webnovel

Signal yang terulang

Bara berdiri terpaku, tatapannya tertuju pada perempuan yang sedang berdiri membelakanginya, menjemur cucian. Rambut belum kering sempurna, ujungnya pun bahkan membasahi bagian punggung dress rayon sebawah lutut yang ia kenakan hingga memetakan bayangan bra-nya.

"Bara?!" sapa Reno yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang.

Bara terkejut, begitu pun Dini yang langsung menoleh ke arah pria itu berada setelah lebih dulu melihat suaminya. Pandangan mereka sempat beradu, tapi pemilik hidung mancung itu segera berpaling dan mendekati Reno.

"Kupikir kau belum bangun," sahut Bara, lalu menyerahkan rantang pada sahabatnya itu. "Sonya memintaku untuk membawakan ini pada kalian. Makanlah selagi hangat," ucapnya, berbohong.

"Wah! Apa ini? Repot-repot sekali istrimu. Jadi nggak enak," sambut Reno, seraya membuka tutup rantang dan tersenyum semringah.

Dini telah selesai menjemur cuciannya, lalu berjalan mendekat saat Reno menunjukkan rantang itu, pertanda ia harus mengambilnya.

"Tolong sampaikan rasa terima kasihku sama Kak Sonya, Pak. Maaf sudah merepotkan," ucap Dini, saat telah berada di dekat mereka dan mengambil alih rantang dari tangan Reno.

"Iya." Pelan, Bara membalas ucapan Dini.

"Ayo masuk, Bar. Kita minum kopi di dalam!" ajak Reno.

"Mm ... boleh. Tapi di sini saja," sahut Bara, seraya menunjuk ke arah kursi panjang di dekat pohon jambu, tak jauh dari tiang jemuran. "Sekalian ada satu hal yang perlu aku bicarakan denganmu," lanjutnya.

"Ooh, gitu. Oke. Tolong buatkan kami kopi!" pinta Reno pada Dini yang masih berdiri di sebelahnya, hanya dua langkah di depan Bara.

"Iya, Mas," jawab Dini datar, lalu berbalik dan berlalu pergi.

Reno berjalan menuju kursi panjang yang baru saja ditunjuk oleh Bara. Mereka pun duduk bersama, menikmati sinar matahari pagi yang sesekali menerobos di celah dedaunan pohon yang rindang itu.

"Bagaimana, sudah ada kabar?" tanya Reno.

"Siang ini baru ada jawaban, tapi kemungkinan besar kita ada peluang besar."

"Oh, ya? Apa itu artinya proposal yang kuajukan diterima? Aku tahu mereka tidak akan mengabaikan proyek ini begitu saja," ucap Reno dengan binar penuh harapan di sorot matanya.

"Belum deal seratus persen. Karena kita masih harus mencari investor lain untuk mendapatkan lampu hijau dari pihak developer agar bisa segera memulai produksi."

"Apa darimu saja belum cukup?"

"Belum. Paling tidak, kita butuh satu pihak lagi untuk bekerja sama," jawab Bara.

"Kau punya solusi?"

"Ada di daftar dokumen yang kau bawa kemarin. Kita bisa periksa satu-satu dari sana dan memilih kira-kira siapa yang berpotensi lebih besar," jawab Bara.

Sempat terdiam sebentar, Reno langsung mengangguk dan berdiri. "Sebentar. Aku ambil laptopku di dalam," ujarnya.

"Baiklah. Aku tunggu," Jawab Bara.

Reno berlalu meninggalkan Bara dan sempat berpapasan dengan Dini yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan kecil berisi dua cangkir kopi.

"Ini kopinya, Mas."

"Taruh di sana!" jawab Reno, sambil lalu.

Dini menghela napas, lalu kembali berjalan mendekati Bara yang diam-diam memperhatikannya dari sudut mata. Ia bersikap seolah sedang melihat ke arah lain, padahal di dalam dadanya mulai terdengar pelan suara detak yang bertalu.

"Silakan kopinya, Pak," ucap perempuan itu, seraya memindahkan cangkir dari atas nampan ke meja kayu berukuran lumayan besar. Sepertinya tempat itu dirancang untuk pesta barbeque atau sekadar bersantai di halaman belakang rumah.

"Terima kasih," sahut Bara.

