webnovel

Bab 10

Saat ini Erick, Rania dan kedua orang tuanya sudah berada di meja makan. Berbagai macam menu mewah pun tersaji di depan Rania. Membuat wanita itu seketika teringat akan ibu dan juga Rafa adiknya.

"Andai saja ibu dan Rafa ada di sini ... pasti aku akan merasa lebih bahagia. Menikmati hidangan mewah ini bersama mereka," pikir wanita dalam hati, ketika melihat makanan mewah yang berbaris rapi.

"Ayo, Rania dimakan. Semoga kamu suka dengan masakan Mama," tawar Riana dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.

"Makanan di sini semuanya terlihat sangat enak Tante. Insyaallah Rania suka," jawab wanita itu.

Mendengar Rania memanggilnya dengan sebutan tante, Riana pun protes. Karena ia ingin Rania juga memanggilnya dengan panggilan mam.

"Rania, mulai sekarang kamu jangan memanggil dengan sebutan tante ya, Sayang. Kamu harus biasakan memanggil dengan sebutan mama seperti Erick," pinta wanita itu.

Rania pun segera melirik kearah Erick. Karena sebenarnya ia merasa tidak enak, mengingat hubungannya dengan Erik hanya settingan belaka.

Erick pun tersenyum ke arah Rania, mengisyaratkan agar wanita itu mengikuti permintaan mamanya.

"Ya sudah, Rania. Sekarang kamu jangan panggil mama, tante lagi. Panggil mama saja." Erik pun berkata sambil tersenyum, membuat Rania langsung menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Iya, Ma. Kalau begitu mulai sekarang, Rania akan panggil Mama," ucap wanita itu.

Riana merasa sangat senang. Ia pun memeluk Rania dengan begitu erat. Karena dari dulu wanita itu sangat menginginkan seorang anak perempuan.

"Ya sudah, Ma. Mendingan Rania di suruh makan. Kasihan kalau makanannya hanya dipandangi terus. Lagi pula Papa juga sudah lapar," ucap Hendry kepada istrinya.

"Oh iya, Pa. Mama Hampir lupa. Tya sudah Rania, ayo, dihabiskan makanannya," pinta wanita itu.

Rania pun mengangguk sambil tersenyum ke arah Riana dan juga suaminya. Melihat Erick yang hendak mengambil nasi, dengan cepat wanita itu segera mengambil piring yang berada di tangan Erick.

"Biar Rania saja Mas, yang mengambilnya," tawar wanita itu yang sudah mengambilkan nasi, serta lauk pauk untuk pria tersebut.

"Segini cukup, Mas?" tanya Rania sambil tersenyum.

Seketika Erick pun seakan terhipnotis dengan senyuman manis yang ditunjukkan oleh wanita tersebut.

"Mas Erick," panggil Rania sekali lagi berusaha menyadarkan lamunannya.

"Oh iya, Ran, ada apa?" tanya pria itu yang tadi tidak begitu mendengar perkataan Rania barusan.

"Segini cukup, Mas?" tanya Rania mengulangi kalimatnya tadi.

Erick pun mengangguk sambil tersenyum menatap ke arah wanita tersebut. Semua itu tidak luput dari pandangan Hendry dan juga Riana istrinya.

"Wah, sepertinya kamu sudah tidak sabar lagi ya, Rick, mau menikah dengan Rania? Dari tadi Mama perhatikan, kamu selalu menatap kekasihmu," goda Riana kepada putranya.

"Apaan sih, Ma?" jawab Erick yang sedikit tersipu malu, mendengar perkataan mamanya barusan.

Sebenarnya Erick hanya sedikit kaget, ketika Rania mengambilkan nasi beserta lauk pauk untuknya. Karena selama ia menjalin kasih dengan Viona, tidak pernah sekalipun wanita itu melakukan hal tersebut kepada dirinya.

Kini mereka berempat makan sambil berbincang-bincang. Sesekali Riana mengeluarkan candaan, membuat Rania tiba-tiba tertawa ketika mendengar perkataan wanita tersebut.

Hingga makan siang pun berakhir. Erick pun berniat berpamitan kepada kedua orangtuanya.

"Ya sudah, Ma. Kalau begitu Erick dan Rania pamit dulu," ucap pria tersebut

Sebenarnya ada sedikit perasaan tidak rela. Karena Riana masih belum puas berbincang-bincang dengan calon menantunya itu.

"Rania, kamu sering-sering ya, main ke rumah Mama. Nanti kita akan belanja bareng, jalan-jalan bareng makan bareng. Kamu mau tidak?" tanya Riana dengan begitu semangat.

