1 Deep Talk — Aeris

Aku mematikan mikrofon dan melepaskan penyuara jemala, kemudian kuempaskan punggungku ke kursi. Aku memperhatikan layar komputer, mengawasi batas waktu iklan sebelum kembali mengudara. Studio tempatku berada berukuran kecil, serta kedap suara. Di studio ini, aku membawakan acaraku—Deep Talk, yang mengudara lima kali dalam seminggu.

Stasiun radio ini terletak di Distrik Lampu Merah, wilayah termiskin di pinggiran kota Zorka. Dimiliki oleh Mr. Janus Jorkins, pria tua berusia akhir enam puluhan yang memiliki terlalu banyak lipatan dan lemak di tubuhnya—dan hanya memedulikan keuntungan tanpa mau repot-repot memikirkan para pegawainya. Studio ini terletak di bangunan dua lantai yang memanggang penghuninya saat musim panas dan membekukan kami saat musim dingin tiba.

Aku mengenakan celana jins ketat serta blus berlengan panjang dengan mantel berwarna merah muda di luarnya, serta sepatu boot coklat. Kugosok-gosokkan kedua telapak tanganku, berharap tindakanku bisa sedikit memberikan kehangatan. Meski di dalam ruangan, aku tak melepas mantelku, karena memakai mantel pun aku masih saja menggigil.

Aku mengerling ke arah Jade—produser sekaligus pengarah acara, yang kini berada di sebuah bilik kecil dikelilingi kaca, persis di sebelah ruanganku. Pemuda itu tengah sibuk menyaring panggilan masuk untuk segmen selanjutnya.

Jade berusia dua puluh enam tahun—enam tahun lebih tua dariku, memiliki rambut coklat yang sangat pekat dengan mata keemasan yang memancarkan pendar hangat kepada siapa pun yang ditatapnya. Entah sudah berapa banyak gadis yang takluk hanya karena tatapannya. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat Jade marah—dan berharap tak perlu merasakan kemarahannya. Kemarahan orang yang penyabar dan pendiam biasanya jauh lebih mengerikan bila dibandingkan dengan kemarahan orang yang memang bersumbu pendek.

Dia memiliki kadar ketampanan di atas rata-rata. Ditunjang dengan tubuh atletisnya, aku takkan terkejut jika banyak perempuan yang rela merangkak ke atas tidurnya dengan sukarela—meski menurutku Jade bukanlah tipe pria seperti itu. Andai belum memiliki Grey, aku mungkin akan mempertimbangkan Jade menjadi kekasihku.

Sudah hampir enam bulan aku bekerja di sini. Heartbeat. Meski hanya bekerja di stasiun radio kecil dengan bayaran pas-pasan, aku menikmati pekerjaanku. Aku senang mendengarkan para penelponku bercerita, bercanda, atau sekadar berkeluh kesah. Bisa memberikan masukan untuk mereka membuatku merasa sedikit berguna, dan saat mereka menyampaikan kabar bahagia padaku, aku juga ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Begitu mengetahui pekerjaanku serta kecilnya jumlah gaji yang kuterima, Ibu langsung mencelaku dan memintaku keluar dari pekerjaan ini. Katanya, aku akan membuatnya dan Mauve malu. Tetapi aku tidak peduli. Lagi pula, aku bukannya melacur. Jadi, untuk apa merasa malu? Ibuku memang orang yang sulit. Susah membuatnya merasa puas—setidaknya untukku.

Sudah sejak lama aku berhenti berusaha untuk menyenangkannya. Tak ada apa pun yang kulakukan yang mampu membuatnya senang. Aku juga sudah menyerah untuk mendapatkan kasih sayang darinya. Di matanya, dia hanya memiliki satu anak, yaitu kakakku—Mauve. Sedangkan aku, Ibu sering menyebutku sebagai kesalahan dan tidak seharusnya terlahir.

"Kau baik-baik saja, Aeris?" tanya Jade menyentakkanku dari lamunan. Suaranya terdengar lewat pelantang pada panel kontrol.

