, Mbak?" tanya Rania yang tidak sabar lagi, ingin mendengarkan jawaban dari wanita itu.
"Begini ya, Mbak. Hmm, sebenarnya perekrutan karyawan ini sifatnya rahasia. Karena jika banyak yang tahu, maka pelamar akan membludak. Jadi kalau Mbak mau ikut melamar, saya jamin bakal lulus. Asalkan, Mbak membayar sejumlah uang."
Awalnya Rania sangat senang. Saat wanita itu mau membantunya. Tapi, ia juga bingung. Jika harus membayar sejumlah uang. Karena uang yang ia punya saat ini, rencananya untuk membeli obat Rafa adiknya.
"Memangnya harus bayar berapa, Mbak?" tanya Rania penasaran.
"Hmm, murah kok, Mbak. Cuma 500 ribu," jawab wanita itu dengan santainya.
Rania sangat terkejut. Ketika mendengar nominal yang disebutkan oleh wanita itu. Mungkin bagi orang kaya, uang itu hanya secuil harta mereka. Tapi bagi dirinya, jangan 500 ribu. 50 ribu saja, wanita itu harus berpikir berulang kali, untuk menghamburkannya.
"Maaf, Mbak. Saya tidak punya uang sebanyak itu," jawab Rania sambil memasang tampang wajah memelas.
"Hmm, nama Mbak, siapa?"
"Saya Rania."
"Perkenalkan, saya Vera, Mbak Rania. Sekarang saya tanya. Mbak Rania ada uang berapa? Mungkin saya bisa bantu," tanya Vera yang seakan ingin membantu Rania.
"Sekarang saya hanya ada uang 200 ribu, Mbak Vera. Itupun, rencananya saya ingin membelikan obat, untuk adik saya yang sakit," jawab Rania yang berusaha jujur. Dengan keadaan sebenarnya.
"Hmm, ya sudah, Mbak. Bayar 200 ribu juga nggak apa-apa. Sisanya nanti saja. Tunggu Mbak Rania sudah diterima bekerja. Nanti juga kan, kita akan jadi rekan kerja, hehe." Vera sengaja mengatakan itu, agar bisa meyakinkan Rania. Supaya wanita itu mau menuruti perkataannya.
"Saya sih, mau saja, Mbak. Tapi kan, uang yang saya punya sekarang, untuk membeli obat adik saya," jawab Rania yang masih ragu memberikan uang tersebut kepada Vera.
"Mbak Rania saya kasih tahu, ya. Jika Mbak diterima bekerja di sana. Mbak Rania akan mendapatkan gaji berkali-kali lipat, dari uang yang Mbak keluarkan sekarang. Tentunya, Mbak bisa membeli apa pun, yang Mbak mau. Termasuk obat untuk adik, Mbak Rania."
Vera terus saja membujuk Rania. Sedangkan Rania, setelah mendengar perkataan Vera. Wanita itu sedikit tergoda.
"Jika dengan uang 200 ribu, aku bisa mendapatkan pekerjaan halal. Bismillah, semoga ini adalah jalan yang dibukakan oleh Tuhan. Amin," pikir Rania dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya.
"Ya sudah, Mbak. Kalau begitu, saya setuju dengan tawarannya. Ini uang 200 ribu, untuk saya melamar pekerjaan." Rania langsung mengambil uang tersebut dari dalam dompetnya, untuk ia serahkan kepada Vera.
Padahal, uang itu adalah satu-satunya uang yang ia punya. Tapi, karena sangat membutuhkan pekerjaan, wanita itu pun tergoda, dengan bujukan wanita, yang baru saja. dikenalnya.
"Ya sudah, Mbak Rania. Yuk, ikut saya. Saya akan menyerahkan uang 200 rb ini kepada Pak Feri. Kepala HRD tempat saya bekerja. Sekaligus menyerahkan surat lamaran, Mbak Rania.
Mendengar Vera mengatakan itu. Rania langsung percaya saja, dan mengikuti wanita itu dari belakang. Dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.
"Terima kasih ya, Mbak Vera. Untung saya ketemu sama Mbak. Semoga Tuhan membalaskan semua kebaikan, Mbak Vera," ucap Rania dengan polosnya. Sedangkan Vera, wanita itu hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sulit diartikan.
Rania dan Vera pergi dengan berjalan kaki. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kantor yang terlihat sepi. Seperti tidak berpenghuni.
"Mbak Vera, apa benar ini kantornya?" tanya Rania sedikit ragu-ragu.
"Iya, Mbak Rania. Ayo, kita masuk ke dalam," ajak Vera.
Setibanya di depan kantor tersebut, Vera menghentikan langkahnya. Membuat Rania ikut berhenti, dan merasa heran.
"Kenapa berhenti, Mbak?" tanya Rania penasaran.
"Hmm, saya baru ingat. Kalau Pak Feri tadi meminta saya untuk membelikannya makan siang. Mbak Rania tunggu di sini sebentar, ya," pinta Vera kepada wanita itu.
"Saya temani saja ya, Mbak," tawar Rania yang tidak ingin ditinggal sendiri.
"Saya bentar kok, Mbak Rania. Lagi pula saya belinya di rumah makan, di depan sana," tunjuk Vera pada rumah makan, yang tidak jauh dari mereka berada.
"Ya sudah, Mbak. Saya tunggu di sini saja," jawab Rania yang akhirnya mengalah.
Setelah mendengar Rania mengatakan itu, Vera langsung pergi dengan tergesa-gesa. Menuju arah rumah makan yang dimaksudnya.
Rania percaya saja. Ia memilih duduk di sebuah kursi kosong, yang berada di samping gedung tersebut. Namun, sudah hampir satu jam wanita itu menunggu, Vera sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Mbak Vera pergi ke mana, ya? Kenapa sampai sekarang, dia belum datang?" tanya Rania yang menunggu dengan gusar. Sambil sesekali berdiri, karena dia sudah tidak betah lagi duduk di kursi tersebut.
Tak lama kemudian, seorang satpam keluar dari kantor itu. Ia sedikit kaget, ketika melihat Rania yang berdiri tidak jauh darinya.
"Maaf, Mbak. Anda sedang menunggu siapa di sini?" tanya satpam itu yang datang menghampiri Rania.
"Saya lagi menunggu Mbak Vera, Pak. kebetulan dia kerja di kantor ini. Tapi Mbak Vera lagi pergi membeli makan siang untuk Pak Feri," jawab Rania menjelaskan. Membuat satpam tersebut mengerutkan dahi, ketika mendengarnya.
"Mbak Vera, Pak Feri. Setahu saya, tidak ada nama itu yang berkerja di sini, Mbak. Lagi pula, kantor ini sudah lama tidak beroperasi. Karena pemiliknya Pak Hadinata sudah pindah ke Jepang bersama keluarganya. Dan saya ditugaskan untuk menjaga tempat ini."
Deg!
Rania sangat terkejut. Saat mendengarkan penjelasan dari satpam tersebut.
"Ya sudah, Mbak. Kalau begitu, saya ke dalam dulu, ya." Satpam itu pun permisi, lalu pergi meninggalkan Rania yang hanya diam. Dengan tatapan kosong.
"Jadi, wanita yang bernama Vera itu, sudah menipuku. Ya, Tuhan. Hanya itu uang aku punya. Aku mencarinya secara halal. Tapi kenapa aku harus terkena musibah ini? Hiks-hiks."
Bersambung.