Entah perasaan apa yang membuat mata pria itu menoleh dan menatap wajah Dini yang merunduk di depannya. Ia bisa mencium aroma shampoo dari rambut yang tergerai, lalu ujung hidung mungilnya yang tidak terlalu bangir serta bulu mata yang juga tidak terlalu lebat.

Degh!

Jantung di dadanya mendadak berhenti berdetak saat mata bulat itu tiba-tiba menoleh dan menatapnya. Pandangan mereka sempat terkunci untuk beberapa detik, hingga Bara seketika berdiri dengan gugup.

"Mm ... sebaiknya aku kembali saja--" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada lengan kiri perempuan itu. "Apa yang terjadi?"

Dini terhenyak. Ia tidak menyangka kalau pria yang merupakan sahabat dari suaminya itu dengan tiba-tiba menyentuh lengannya yang memang tampak bilur kebiruan.

"A- awwhh!" lenguhnya lirih, saat Bara memegang lengannya.

"Ma-maaf," ucap Bara, seraya melepaskan lengan perempuan itu.

Pandangan mata pria itu kembali terpaku saat tanpa sengaja melihat wajah Dini dari dekat dan sebagian rambutnya tersingkap. Sadar diperhatikan, perempuan itu dengan cepat membenarkan rambutnya dan menutupi bekas-bekas lain di seputar leharnya.

"Permisi ...." Dini bergegas pergi meninggalkan Bara yang masih berdiri terpaku di depannya.

Lagi-lagi pria itu merasakan hal yang aneh pada dirinya. Setelah genderang ribut di dalam dada saat berada begitu dekat dengannya, kini timbul desir aneh yang merambat hangat hingga ke ujung kepala.

"Sial! Apa mereka sudah bercinta sepanjang malam?" gerutunya, merasa kesal.

Pikiran Bara mendadak kacau dan tidak dapt ia kendalikan. Ia kembali duduk ketika melihat Reno telah muncul dan setengah berlari mendekat ke tempatnya dengan membawa laptop di tangan.

"Maaf. Aku tadi ke kamar mandi sebentar," ucap Reno.

"Hmm ...." Bara hanya mengangguk, seraya meraih cangkir di depannya. Ia menyesap minuman beraroma khas itu dengan takzim.

"Sebentar. Aku nyalakan dulu," ujar Reno, seraya mulai membuka data di dalam laptop setelah duduk kembali di sebelah Bara.

Setelah sempat ingin mengusir Reno dari rumahnya, rencana itu urung ia lakukan setelah proposal sahabatnya yang sempat mereka ajukan di salah satu perusahaan mendapatkan agreement. Bisnis di atas segalanya, dan tentu saja mengesampingkan kekhawatiran yang sempat membuatnya ragu.

"Di sebelah mana kau simpan file-nya?" tanya Reno, sembari mengutak-atik isi laptop.

"Cari di file tersimpan," jawab Bara.

Diam-diam Bara pun mempehatikan wajah sahabatnya dengan seksama. Reno memang memiliki wajah tampan, rahang tegas dan bibir pekat yang mampu membuat wanita mana pun ingin dicium olehnya. Membayangkan bagaimana bibir itu semalaman merayap di sepanjang leher dan tubuh perempuan mungil yang beberapa saat lalu berada di dekatnya itu, mendadak membuat kepalanya pening.

"Oh, shitt!" umpat Bara, pelan tapi terdengar jelas oleh sahabatnya.

"What!?" sahut Reno, seraya menoleh sahabatnya.

Bara pun tidak kalah terkejut dengan sikapnya sendir yang seperti tidak terkontrol. Keduanya saling pandang, hingga akhirnya Bara dapat kembali menguasai emosinya.

"Bukan. Maksudku bukan itu. Aku ... hanya baru ingat, kalau hari ini ada janji ketemu dengan pihak Advertising dan harus sampai di kantor lebih awal," jelasnya, mencari alasan.

"Sekarang?" tanya Reno.

"Iya, sekarang. Selvi akan membunuhku kalau datang terlambat," pungkasnya.

Reno terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ia memperhatikan bagaimana Bara menghabiskan kopinya, lalu berlalu begitu saja setelah menepuk bahunya dua kali.

"Hati-hati jangan sampai tertangkap oleh istrimu, Bro!" ucapnya sedikit berseru.

Bara hanya mengacungkan bogem mendengarnya, lantas berlalu pergi dan meninggalkan Reno yang kembali melihat laptopnya sembari menyeruput kopi.

--