webnovel

Suamiku Sang Pewaris Tahta

(WARNING 18+ : Mengandung konten dewasa) Meski dengan air mata, gadis itu tersenyum tipis di atas ranjang pengantinnya. Sangat berat baginya melewati malam panjang yang mengerikan ini. Kesucian yang tak ingin ia berikan pada sang suami, membuatnya berusaha keras menahan diri. Gadis yang sama, gadis kejam yang telah lama menyembunyikan belati di balik gaunnya. Belati yang siap untuk ditancapkan kapan saja olehnya, tepat di leher sang suami yang sudah menghancurkan hidupnya. Suami yang sangat dibencinya. Suami angkuh dan terhina yang tidak pernah dia harapkan. TAPI, Penuh amarah, lelaki itu mendorong tubuh sang istri hingga terpojok di bawah tubuh bidangnya yang hangat. "Jangan pernah berpikir untuk lari dariku lagi! Lebih baik aku mati, daripada harus berpisah denganmu!" bentak suaminya dengan air mata. Hingga akhirnya gadis itu sadar, belati itu tak pernah benar-benar terhunus meski dia berusaha keras untuk menancapkannya. *** BLURB : Ayana tumbuh menjadi gadis yang dipenuhi dendam dan air mata, setelah istana secara tidak adil menyeret kakak laki-lakinya masuk ke istana, hingga akhirnya sang kakak meninggal secara misterius di dalam penjara. Kebencian itu semakin membara, tatkala istana melayangkan tuduhan palsu dan tega menjatuhkan hukuman mati kepada ayahnya tercinta, hingga sang ibu akhirnya meninggal dunia karena jatuh sakit. Takdir memaksanya melupakan cinta pertama, dan masuk ke istana sebagai istri dari Sang Pewaris Tahta yang dikenal hina. Sang Pewaris Tahta yang bahkan dibenci oleh hampir seluruh rakyat, adalah penguasa yang mengesahkan dan menandatangani petisi hukuman mati untuk ayah Ayana. “Aku bersumpah, akan membalaskan ketidakadilan yang kuterima. Dan melenyapkan mereka semua yang terlibat dalam hitamnya politik. Termasuk suami hina yang telah menghancurkan hidupku.” Namun, akankah Ayana mampu membunuh pria yang terus saja menghujaninya dengan cinta? Suami yang tidak pernah dipandangnya sama sekali itu bahkan memberikan cinta dan nyawanya. Ayana tak percaya begitu saja. Dia yakin, pria hina yang menjadi suaminya itu hanya sedang bersandiwara untuk menutupi kesalahannya. Apa yang terjadi sebenarnya? Akankah takdir menyedihkan ini berakhir manis? Penyesalan atau kebahagiaan, siapa yang lebih dahulu menghampiri? Politik, tahta, dan cinta semuanya merangkum menjadi satu dalam kisah mengharukan berlatar kerajaan kuno. Mari menyelam lebih dalam, menuju kisah yang penuh lika-liku. Mari pecahkan bersama, dan cari solusi bersama. Catatan : Novel ini mungkin akan menguras emosi, mohon bersabar. Berikan kritik dan saran agar penulis bisa lebih banyak belajar, ya. Terima kasih banyak.

ELRAHA · History
Not enough ratings
4 Chs

Bertemu Calon Mertua Kejam

Burung pagi saling bernyanyi, berkicau menemani langkah Ayana yang sembab sudah matanya. Semalaman ia tak bisa tidur sama sekali, berpacu dengan egonya sembari terus menangis. Di dalam tandu yang menjemputnya, Ayana meremuk gaun indahnya. Dia benar-benar sangat terluka. Ia menyandarkan tubuhnya pada sisi tandu dan tertunduk pasrah.

Demi nama baik keluarganya, demi janjinya kepada sang ayah yang tidak dia mengerti, dan demi sumpahnya kepada langit, Ayana datang membawa dendam dan sumpah serapahnya masuk ke istana. Dia yang awalnya berniat kabur, pada akhirnya mengambil kesempatan itu.

Ayana benar-benar menerima perjodohan yang mungkin saja akan membuatnya menderita. Perjodohan mengerikan, yang memaksanya menikah dengan pangeran kedua. Pangeran yang memiliki gelar sebagai pewaris tahta kerajaan yang sah.

