(Satu bulan yang lalu, sebelum semua bencana itu terjadi.)
Ayana merapikan gaunnya dengan semangat, berdiri diam di depan cermin tersenyum bahagia hampir setiap pagi. Hari ini, lebih sumringah dari biasanya. Dia akan berjalan-jalan membawa perasaan yang sangat bahagia. Bagaimana tidak, hari ini dia akan datang ke istana untuk melihat pujaan hatinya yang bekerja sebagai guru disana. Tidak hanya seorang guru, pemuda pujaannya itu adalah putra dari seorang pejabat terkenal, Perdana Menteri Nam.
"Nona, Anda benar-benar cantik sekali." Micha, pelayan pribadi Ayana merapikan rambut Ayana. Membantu penampilannya terlihat lebih cantik lagi dari biasanya. "Anda benar-benar akan segera menikah dengan Tuan Muda itu?" tanya Micha. Sembari memutar tubuhnya di depan cermin, Ayana mengangguk semangat. Dia meraih tangan Micha dan menggenggamnya riang. "Ya, aku benar-benar tidak menyangka. Ayah dan Ibu akhirnya sepakat untuk tidak jadi pindah dan akan menikahkan aku dengannya."
Wajah Micha berubah urung, lantaran tak ingin berpisah dengan sang tuan yang selama ini menjadi tempatnya bersandar. Ayana meraih pipi bulat Micha yang menumpuk rasa sedih. "Jangan sedih seperti itu. Bukankah kau betah di rumah ini?" Ayana celingak-celinguk, memastikan tidak ada orang yang mendengar mereka. "Kau menyukai Kakakku, kan?" Ayana tersenyum genit menggoda pelayan setianya itu sembari berbisik. Micha terperanjat, spontan membuang muka. "Itu tidaklah mungkin, Nona. Mana mungkin aku berani, mencintai Tuan Muda."
Micha berusaha keras mengelak, meski kenyataannya lebih menyakitkan dari sekedar bertepuk sebelah tangan. Selama ini, pemerintah telah mengatur hukum tentang larangan seorang budak jatuh cinta pada tuannya selama bertahun-tahun lamanya. Ya, perbedaan kasta akan membuat semua cinta tertutup untuk tiang yang menjulang tinggi seperti Hajun (ditulis Ha Joon secara formal). Pemuda dengan kasta tertinggi, yang dingin tetapi berhati hangat seperti Hajun adalah sebuah impian yang sangat sulit dicapai. Jangankan Micha, gadis bangsawan pun tidak pernah berhasil menyentuh hatinya.
"Nona?" panggil Micha setelahnya, mencoba mengalihkan suasana.
"Hmm?" Ayana kembali sibuk memperhatikan penampilannya, bersolek sedikit, memoles serbuk kemerah-merahan di sekitar pipi bulatnya yang berisi. "Bukankah seharusnya Anda datang ke istana untuk mendengarkan pengumuman?" tanya Micha merapuhkan senyum Ayana pagi itu.
Ayana memutar tubuhnya, berbalik menghadap Micha. Dia mundur pelan, menyandarkan tubuhnya di depan cermin. "Aku ini hanya mencintai Tuan Muda Yohan (ditulis Yo Han secara formal), apa kau lupa?" tanya Ayana.
Ayana tersenyum licik, menyentuh rambut indahnya yang sudah ditata cantik. "Aku sudah menghancurkan ujian pemilihan istri itu, aku pasti tidak akan terpilih," jawabnya sangat percaya diri. Raut wajah Micha tampak tak berbohong, dia ikut tersenyum, tapi senyum itu sangat hampa. Ada sesuatu yang sedang dia pikirkan.
"Kau tak perlu khawatir. Aku tak perlu datang ke istana untuk mengikuti seleksi itu. Menjijikkan sekali," tambah Ayana. Ayana kembali berbalik, sekarang sedang melihat dirinya yang berada di dalam cermin. "Kenapa dia memberikan perintah menjijikkan itu? Dia pikir, semua gadis ingin menjadi istrinya? Lebih baik mati, daripada menjadi istri pria hina itu," katanya menatap tajam dirinya sendiri melalui cermin.
"Tapi, Nona … itu adalah perintah raja, yang mau tidak mau harus Anda ikuti." Micha memberikan pandangan paling tepat yang memang seharusnya dia berikan sejak tadi. Ayana menarik napasnya dalam-dalam. Pelan-pelan dia hembuskan lembut sembari menepuk kedua pipinya. "Aku pergi dulu." Ayana tak memperdulikan kalimat Micha.
