Setelah beberapa menit berjalan kaki, suasana suram Distrik Lampu Merah berganti menjadi ingar bingar pusat hiburan terbesar di Zorka, yaitu Entertaiment District—tepatnya Fortunata Street. Jika Distrik Lampu Merah didominasi oleh barisan rumah bordil, bar kumuh, serta kelab malam yang menyajikan penari-penari erotis, Entertaiment District merupakan kebalikannya. Tempat itu seperti tercipta dari cahaya dan musik.
Hotel, bar, restoran, serta kasino yang berjajar memanggil-manggil para wisatawan yang hilir mudik untuk membelanjakan uang mereka. Jalanan di Entertaiment District akan jauh lebih padat oleh wisatawan saat peralihan dari musim semi ke musim panas. Saat ini, para pejalan kaki berjalan dengan terburu-buru—dengan tubuh sedikit membungkuk menahan terpaan angin, ingin secepatnya tiba di tempat tujuan mereka.
Saat musim semi tiba dan cuaca menjadi lebih hangat, Fortunata Street akan dipadati pengamen, pelukis jalanan, wanita-wanita yang memakai kostum beraneka ragam, juga tak sedikit para pria yang bekerja di rumah bordil membagi-bagikan kartu dengan foto beserta harga 'wanita-wanita penghibur' mereka di pinggir jalan.
Sebenarnya, menurutku Entertaiment District tidak berbeda jauh dengan Distrik Lampu Merah. Keduanya sama-sama penuh dosa dan kemaksiatan, hanya saja orang-orang selalu menganggap segala yang ada di Entertaiment District lebih terhormat hanya karena terletak di wilayah elit di pusat kota.
Papan nama deretan kasino di Fortunata Street beraneka ragam bentuk, ukuran, serta warna. Lampu-lampu berbagai warna menerangi setiap sudut kota. Tak heran jika Zorka dijuluki sebagai Kota Cahaya. Namun, di antara itu semua, papan nama Dyonisus menjadi yang paling mencolok.
Selain kasino di lantai dua hingga lantai empat bangunan itu, Dyonisus menyediakan hotel, bar, serta restoran. Para pengunjung tempat-tempat seperti itu biasanya masuk dengan senyum lebar, kemudian keluar dengan wajah muram setelah semua uangnya dikuras habis oleh bandar di sana. Tetapi tidak sedikit juga yang keluar dengan senyum yang lebih lebar serta wajah yang jauh lebih cerah dibandingkan dengan saat mereka masuk setelah menang banyak dalam permainan. Herannya, meskipun sudah kalah, tak sedikit dari mereka yang terus kembali ke tempat itu.
Aku pernah beberapa kali mengunjungi Dionysus—biasanya bersama kakakku, Mauve. Ada begitu banyak permainan di sana. Blackjack, roulette, baccarat, craps, poker, big six wheel, pachinko, mesin slot, bingo, keno, dan hanya Tuhan yang tahu permainan apa lagi yang ada di tempat itu. Omong-omong, aku sepertinya mulai terdengar seperti seorang bandar. Haruskah aku mempertimbangkan untuk beralih profesi? Aku tidak mengerti apa yang menyenangkan dari semua itu. Menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang menurutku tidak terlalu bermanfaat hanya demi kesenangan yang bersifat sesaat.
Kujejalkan satu tangan yang tidak memegangi paperbag ke saku mantel. Tudung mantelku dinaikkan, serta mulut dan sebagian wajah tersembunyi di balik syal. Jari tangan serta jari kakiku mulai terasa kebas. Semakin larut, Fortunata Street justru semakin hidup. Sedangkan saat siang hari, orang-orang biasanya lebih memilih untuk berada di dalam ruangan bersama kartu-kartu atau duduk di depan mesin permainan.
Kupercepat langkah. Tepat saat aku tiba di halte di dekat rumah minum bernama Stardust, sebuah bus berwarna hitam berhenti. Aku naik ke bus tersebut, kemudian bus melaju meninggalkan halte. Kuambil ponsel dari tas, lalu mengetuk layarnya. Fotoku bersama seorang pemuda berambut pirang pucat dan mata sewarna kelabu badai muncul di layar—Grey, kekasihku.
*
Dua puluh menit kemudian, aku tiba di halte dekat apartemen Grey di Rubyfields. Sebenarnya, bisa saja aku ke sini dengan berjalan kaki jika cuacanya memungkinkan, tetapi aku masih cukup waras dan belum berniat untuk berubah menjadi The Frozen Aeris.
Selama tiga tahun menjalin hubungan dengan Grey, aku sudah sering berkunjung ke apartemennya sehingga para penjaganya sudah cukup mengenalku, meski aku jarang berkunjung ke sini saat menjelang tengah malam. Dalton—pemuda berkulit gelap berusia akhir dua puluhan tersenyum menyapaku dengan ramah.
