Kini Rania terlihat seperti ingin menangis. Ia berharap semoga Erick mau mengizinkannya untuk pergi ke rumah sakit.
"Tidak Rania, kita harus kembali ke kantor. Sebaiknya kamu harus bisa bersikap profesional. Jangan memikirkan urusan pribadi di saat jam kantor," ucap Erick dengan sangat tegas.
Rania pun menggelengkan kepala. Karena tidak habis pikir, melihat bersikap pria itu yang seperti tidak memiliki hati sama sekali.
"Bukannya saya tidak ingin bersikap profesional, Pak. Hmm, tapi ini menyangkut kesehatan adik saya. Saat ini dia sedang sakit parah dan tadi ibu saya menelepon. Beliau mengatakan jika adik saya pingsan. Saya mohon, izinkan saya melihat keadaannya sekarang." Rania berusaha menjelaskan kepada Erik, agar pria itu mau mengerti.
Namun, Erick tetap keras kepala. Dia pun teguh pada pendiriannya. Tidak memberikan izin kepada Rania untuk pergi ke rumah sakit.
"Kamu bisa menjenguknya saat jam kantor selesai Rania. Tolong jangan membantah lagi perkataan saya." Erik pun berkata seperti itu, tanpa melihat ke arah Rania yang sudah bercucuran air mata.
Rania merasakan sesak, sambil berusaha menahan Isak tangisnya. Rongga napasnya seakan menyempit, sehingga ia kesusahan untuk menghirup oksigen yang seakan berlari mengejek dirinya.
Wanita itu terlihat sangat rapuh. Bahkan ia seakan tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Agar bisa berdiri tegap, menjalankan kehidupan yang penuh dengan lika-liku.
Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Niko tiba di depan Ritz Company. Erick pun segera turun dari mobil itu, disusul dengan Rania dari belakang.
Namun, di saat melihat Erick yang hendak masuk ke dalam kantor, dengan cepat Rania menghentikan langkahnya.
"Maaf, Pak Erick. Jika saya membantah perkataan Anda, tapi saya harus pergi ke rumah sakit sekarang juga. Terserah Anda mau memberikan saya hukuman apa pun, saya akan terima."
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Rania segera menundukkan kepala, lalu pergi meninggalkan Erick. Tanpa mendengar jawaban dari pria itu terlebih dahulu.
Rania sama sekali tidak peduli dengan resiko yang akan dia ambil. Karena saat ini yang ada dipikirannya, bagaimana secepatnya bisa berkunjung ke rumah sakit.
Sementara Erick, saat ini pria itu menunjukkan raut wajah kesalnya. Ketika melihat Rania yang sudah berlari pergi meninggalkan dirinya. Erick pun segera mengambil kunci mobil yang masih berada di tangan Niko, karena dia berniat mengejar wanita tersebut.
"Biar saya saja yang menyetir," tawar Niko kepada bos besarnya itu.
Namun, dengan cepat Erick menolaknya. "Tidak usah. Biar saya sendiri saja yang membawa mobil. Sebaiknya kamu selesaikan pekerjaan kantor hari ini. katrena saya harus mengurus wanita tengil itu."
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Erick langsung masuk ke dalam mobilnya. Kini ia berusaha mengejar Rania yang sudah berada di dalam taksi.
"Awas kau, Rania. Aku tidak akan melepaskan mu. Tunggu saja hukumanku, akibat perbuatan mu," ucap pria itu dengan pandangan lurus menatap ke arah taksi, yang berada di depan mobilnya.
Tak lama kemudian, taksi yang ditumpangi Rania telah tiba di depan rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi tersebut, Rania langsung turun dari taksi dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke ruangan adiknya.
Melihat Rania yang sudah masuk ke dalam rumah sakit, Erick segera turun dari mobilnya, lalu berlari mengejar wanita itu.
"Ternyata dia benar pergi ke rumah sakit," pikir Erick dalam hati dengan mata yang tidak lepas, menatap ke arah wanita yang sudah berjalan di depannya.
Kini Rania pun segera menghentikan langkah, ketika melihat ibunya yang sedang duduk di salah satu kursi, sambil menundukkan kepala. Berusaha untuk menahan air matanya.
"Bu," panggil Rania.
Mendengar suara putrinya, dengan cepat Ratna segera menghapus air mata yang masih berlinang di pelupuk matanya. Karena ia tidak ingin membuat Rania, makin merasa khawatir dengan apa yang sedang terjadi.