Pangeran Hwan, semua orang mengenal nama itu sebagai 'Putra Mahkota' yang angkuh, sombong, tidak telaten, suka membantah perintah raja, berakhlak buruk, bodoh, dan buruk rupa. Dia tidak pernah menghadiri rapat umum, selalu bolos, tidak pernah keluar dari kediaman dan tidak pula pernah bergaul dengan orang lain. Tak ada satupun pujian yang mengalir untuknya.

Dia memakai penutup wajah atas perintah raja. Tak ada seorangpun yang boleh melihat wajahnya. Tidak hanya itu, Putra Mahkota itu bahkan telah terhina sejak kelahirannya akibat tersebarnya catatan yang berisi ramalan tentang malapetaka yang dibawa atas kelahirannya.

Namun anehnya, raja tidak pernah menurunkan putranya itu dari posisinya sebagai pewaris tahta, meski seluruh rakyat telah berupaya melakukan penolakan. Semua orang memimpikan Pangeran Rin sebagai pangeran pertama, yang terkenal berbudi dan pintar itu memimpin tahta. Sayangnya, karena pangeran pertama hanyalah putra seorang selir, beliau tidak bisa mendapatkan gelar itu.

Dan sekarang semuanya telah berubah. Selir yang melahirkan pangeran pertama akhirnya diangkat raja menjadi ratu setelah ibu kandung Putra Mahkota meninggal dunia. Sejak itulah, pertempuran politik semakin panas.

**

Hari itu, Ayana harus bertemu dengan ratu. Sudah tradisi turun temurun, calon istri seorang pangeran harus menemui ibu mertua untuk sekedar beramah tamah dan memohon restu. Sampai saat itu sudah jelas, harapannya untuk menikah dengan Tuan Muda Yohan yang telah lama dia gilai sudah hancur berkeping-keping.

Sesaat setelah sibuk berduel dengan perasaan sendiri, sampailah dia di depan bilik sang ratu. Para pelayan membuka bilik itu, memperlihatkan ratu yang sedang menatap lurus tampak sedang menunggunya. Di depannya sudah tersedia seluruh hidangan lezat yang tak pernah ia temukan di desa. Seluruh pelayan membungkukkan tubuh mereka kepada Ayana. Menunjukkan betapa tingginya pangkat itu berada di tangannya.

"Mendekatlah kemari calon menantuku," sapa ratu.

Ayana membungkuk hormat padanya, berusaha tersenyum semanis mungkin meski air mata menumpuk sudah di pelupuknya. Lalu ia duduk bersimpuh di depan sang ratu. Seluruh pelayan menutup pintu bilik itu, bergegas keluar meninggalkan Ayana bersama ratu dan dua pelayan setianya.

Awalnya tak ada yang mencurigakan. Sesaat setelah pintu itu tertutup, ratu yang tadinya duduk lekas berdiri merapikan gaunnya. Dia maju beberapa langkah hingga berada tepat di depan Ayana.

"Singkirkan seluruh makanan ini," perintahnya kepada para pelayan.

Sontak salah seorang pelayan menarik meja penuh hidangan itu sedikit menjauh. Ratu tetap berdiri di tempatnya, sedangkan Ayana masih duduk di tempat yang sama bersimpuh manis. Ayana terus menundukkan pandangannya, berlaku hormat pada calon mertuanya, ratu negeri ini. Menahan diri untuk sementara waktu adalah jalan satu-satunya.

"Cepat, cium kaki ratu!" kata salah seorang pelayan.

Tersentak, Ayana langsung mengangkat wajahnya, menoleh pada sang pelayan dengan rasa tak percaya. Berani sekali pelayan itu membentaknya.

"Apa yang kau tunggu? Cepat! Cium kaki ratu!" tambah sang pelayan.

Hampir saja air mata menetes dari matanya, tapi Ayana berusaha keras membawa seluruh kesabarannya masuk dalam genggaman. Dia meremuk gaun indah yang sedang dia kenakan, mencoba menahan rasa amarahnya lebih jauh. Dia menarik kembali napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menerima takdir ini lebih lapang.