"Sepertinya aku belum akan membeku dalam waktu dekat," gerutuku sembari menggosok-gosok lenganku.

Jade terkekeh. "Bersabarlah, Sayang. Tinggal satu segmen lagi. Setelah itu, kau bisa kembali ke pelukan Grey tersayang."

Aku memberengut. "Kuingatkan padamu, aku dan Grey tidak tinggal serumah. Ibuku bisa membunuhku jika aku melakukan itu. Kenapa sih, tua bangka kikir itu tidak mau menaikkan suhu radiatornya sedikit saja?"

Suhu radiator selalu diatur pada suhu dua belas derajat—yang bahkan hampir tidak cukup hangat untuk mencegah pipa-pipa membeku. Sudah berkali-kali kami meminta agar Mr. Jorkins mau menaikkan suhu radiatornya, tetapi biasanya berakhir dengan serangkaian omelan yang baru akan berhenti satu jam kemudian.

"Siapa yang akan membayar kenaikan tagihannya nanti, huh? Kalian? Tidak, 'kan? Aku yang harus membayar semuanya. Keuntungan yang didapat dari stasiun radio ini sangat kecil dan hampir habis setelah kugunakan untuk menggaji kalian dan berbagai tagihan lainnya. Sekarang kalian mengeluhkan tentang suhu radiator? Kalian bisa bekerja dengan tetap memakai mantel jika memang merasa kedinginan …." Biasanya kami akan pergi meninggalkannya sementara dia masih terus merepet, mengeluhkan tentang iklan yang masuk, beban gaji kami, dan lain sebagainya.

Kulihat pemuda itu mengangkat satu alisnya, ujung bibirnya membentuk seringai menggoda. "Sejak kapan kau peduli pada pendapat ibumu?" tanyanya.

Aku mengangkat bahu tanpa beban. "Tidak pernah. Aku hanya berusaha mempertahankan nyawaku."

Jade menggeleng-geleng.

"Bersiap-siaplah. Akan ada beberapa panggilan lagi. Sepertinya malam ini begitu sendu. Banyak dari penelpon kita yang sedang patah hati."

Aku mendengus, tetapi tak mengatakan apa pun. Kemudian kembali memasang penyuara jemala. Kutegakkan tubuh, bersiap untuk kembali mengudara. Layar komputer menampilkan sisa waktu yang kurang dari sepuluh detik.

Kutarik napas dalam-dalam, kemudian kunyalakan mikrofon.

"Kembali lagi di Deep Talk …."

*

" … saya Aeris Rosewood beserta seluruh tim yang bertugas undur diri. Sampai jumpa di Deep Talk minggu depan. Semoga akhir pekan kalian menyenangkan."

*

"Apa rencana akhir pekanmu?" tanya Jade.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Jade. Kami selesai siaran beberapa menit yang lalu. Pemuda itu berdiri di depan pintu studio, menungguku. Setelah selesai melilitkan syal di leherku, aku mengangkat bahu seraya berkata, "Menghabiskan waktu bersama Grey mungkin. Entahlah. Bagaimana denganmu?" Aku meraih paperbag serta tasku, kemudian bergabung dengan Jade.

"Sudah sejak sebulan yang lalu Amy ingin mengunjungi Charthreuse. Kau mau bergabung?" Amy merupakan adik Jade—Amethyst Crimson.

Charthreuse merupakan wilayah pegunungan di Byeol, empat jam naik kereta dari Zorka, kemudian dilanjutkan berkendara dengan mobil selama hampir dua jam saat cuaca normal. Tawaran dari Jade cukup menggoda. Aku membayangkan pegunungan dengan hamparan salju yang membentang sejauh mata memandang. Kapan lagi punya kesempatan menjauh dari Ibu dan menghabiskkan waktu bersama Grey selama akhir pekan? Apalagi selama ini aku memang ingin mengunjungi Byeol.

Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan ajakan Jade sebelum kemudian mengangguk. "Akan kutanyakan pada Grey," kataku.