Ayana segera melangkah keluar dari kediamannya, dipasangnya sepatu cantik bermotif dandelion di kaki indahnya. Dengan anggun, menghirup udara pagi yang segar mencoba menembus lebih banyak kebahagiaan. Namun dalam sekejap, kebahagiaan yang sudah ditata rapi itu berubah cepat menjadi sengsara.
"Apa yang mereka lakukan disini?" tanya Ayana pada para pelayan karena terperanjat saat melihat kediamannya dikepung oleh banyak petugas istana. Langkahnya terhenti begitu saja di tangga terakhir kediaman. Ia merasa tak terkendali, mencoba menarik lebih banyak energi agar terbiasa dengan situasi yang mengganggunya.
Saat itu, ada banyak rakyat yang ikut bergunjing di depan kediaman Ayana. Mereka mengumpulkan seluruh spekulasi atas kejadian mengerikan ini. Halaman rumah Ayana sangat berantakan, lengkap dengan tumpukan kertas dan buku-buku milik sang ayah yang dilempar paksa keluar oleh para petugas istana.
Ayana melihat sang ibu yang sedang menangis di pojokan sana. Segera dia berlari mengejarnya. "Tunggu, tunggu! Apa maksudnya semua ini?" tanya Ayana pada salah seorang petugas yang mengeluarkan seluruh barang-barang dari bilik ayah dan ibunya. Para petugas itu tak memberikan jawaban, mereka hanya melewati Ayana begitu saja.
Ayana segera berjongkok, meraih lengan sang ibu untuk membantunya berdiri. "Ibu, tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi?" Ayana kembali menatap orang-orang itu, menatap ibunya yang menangis tersedu-sedu, dan menatap para pelayan yang terhenyak di atas tanah karena diperlakukan tidak baik. "Ibu, aku tidak mengerti. Ada apa ini?" tanya Ayana. Namun sama seperti sebelumnya, tetap tak ada jawaban.
Salah seorang pemimpin petugas melemparkan kertas mewah berisi ratusan tanda tangan yang tidak dia mengerti. Ayana meraih kertas itu, tetapi tidak membukanya sama sekali. "Tolong kalian jawab pertanyaanku. Ibu, dimana Ayah dan Kakak?" tanya Ayana sekali lagi menaruh cemas.
Kakak Ayana--Tuan Muda Hajun--adalah salah seorang pejabat istana yang memiliki pangkat dengan level tertinggi yang saat itu mengisi salah satu daftar calon jenderal karena nilai ujiannya sangat baik. Dia tak terlihat sama sekali di kediamannya, padahal jam segitu biasanya Hajun belum berangkat bekerja.
BRAK!
Para petugas memang telah memorak-porandakan kediaman Ayana hingga hancur berantakan. Mereka mengeluarkan semua barang-barang Tuan Hasan, ayah Ayana dari kediaman mereka. Ayana mencegatnya. "Jawab pertanyaanku, kenapa kalian membuang semua barang Ayahku?! Dimana Ayah dan Kakakku?! Ha?!!" Ayana mulai naik darah karena tak memperoleh jawaban sama sekali.
Belum lagi para petugas itu menjawab, tiba-tiba dari sudut kediaman mereka yang dulunya damai dan penuh tawa tampak sang ayah yang sedang ditangkap para petugas dengan tangan terikat ke belakang. Ayana mengejar petugas itu, menarik tangan mereka dari lengan ayahnya. "Kurang ajar! Berani-beraninya kalian menyentuh lengan Ayahku dengan kasar!"
Ayana menarik lepas tangan para petugas dengan paksa, meski tangan mungilnya tidak akan mampu mengalahkan. "Kalian tidak tahu siapa yang kalian tangkap ini? Ha?! Ayahku adalah Sekretaris Negara yang berada di bawah naungan raja! Kalian bisa dihukum karena ini!" Bertubi-tubi Ayana mengeluarkan protesnya.
"Jika bukan karena Putra Mahkota, sudah dipastikan Anda dan Nyonya Hana juga ikut dihukum atas pengkhianatan yang ayah Anda lakukan! Pengawal, seret mereka menjauh dari terdakwa!" teriak salah seorang pengawal yang tampaknya memimpin penangkapan itu. Semua orang di sekeliling Ayana menangis tersedu-sedu.
Tuan Hasan memohon lirih kepada para petugas untuk mengizinkannya berbicara sebentar dengan putri bungsunya itu. Dengan pertimbangan cukup panjang, akhirnya para petugas itu memberikan mereka waktu. Ayana yang melihat wajah menyedihkan sang ayah, akhirnya ikut meneteskan air mata. "Ayah, itu semua tidak benar, kan? Ayah bukan seorang pengkhianat, kan? Kakak dimana?" tanya Ayana patah semangat.