Rania pun tersenyum mendengar perkataan Riana barusan. Sebenarnya ia merasa bersalah jika harus membohongi wanita sebaik Riana. Namun, ia juga tidak punya pilihan lain. Karena saat ini ia sangat membutuhkan uang, untuk biaya pengobatan Rafa adiknya.

"Ma, Rania kan, juga bekerja di perusahaan Erick. Jadi dia tidak mungkin bisa selalu menemani Mama," jawab Erick berusaha memberikan pengertian kepada mamanya.

Namun, Riana merasa tidak terima mendengar perkataan putranya barusan.

"Hmm, pasti bisa Rick. Bukankah kamu bosnya? Kamu tinggal memberikan izin saja kepada Rania dan semuanya beres," jawab Riana yang tidak mau kalah.

Seketika Erick pun terdiam. Karena perkataan wanita itu benar adanya. Hingga akhirnya ia hanya bisa mengangguk pasrah. Mengizinkan Rania, jika nanti harus berkunjung ke kediaman kedua orang tuanya lagi.

Kini mereka berdua pun sudah masuk ke dalam mobil, berniat ingin segera kembali ke kantor. Kini yang ada hanya keheningan di antara mereka berdua. Hingga Erick membuka perbincangan.

"Acting-mu tapi lumayan bagus. Aku harap kamu bisa menyelesaikan tugas ini sampai nanti kita bercerai," jelas Erick. Berusaha mengingatkan Rania. Agar wanita itu jangan terlalu berharap kepadanya.

Seketika Rania melirik ke arah pria tersebut.

"Bercerai?" tanya Rania.

Erick pun mengangguk pasti menjawab pertanyaan dari wanita itu.

"Ya, bercerai. Karena kita tidak mungkin selamanya menjalankan pernikahan settingan ini. Lagi pula aku memiliki kekasih yang sangat aku cintai dan aku ingin secepatnya bisa menikahi kekasihku tersebut," jelas Erick yang mampu menyakiti hati wanita itu.

Kini Rania memilih untuk diam. Karena ia tidak ingin menjawab perkataan pria itu barusan. sebenarnya hati Rania sangat sedih, ketika mendengar perkataan. Tentang pernikahan settingan mereka, yang sebentar lagi akan mereka jalani.

"Ya, Tuhan. Kehidupan pernikahan seperti apa yang nanti akan aku jalani dengan pria ini? Sudah bisa aku bayangkan, jika kehidupanku nanti tidak lebih seperti di neraka." Rania pun terduduk lesu, sambil menatap ke arah luar jendela.

Karena hidup itu adalah pilihan. Rania pikir, mungkin ini adalah pilihan hidup yang berikan Tuhan kepadanya. Ia berusaha untuk ikhlas, menerima semua ini. Asalkan Rafa adiknya bisa segera sembuh, dari penyakit yang ia derita.

Suasana pun kembali hening. Erick dan Rania, sama-sama memilih untuk diam. Saat di perjalanan, tiba-tiba telepon Rania berdering. Ketika mengetahui itu adalah panggilan telepon dari ibunya, dengan cepat wanita itu mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Halo! Assalamu'alaikum, Bu," sapa Rania dari dalam telepon, dengan perasaan tidak menentu. Ia berharap ibunya menelepon, bukan ingin memberikan kabar buruk untuknya.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu di mana sekarang? Ibu ingin memberitahu, jika Rafa pingsan sebelum melakukan kemoterapi," jelas Ratna kepada putri sulungnya.

"Apa, Bu ... Rafa pingsan?" tanya Rania yang seakan tidak percaya.

"Iya, Nak. Dokter bilang, itu karena hemoglobin-nya mengalami penurunan. Rafa juga tadi tidak nafsu makan, lalu tadi tiba-tiba saja suhu tubuhnya meningkat dan dia juga menggigil. Hmm, tapi kamu tenang saja, Rania. Karena sekarang dokter sedang memberikan pertolongan kepada adikmu. Sebaiknya kita berdoa, Nam. Semoga Rafa tidak kenapa-napa," pinta Ratna yang berusaha menahan air matanya.

"Y-ya sudah, Bu. K-kalau begitu, Rania akan segera ke rumah sakit," ucap wanita itu dengan terbata-bata.

Rania pun langsung menatap ke arah Erick. Meminta pria itu mengizinkannya untuk pergi ke rumah sakit sekarang juga.

"Pak Erick saya mohon. Izinkan saya ke rumah sakit. Karena saya ingin melihat kondisi adik saya sekarang."

Bersambung.