Begitu melewati pintu, udara dingin langsung menyerbu kami. Jade tampak menggigil dan kuduga aku pun sama. Kami menyapa Arthur, seorang pria paruh baya yang bertugas menjaga gedung. Rambut coklatnya sudah diselingi uban di sana-sini.

Arthur tersenyum ramah seperti biasa. Kehangatan senyumannya mampu melelehkan seluruh salju yang ada di muka bumi. "Sudah mau pulang?" tanyanya.

Aku dan Jade mengiakan.

"Berhati-hatilah. Saljunya turun cukup lebat, mungkin cuacanya akan memburuk," ujar pria itu.

"Apa yang lebih buruk dibandingkan dengan badai panggilan dari orang-orang yang tengah putus cinta?" cetusku.

Arthur dan Jade tergelak.

Jade memandangku dengan tatapan iba yang dibuat-buat. "Kasihan sekali gadis kecil kita, Arthur. Dia bahkan belum memiliki cukup pengalaman mengenai percintaan, tetapi harus memberikan saran-saran dan penghiburan bagi para muda-mudi malang di luar sana."

Aku mencebik. "Kalau begitu, berikan bonus lebih untuk gadis kecil nan malang ini, Tuan Raksasa."

Jade mengerjap-ngerjap dengan memasang tampang sok polos. "Tidakkah cukup dengan memandangi aku—mahakarya Tuhan," dia merentangkan tangannya dengan lagak sok dramatis, "selama berjam-jam setiap malamnya tanpa kupungut biaya? Kau seharusnya merasa bersyukur karena aku sudah sangat bermurah hati padamu."

Aku memutar-mutar bola mata seraya berujar, "Aku mungkin akan sudi mengeluarkan beberapa pound jika kau bekerja di Eros. Sekadar untuk melihat apa saja yang mungkin menarik dari tubuh indahmu itu, Jade."

Arthur yang sedang menenggak sesuatu dari tumbler-nya tersedak, lalu terbatuk-batuk.

Mata Jade membulat. Sejenak, dia tampak kehilangan kata-kata, tetapi pulih dengan cepat. "Teganya kau," ratap Jade sambil memasang raut wajah terluka.

Eros merupakan salah satu kelab di Distrik Lampu Merah yang menjual minuman murahan serta menampilkan pertunjukan dari para penari erotis—pria ataupun wanita. Sebenarnya Eros bukan satu-satunya, tetapi tempat itu merupakan yang terbesar di distrik ini.

Tiba-tiba raut wajah Jade berubah menyelidik. Matanya menyipit. "Dari mana kau tahu di Eros ada hal-hal seperti itu? Umurmu baru dua puluh tahun. Seharusnya kau belum diperbolehkan masuk ke tempat-tempat seperti itu," cecarnya.

Aku melambaikan tangan untuk menenangkannya. Terkadang, Jade bersikap begitu protektif terhadapku. "Kan itu sudah jadi rahasia umum," kataku sembari cengengesan. Jade tampak tak yakin. "Sudah malam," kataku sebelum Jade menginterogasi lebih jauh. "Aku tidak ingin terus berdiri di sini dan mati beku. Selamat berakhir pekan, Arthur, Jade." Aku berpaling pada Jade. "Akan kukabari kau nanti."

"Aku bisa mengantarmu," Jade menawarkan.

Aku menggeleng. "Terima kasih banyak," kataku tulus, "tetapi aku harus pergi ke suatu tempat dulu." Aku menunjuk paperbag yang kubawa.

Jade melipat kedua tangannya di dada. Sebelah alisnya terangkat. "Haruskah aku merasa khawatir?"

Aku tertawa. "Dasar kakak angkat posesif. Kau boleh menghubungi polisi atau militer jika aku tak mengabarimu besok pagi. Aku hanya pergi ke apartemen Grey, bukan ke Eros." Kemudian, aku melangkah memasuki malam, berbalik untuk melambai pada Jade dan Arthur.

avataravatar
Next chapter