Tuan Hasan meraih pipi putrinya dengan kedua telapak tangan. "Istana telah menahan Kakakmu. Putriku, berjanjilah padaku ... Ayah mohon ..." Tuan Hasan tampak sangat tenang, meski keadaan akan membuat kehidupannya berakhir. "Apa maksudnya, Ayah?" Ayana mengernyitkan dahi, mulai panik. Tuan Hasan berusaha keras menahan air matanya dengan usaha yang berlebih. "Batalkan pernikahanmu dengan Tuan Muda Yohan."
"Apa?"
Tuan Hasan menggenggam tangan putrinya cukup kuat. "Menikahlah dengan Putra Mahkota. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua." Tatapan menyedihkan sang ayah menghancurkan seluruh asa yang telah lama Ayana susun. "Ayana, kau harus berjanji pada Ayah." Tuan Hasan menyeka air mata putrinya, menyisipkan sebuah kertas ke dalam genggaman putrinya. "Putra Mahkota menginginkanmu menjadi permaisurinya. Terimalah pernikahan itu, dan jadilah istri yang baik untuknya," tambah Tuan Hasan.
"Cepat!" Teriakan pengawal menghancurkan haru ayah dan anak itu. "Ayana kau berjanji, kan? Ayana … ini semua demi kita. Putra Mahkota …" Belum lagi selesai Tuan Hasan berbincang dengan putrinya, para petugas sudah menyeretnya pergi segera. "Ayana berjanjilah!" Teriakan terakhir sang ayah membuat Ayana terhenyak ke atas tanah.
"Dasar pengkhianat! Huuu!!!!" Hampir semua rakyat melempari Ayana yang terjatuh di halaman rumah dengan kata-kata penghinaan.
"Tidak! Ini semua fitnah! Ayahku bukan pengkhianat!" Ayana membalas seluruh cacian itu dengan amarah yang sejak tadi sudah mendidih di ubun-ubun. Ayana merangkak memeluk sang ibu yang sejak awal hanya terpaku. "Ibu ... Ibu? Ibu baik-baik saja, kan?" Ayana merapikan rambut ibunya yang berantakan. Saat itu, Nyonya Hana tak lagi memberikan respon. Matanya terbuka, tetapi dengan pandangan yang kosong lagi menyedihkan. Sejak hari itu, Nyonya Hana tak lagi mau makan. Dia hanya diam saja tak bersuara dan tak pernah lagi tertawa. Terus saja menatap ke depan, seolah telah kehilangan akal.
Hari demi hari terus berganti, tapi keadaaan Nyonya Hana semakin buruk. Hajun, kakak Ayana yang ditahan oleh istana tak juga dibebaskan. Sementara, Tuan Hasan yang akan segera dijatuhkan hukuman mati hanya bisa menyeret harapan pada putrinya untuk bersedia menikah dengan Putra Mahkota.
Ayana kembali mencari kertas yang ayahnya waktu itu berikan. Namun, matanya secara tidak sengaja mendarat pada sebuah kertas yang mencuri perhatiannya. Dia lantas meraih kertas itu, kertas penuh tanda tangan yang waktu itu dilemparkan oleh para petugas. Kertas petisi yang berisi ratusan tanda tangan dari para pejabat dan rakyat yang menyetujui hukuman mati untuk Tuan Hasan.
Niat hati ingin menyobek kertas itu menjadi serpihan kecil, matanya secara tidak sengaja mendarat di sudut kanan bawah kertas. Tempat dimana sebuah tanda tangan dari seseorang yang telah mengesahkan hukuman mati itu.
"Putra Mahkota?"
DEG
DEG
DEG
Bagai disambar petir di siang bolong, bagaimana bisa Tuan Hasan memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang sudah menjatuhkan hukuman mati untuknya? Tidak masuk akal.
Ayana terhenyak ke atas tanah. Air matanya jatuh dengan tegas di atas kertas menyedihkan itu. Dia menyobek-nyobek kertas itu sambil berteriak. Menangis sejadi-jadinya. "Ayah kenapa aku harus melakukannya?!" Ayana terdiam beberapa saat, mulai mencerna apa maksud sang ayah. Waktu itu, Tuan Hasan belum selesai melanjutkan perkatannya.
"Apa mungkin … " Ayana terhenti.
"Pria hina! Kau lebih pantas tersiksa baru kemudian mati! Kau memang pantas terhina dan mati!" Teriaknya terisak mengutuk Sang Pewaris Tahta dengan sumpah serapah, sembari melempar potongan-potongan kertas itu ke udara.
Begitulah awal dari penderitaan yang tiba-tiba saja merusak hidup Ayana, sang gadis malang yang akhirnya berubah menjadi wanita yang kejam.