"Bu, ada apa? Kenapa Ibu menangis? Bagaimana dengan kondisi Rafa, Bu?" tanya wanita itu yang sangat khawatir.
Ratna berusaha menenangkan dirinya, di hadapan putri sulungnya tersebut.
"Tidak Rania, Ibu tidak apa-apa. Saat ini dokter dan suster masih berada di dalam untuk memberikan pertolongan kepada adikmu. Kita berdoa saja, semoga Rafa tidak kenapa-napa," pinta wanita itu.
Rania pun mengangguk pasrah, ketika mendengar perkataan ibunya barusan.
Sementara Erick yang berada tidak jauh dari mereka, seketika menghentikan langkahnya. Karena pria itu merasa tidak enak. Jika harus mengganggu pembicaraan antara Rania dengan seorang wanita, yang bisa ia duga, jika wanita tersebut adalah ibu kandungnya.
Tak lama kemudian, dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan tersebut. Rania pun segera menghampiri dokter itu, yang saat ini menggunakan masker. Membuat Rania tidak mengenalinya.
"Dokter, bagaimana dengan keadaan adik saya?' tanya wanita itu dengan nada khawatir.
Ketika melihat Rania, seketika dokter itu membuka maskernya. Agar Rania bisa mengenali dirinya. Jika dia adalah Leon. Pria yang ditabraknya pagi tadi dan merupakan mantan kekasih wanita itu.
"Kak Leon?" tanya Rania yang merasa heran, ketika mengetahui dokter yang menangani adiknya adalah Leon.
"Iya, Rania. Jadi pasien yang bernama Rafa itu adalah adik kamu?" tanya Leon.
Dengan cepat Rania langsung mengangguk, menjawab pertanyaan dari pria tersebut.
"Iya, Kak, itu adikku. Oh ya ini ibuku, apa Kakak masih ingat?" tanya Rania.
Leon pun segera mengangguk, sambil menatap Ratna yang kini berdiri di sampingnya.
"Apa kabar, Ibu Ratna? Maaf ya, Bu. Tadi saya terburu-buru saat ingin melihat keadaan putra Ibu. Jadi saya tidak begitu memperhatikan Bu Ratna," ucap Leon yang merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Nak Leon. Ibu mohon, tolong sembuhkan Rafa putra Ibu," pinta Ratna dengan wajah memohon.
"Kalau itu pasti, Bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Namun, kita juga harus meminta kepada Tuhan. Karena dialah maha penentu segalanya.
Ratna pun mengangguk mengerti. Karena wanita itu tidak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan putra bungsunya.
"Oh ya, Kak Leon. Bagaimana dengan kondisi Rafa sekarang?" tanya Rania dengan nada khawatir.
"Begini Rania, seharusnya berdasarkan jadwal hari ini, adik kamu harus menjalani kemoterapi untuk menghancurkan sel-sel kanker yang ada di dalam darah, serta sumsum tulangnya. Namun, sepertinya kesehatan adik kamu menurun. Jadi aku sarankan, sebaiknya lebih diperhatikan pola makan, serta istirahatnya. Jangan biarkan ia merasa kelelahan dan juga berikan nutrisi yang cukup dalam porsi yang sedikit, tapi sering."
Mendengar perkataan dokter barusan, Ratna pun ikut angkat bicara.
"Iya, Nak Leon. Beberapa hari ini nafsu makan Rafa mulai menurun. Padahal Ibu sudah sering membujuknya untuk menghabiskan makanan. Namun, dia bilang kurang berselera," jelas Ratna kepada pria tersebut.
Leon pun mengangguk mengerti dan berusaha memberikan penjelasan kepada wanita itu.
"Begini, Bu. Penderita leukemia seperti Rafa, memang terkadang sering mengalami penurunan nafsu makan. Jadi sebaiknya kita harus memberikan dia makanan yang lebih bervariatif, serta bergizi. Tentunya Ibu harus lebih sabar dan telaten membujuknya untuk menghabiskan makanan."
Ratna pun mengangguk mengerti, ketika mendengar penjelasan yang diberikan oleh Leon barusan.
Sementara di tempat lain, Erick yang dari tadi menguping pembicaraan mereka merasa tidak suka, saat melihat keakraban yang terjadi di antara keluarga Rania dengan dokter tersebut.
"Aku tidak boleh tinggal diam. Jika diperhatikan, sepertinya dokter itu menaruh hati kepada Rania."
Bersambung.