webnovel

Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat

Raina tiba-tiba terikat dengan sistem yang memaksanya untuk menyelesaikan misi. Dia hanya bertujuan untuk menyelesaikan misi dengan baik tapi kenapa semua misi yang diberikan sistem ini menyimpang? Raina: Sistem, bukankah kamu mengatakan bahwa tuan penjahat adalah orang yang dingin dan kejam? Sistem: Yup! Yup!~ Raina menatap pria yang sedang menaiki komidi putar dengan senyum lebar di wajahnya dan tak bisa mengatakan apapun karenanya. Raina: ... Raina: Sistem, seingatku kamu mengatakan bahwa tuan penjahat adalah pria kasar yang membenci wanita? Sistem: Yup! Seperti itulah dia~ Raina melirik pria yang menyodorkan kotak makan siang merah muda padanya dengan wajah memerah. Raina: -_- Raina: Sistem, aku rasa kamu mengatakan bahwa tuan penjahat adalah pria licik dengan lidah berbisa seperti ular? Sistem: Tepat sekali!~ Raina menatap pria yang melukai jari telunjuknya dan menatapnya dengan mata anak anjing. Raina: -_-" Raina: Kamu benar-benar sistem yang tidak bisa diandalkan...

Cloudland · sci-fi
Zu wenig Bewertungen
29 Chs

Istri Kecil Raja Setan (14)

Geni mendengus kasar sambil menatap burung phoenix yang tergeletak di bawah kakinya. Dia memiringkan kepalanya saat matanya jatuh ke bulu emas burung phoenix yang berkilau, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Senyumnya mengembang saat matanya bertemu dengan mata burung phoenix yang dipenuhi teror.

"Bulumu tidak terlihat buruk," komentarnya sambil mencabut salah satu bulu dari tubuh burung phoenix, membuat hewan itu berteriak kesakitan. "Aku rasa ini bisa digunakan untuk mengganti kerusakan yang kamu buat di jubahku."

Burung phoenix menggeleng dengan cepat.

Geni berjongkok dan mencabut bulu burung itu sekali lagi. "Sepertinya aku juga bisa membuat beberapa aksesoris untuk Amelia," gumamnya.

Burung phoenix langsung memberontak saat mendengar ini. Dia berusaha kabur tapi dengan mudah ditangkap Geni mengingat hewan itu baru saja terluka parah.

Geni terkekeh pelan. "Mau kemana kamu? Aku bahkan belum sempat mengambil dagingmu."

Burung itu berteriak dengan putus asa saat diseret Geni.

Pada akhirnya, Geni pergi dengan membawa sekarung bulu emas dan sepotong daging burung phoenix, meninggalkan burung phoenix tanpa bulu yang tergeletak di tepi danau dengan luka di pahanya.

Putih melirik Geni diam-diam. Pria jahat memang tidak akan mati dengan mudah. Dia tidak akan bisa membunuhnya begitu saja.

Raina tersenyum. "Betapa imut."

Sistem: "..."

( QAQ )

Tuan, apa kamu akan membuangku?

Geni melirik Putih sekilas lalu bersenandung dengan riang. "Oh, apa yang kurang?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Bunga lotus hitam, sudah. Daging burung phoenix, sudah. Air mata putri duyung, belum. Garam manis, belum..." gumam Geni sambil membaca daftar bahan di tangannya.

"Yah, aku rasa kita hanya perlu berkunjung ke pantai sebentar. Kita sudah memiliki bahan-bahan lainnya di rumah," ucap Geni dengan senyum yang menghiasi wajahnya. "Beruntung hutan ini dekat dengan pantai. Kita hanya perlu berjalan sebentar."

Putih menyipitkan matanya. Berkunjung? Dia tidak yakin...

Tiga jam kemudian, di tepi pantai...

Putih menatap Geni yang mengarahkan pedang ke leher seorang duyung. Di sekitarnya, sekelompok bala tentara mengacungkan ujung tombak ke arah pria itu.

"Dimana putri duyungmu?" tanya Geni.

Pria duyung yang diancam Geni langsung waspada saat mendengar ini. "Apa urusanmu?"

"Aku hanya ingin mengunjunginya," ucap Geni sambil mengangkat bahu. "Jangan menatapku seperti itu! Aku datang ke sini dengan damai, oke? Tidak akan menyakitimu."

Pria duyung: "..."

Bala tentara duyung: "..."

Putih: "..."

Sistem: "..."

Raina: "..."

Kita mungkin akan percaya kalau kamu menurunkan pedangmu...

Geni melihat suasana yang penuh dengan tekanan di sekitarnya dan menghela napas. "Kalian, para ikan, benar-benar membosankan," komentarnya.

"Kamu tidak bisa bertemu dengannya," seru salah satu duyung.

"Tapi aku harus bertemu dengannya." Geni cemberut.

"Tidak boleh ada makhluk berbahaya yang mendekati sang putri!" seru duyung lainnya.

"Langkahi dulu mayat kami!" seru mereka secara bersamaan.

Geni menyipitkan matanya dengan berbahaya. "Langkahi dulu mayat kalian?" desisnya. "Itu mudah."

"Berhenti!" seru seseorang tepat ketika pedang Geni menyentuh leher duyung tadi.