"Kunjungan yang agak tidak biasa, Miss," ujar Dalton. Senyuman sehangat mentari di musim semi masih bertahan di bibirnya seperti biasa. Setiap kali aku berkunjung, Dalton selalu tampak ceria dan ramah, seakan tidak ada apa pun di dunia ini yang cukup penting baginya yang mampu menghapuskan senyum di wajahnya walau hanya sekejap.
Aku balas tersenyum jail. "Kejutan?" kataku.
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Malam yang berat? Sepertinya siaranmu malam ini penuh dengan orang-orang patah hati."
Aku mengangkat bahu seraya mendesah. "Yaa begitulah. Risiko pekerjaan," kataku lelah.
Dalton tersenyum memahami. "Kalau begitu, silakan naik, Miss. Semoga kejutanmu berhasil," Dalton berkata seraya mengedipkan matanya.
"Terima kasih, Dalton. Semoga malammu menyenangkan. Dan … cukup panggil aku Aeris. Aku sudah berulang kali mengatakannya padamu," tegurku meski aku tahu itu percuma. Pemuda itu hanya mengangkat bahunya. Aku masuk ke lift, kemudian menekan angka tujuh, lantai teratas di gedung itu sekaligus tempat apartemen Grey berada.
*
Aku masuk ke apartemen Grey menggunakan kartu akses yang diberikan oleh Grey. Pintu depan terbuka tanpa suara.
Lampu ruang depan dimatikan. Mungkin Grey sudah tidur, pikirku.
Aku mengendap-endap ke dapur untuk menyiapkan kue yang kubawa serta menaruh botol anggur, kemudian menuju kamar Grey, membuka mata lebar-lebar supaya tidak menabrak atau memecahkan apa pun. Hanya tinggal beberapa menit lagi ulang tahunnya dan aku berniat memberikan Grey kejutan. Pintu kamar Grey sedikit terbuka, tampak dari cahaya lampu yang lolos dari celah pintu.
Aku mengertkan kening. Setahuku, Grey tidak pernah bisa tidur dengan lampu yang menyala. Ketika aku semakin dekat dengan pintu, aku mendengar gumaman-gumaman dari kamar Grey. Namun, aku tak curiga sama sekali. Mungkin saja Grey sedang menonton film.
Aku memasang senyum paling menawan yang kupunya, lalu mendorong pintu hingga terbuka lebar dan seketika senyumku lenyap.
Tenggorokanku tercekat. Napasku terengah. Mataku terasa panas. Darah menderu di telingaku. Jantungku berdentam-dentam menggedor tulang rusukku. Dunia di sekitarku seolah menghilang dan terasa begitu hening. Lantai melesak di kakiku. Aku tak bisa mendengar apa pun selain aliran darah serta detak jantungku.
Kekasihku—Grey kini berupa jalinan kusut tangan, kaki, dan rambut yang saling membelit satu sama lain. Dia dan 'teman' seranjangnya itu tampak begitu terlarut dalam kegiatan mereka saling bertukar ludah, keringat, dan entah cairan apa lagi sehingga masih belum menyadari kehadiranku.
Mungkin aku bodoh karena hanya menyaksikan kekasihku bercinta dengan perempuan lain. Seharusnya mungkin aku melemparkan kue ulang tahun di tanganku beserta lilin-lilinnya yang masih menyala kepada kedua makhluk menjijikan itu sehingga membakar mereka hidup-hidup. Aku berniat mengejutkan Grey dengan kehadiranku yang tiba-tiba, tetapi sekarang justru akulah yang dikejutkan mendapati kekasihku sedang berrcinta dengan perempuan lain.
Pandanganku mengabur dan aku terhuyung. Tanganku berhasil berpegangan pada ambang pintu tepat waktu, tetapi tanganku yang memegang kue kehilangan keseimbangannya sehingga kue itu tergelincir dari tanganku. Saat itulah Grey dan perempuan itu menyadari kehadiranku.
Mereka segera menjauhkan diri dengan tergesa-gesa. Grey tampak acak-acakan. Rambutnya yang pucat kusut mencuat ke sana-kemari, dan wajahnya jauh lebih pucat. Tatapannya liar, tetapi ada kebingungan dan keterkejutan di sana. Kulitnya tampak berkilau oleh keringat. Di samping Grey, gadis berambut hitam sebahu dengan mata kelabu sibuk menutupi tubuhnya menggunakan selimut. Sosok itu tampak familiar bagiku. Ketika akhirnya bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, saat itulah aku mendengar hatiku yang hancur berkeping-keping.
"Azzure?" bisikku tak percaya.