Awalnya Ayana enggan melakukan, tapi permintaan sang ayah kembali melintas di dalam benak. Ayana mendekat, menyeret tubuhnya yang sedang bersimpuh hingga sampai di kaki ratu. Segera setelahnya, ia menundukkan setengah tubuhnya itu. Menyusuri lebih dalam soal kebencian yang menyakitkan, malah menciptakan lautan di pelupuk matanya.

Pelan-pelan, hidung dan bibir Ayana menempel pada kaki sang ratu membuatnya menitikkan air mata tak kuasa. Cukup lama, hingga hampir saja puas ia menangis di kaki sang ratu. Ratu tersenyum hina setelah merasakan ada genangan air di ujung-ujung jari kakinya. Dia merasa sangat puas dan berkuasa.

Ratu membungkukkan badannya, meletakkan tangan kirinya di dagu Ayana. Segera ia mengangkat wajah gadis malang yang sedang menangis itu dengan kasar.

"Jangan mengotori kakiku dengan air mata putri seorang pengkhianat seperti dirimu yang menjijikkan itu." Ratu segera mendorong sedikit tangannya, sebelum akhirnya melepaskan genggaman itu dari dagu Ayana.

"Jangan kira kau punya tempat disini," kata ratu dengan angkuh. "Pengkhianatan yang Ayahmu lakukan tidak akan bisa diampuni," tambahnya.

"Cih, aku tidak butuh tempat disini sama sekali," batin Ayana.

Pertemuan itu berjalan singkat. Para pelayan mengiring Ayana menuju kediaman barunya. Besok pagi, dia akan segera melangsungkan pernikahan. Dan Ayana harus segera istirahat.

Ayana mengepal erat tangannya saat keluar dari kediaman ratu. Demi sumpahnya, tahan saja dulu. Itu saja yang terus dia pikirkan di sepanjang langkah.

**

Malam telah menyapa. Yohan termangu di depan kediamannya, mengingat segala hal yang telah terjadi. Ayana sudah dijemput oleh istana, sebentar lagi gadis itu akan menjadi milik Putra Mahkota. Dia sangat kesal, tetapi tidak bisa melakukan apapun. Jalan cintanya dan Ayana telah terputus begitu saja. Padahal, dia bahkan belum sempat mengutarakan perasaannya secara menyeluruh.

"Putraku," sapa Perdana Menteri Nam yang baru saja tiba, membuyarkan lamunan putranya.

Dia duduk tepat di sebelah Yohan, mengulurkan secangkir teh hangat. "Masih memikirkan wanita Putra Mahkota? Sudah aku katakan kepadamu, dia pasti akan lebih memilih perjodohan itu daripada memilih orang biasa seperti dirimu. Harusnya sejak awal, kau ikut denganku dan tinggal bersamaku." Perdana Menteri Nam meneguk minumannya.

Craaang!

Serpihan keramik mahal berserakan di atas lantai beranda rumah. "Aku tidak butuh bantuanmu, dan aku tidak butuh nasehatmu, Ayah." Yohan tersenyum pada sang ayah, lantas pergi meninggalkannya.

"Dia mirip sekali dengan Ibunya. Keras kepala," gerutu Perdana Menteri Nam.

**

Malam yang seharusnya indah berganti suram. Langkah kaki orang-orang yang sibuk berlarian di seluruh bagian istana. Mereka mendekorasi tiap sudut agar tak terlewatkan. Suara ribut yang seharusnya menyenangkan itu malah membuat Ayana kesakitan.

Sementara di desa, para rakyat berduyun-duyun menuju dinding-dinding yang tak lagi kosong.

"PERNIKAHAN PUTRA MAHKOTA."

Kertas pengumuman itu tertempel dimana-mana. Kabar tentang pernikahan Putra Mahkota diumumkan tepat di malam pernikahannya. Yohan berdiri diam disana. Menatap kosong ke arah papan pengumuman bersama hatinya yang hancur berantakan. Besok pagi, wanita yang seharusnya menjadi miliknya akan menikah dengan pria lain.

Yohan berjalan menerobos kerumunan, menarik satu dari sekian banyak pengumuman yang ditempelkan. Meremuknya sekuat tenaga.

Di paling depan, ia terus melirik ke arah kertas-kertas pengumuman yang semakin melukai hatinya. Bergegas ia menarik dan mencabut seluruh pengumuman itu. Tak peduli pada orang-orang yang saat itu memandangnya keheranan.