Geni berbalik dan aura membunuh di sekitarnya langsung menghilang saat melihat orang yang datang. "Oh, putriku, kebetulan sekali."

Duyung yang baru saja berteriak menurunkan cadarnya, menunjukkan wajahnya yang halus dan lembut dan ekspresi kesal yang menghiasi wajahnya dengan jelas. "Siapa putrimu, hah?!"

Geni tersenyum. "Putri, kamu terlihat semakin cantik."

Putri duyung itu mendengus. "Apa kamu pikir kamu bisa lepas dari masalah hanya karena memujiku?" ucapnya dengan tajam. Dia terlihat galak tapi kemerahan di pipinya tidak bisa membohongi perasaannya.

Geni menyeringai. "Aku rasa aku bisa?"

"Ya, kamu bisa," ucap putri itu sambil melotot.

Dia berbalik ke duyung yang baru saja melepaskan diri dari maut. Kening gadiis itu berkerut saat melihat luka samar di leher pria itu.

"Ini mungkin akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sembuh," ucapnya saat mengingat bahwa pedang Geni bukan pedang biasa. "Kamu tidak perlu cemas jika lukanya tidak kunjung sembuh. Itu akan baik-baik saja."

Duyung itu mengangguk. "Terima kasih, putri!"

Gadis itu tersenyum tipis lalu berbalik ke arah Geni dengan kedua tangan di pinggangnya. "Jadi, apa yang kamu inginkan hingga membuat kekacauan semacam ini?"

"Aku hanya ingin bertemu denganmu."

Gadis itu mengerutkan dahi dengan jijik. "Aku sudah muak dengan omong kosongmu."

Geni meringis.

Gadis itu melirik Geni sekilas sebelum melemparkan dua butir mutiara hitam ke pria itu. "Ayo, akan lebih baik kalau kita berbicara di istanaku."

Geni menelan salah satu mutiara itu sebelum menyerahkan sisanya ke Putih yang tentu saja juga langsung menelannya. Dia tidak mau mati kehabisan oksigen di dalam laut, oke?

Istana putri duyung sebenarnya tidak berada jauh dari pantai. Seseorang hanya perlu berenang dan melewati jalur rahasia dengan ratusan jebakan yang bisa membunuhmu tanpa kamu sadari jika tidak ada duyung yang memandu.

Geni berenang di belakang gadis tadi sambil menikmati pemandangan di sekitarrnya. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke tempat ini tapi dia masih merasa asing dengan lingkungan sekelilingnya. Mungkin karena tiang-tiangnya yang tembus pandang, arsitektur istananya yang berbeda dengan bangunan di darat, atau mungkin hanya karena semua itu ada di bawah air.

"Duduklah," ucap gadis tadi mempersilahkan.

Geni menatap ruangan yang didekorasi dengan mutiara merah muda, kerang merah muda, serba merah muda...

Um, benar-benar khas seorang putri.

"Ada apa?" tanya Delja langsung ke pokok permasalahan.

"Aku membutuhkan air matamu," ucap Geni yang juga tidak mau berbasa-basi.

Delja langsung tersedak sup rumput laut yang baru saja dia minum.

"Oh, nak, bagaimana seorang putri sepertimu tidak memiliki adab sopan santun?" Geni menggeleng-geleng pelan saat melihat ini.

Delja sepertinya tidak ambil pusing dengan hinaan Geni dan malah menatap pria itu dengan serius. "Untuk apa? Kamu tahu ini bukan masalah sederhana, bukan?"

Geni tersenyum. "Tebak?"

Raina mengerutkan kening. "Apa air mata itu begitu penting?" tanyanya pada sistem.

Sistem mengangguk. "Lebih penting daripada nyawa duyung itu sendiri."

Raina tak bisa berkata-kata.

Delja menggigit kue kerang sambil mencoba berpikir tapi akhirnya menyerah. "Apa kamu pikir makhluk normal semacamku bisa mengerti pola pikir penjahat sepertimu?"

Geni tertawa mendengar ini.

"Katakan atau aku tidak akan memberimu apa-apa!"

Geni menopang dagunya. "Yah, kekasihku jatuh sakit dan seseorang mengatakan bahwa dia hanya bisa sembuh dengan air matamu."

Sistem: "..."

Raina alias kekasih yang dimaksud: "..."

Delja langsung tertegun. Dia bahkan tidak sadar bahwa dia baru saja menjatuhkan kue kerang favoritnya. "Kamu... kamu..."

"Yah, kamu mungkin menyukaiku. Aku tidak bermaksud mematahkan hatimu yang rapuh tapi..."

Delja menggebrak meja. "Omong kosong! Kalian, setan, bisa jatuh cinta?!"

Geni melongo. "Apa kamu pikir kami tidak bisa? Aku juga memiliki hati, oke?!"

"Kamu menyakiti hatiku," tambah Geni.

Delja menunjuk Geni yang mencoba menyusap air matanya yang tidak ada dengan penuh amarah. "Sialan! Padahal aku sudah bertaruh dengan ayahku bahwa kamu tidak akan pernah jatuh cinta!"

"Kalian menggunakanku sebagai taruhan?!"