webnovel

Muncul keraguan

Langkah Bara semakin cepat saat memasuki rumah yang persis berada di sebelah dan selama ini jarang ia datangi.

"Reno!" panggilnya.

Tidak ada sahutan. Ia hanya mendapati beberapa makanan yang tersaji di meja yang berasal dari rumahnya. Ia melihat pintu kamar yang terbuka, tapi hanya ada Alika yang tertidur memeluk boneka. Itu artinya Dini berada di kamar yang pintunya tertutup.

Perlahan ia mendekat, lalu mendorong pintu kayu yang tidak terkunci itu. Seorang perempuan tergolek lemah di tempat tidur. Ada perban yang membalut pergelangan tangannya. Rasa hangat tiba-tiba menjalari seluruh tubuh pria berjas hitam itu.

"Kau di sini?" tanya Reno yang mendadak sudah berada di belakangnya.

"Ya. Baru saja," jawab Bara dengan gugup, lalu berjalan menuju sofa. Reno mengikutinya, duduk di tempat yang bisa mengawasi ke dalam dua kamar yang bersebelahan itu.

"Apa yang terjadi? Bukankah kalian baru pulang dari rumah sakit?" tanya Bara.

"Entahlah. Saat pulang dia baik-baik saja, malah ngobrol sama istrimu, Bar. Aku pergi sebentar untuk mengemasi sisa barang di kost-an. Begitu balik, dia sudah seperti itu," jelasnya.

Bara kembali melirik ke dalam kamar. Wajah pucat perempuan itu masih saja membuat hatinya bergetar hingga ia tak mampu memperhatikannya terlalu lama.

"Kau tidak berpikir untuk membawanya ke rumah sakit?" tanya Bara, yang kemudian dibalas dengan gelengan kepala sahabatnya. "Kau yakin?" ulangnya.

"Aku tahu dia akan baik-baik saja, Bar. Mungkin ia hanya hanya merasa capek dengan keadaan kami. Dia ... perempuan yang sangat kuat, kok." Reno berujar dengan tenang untuk meyakinkan pria di depannya.

"Are you kidding?" sahut Bara dengan tiba-tiba, "Dini baru saja mengiris jadinya dan kamu dengan enteng bilang, dia baik-baik saja? Ooh, shitt!" tukas Bara dengan sedikit penekanan di ujung kalimat.

Reno terdiam, tidak menyangka mendapat reaksi tak biasa dari kawannya itu. Bahkan kemudian Bara berdiri kesal, lalu kembali duduk dengan napas terengah layaknya orang menahan emosi.

"Maaf," gumamnya lirih, berharap Reno tidak berpikir jauh tentang sikap gusarnya yang sulit ia kendalikan.

"Ini bukan yang pertama, Bro. Jadi aku tahu dia akan baik-baik saja," jawab Reno datar. Tetapi justru membuat tatapan nanar sahabatnya terbeliak tak percaya.

"What?!" gumamnya.

"Dia pernah depresi, tapi kemudian membaik dengan sendirinya. Satu-satunya yang ada di kepalanya cuma kesembuhan Alika. Jadi selama anak itu berada di dekatnya, ia tidak akan apa-apa."

"Wah ... sakit! Kalian bener-bener sakit, Ren. Oh, shitt!" Pria itu terus menggeleng sambil sesekali mengumpat lirih tak percaya.

Reno terdiam, membiarkan emosi pria di depannya mencair lebih dulu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bara selanjutnya jika tahu keadaan mereka lebih dalam. Sejak dulu, sahabat yang sudah seperti kakaknya itu memang dikenal memiliki kepedulian yang sangat tinggi.

"Lima tahun terakhir, hidup kami memang sudah seperti api dalam sekam, Bar." Ucapan Reno terdengar berat, kemudian diikuti oleh helaan napas yang dalam.

Bara tak menyahut. Ia memilih menyandarkan punggungnya dan melihat ke langit-langit rumah yang tertutup oleh terbit berwarna putih.

"Karena anakmu?" tanya Bara dengan suara yang lirih menggumam.

"Hmm ...." Sebuah jawaban yang membuat keduanya bungkam untuk beberapa saat. Reno pun hanya menoleh ke dalam kamar dan menatap ibu dan anak secara bergantian.

"Pasti sangat berat buatmu," ucap Bara tanpa mengalihkan pandangan.

"Ya. Aku bahkan pernah berpikir untuk meninggalkan mereka dan pergi jauh dari semua tekanan ini. Bukan sekali atau dua kali. Sering," jawab Reno, datar saja.

"Kau menyesal?"

"Munafik kalau aku bilang tidak. Meski aku tidak menyesal telah menikah dengannya, tapi jika tahu akan seperti ini kejadiannya ... lebih baik kami tidak pernah bersama."

Entah kenapa ada rasa kesal yang justru membuat senyum aneh di sudut bibir Bara saat mendengar pengakuan sahabatnya. Reno bukanlah tipe laki-laki yang setia pada satu wanita sejak dulu, jadi agak sedikit mengejutkan saat ia mampu bertahan pada seorang perempuan berwajah biasa seperti Dini, istrinya.

"Apa yang dia punya?" tanya Bara, tapi saat tidak ada jawaban yang didengarnya, ia melanjutkan, "istrimu ...."

"Karena dia ... mencintaiku dengan bodoh," jawabnya.

Seketika senyum yang sempat menggantung di susudt bibir Bara menghilang. Benar. Hanya perempuan bodoh yang mampu bertahan di sisi lelaki seperti Reno. Setidaknya kebobrokannya selama ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan sahabatnya itu.

"Bagaimana denganmu? Kau tidak mencintainya?" tanya Bara, seraya memalingkan wajah ke arah Dini yang masih saja terdiam di tempat tidur.

"Tentu. Aku tidak akan menjadikannya sebagai istriku kalau tidak ada rasa cinta," jawab Reno.

"Sampai sekarang?" tanya Bara, sembari menoleh ke arah sahabatnya yang hanya tersenyum dan mengedikkan bahu. "Tidak?" bisiknya, berharap dugaannya meleset.

"Entahlah. Bukan itu yang menjadi prioritas ku saat ini. Asal dia mampu menguasai diri, kurasa tak ada salahnya untuk bertahan, kan?" ulas pria berwajah tampan itu.

"Maksud kamu?" Lagi-lagi Bara terlihat terkejut dan mengerutkan dahi saat mendengar ucapan Reno, sahabatnya.

"Hubungan kami sedang tidak baik-baik saja, Bar. Aku ... berencana menyembunyikan hal ini darimu, tapi sepertinya kau sangat jeli. Aku bahkan sempat mengancamnya agar tidak membuat kalian curiga," ujar Reno.

Bara semakin terperanjat. Bagaimana bisa ia terlibat dengan kehidupan orang-orang bermasalah seperti mereka? Terbersit rasa penyesalan karena pada akhirnya terlalu terlambat untuk membatalkan semuanya.

"Apa yang sedang kamu bicarakan, Reno?! Ini sama sekali nggak lucu," ucap Bara, lalu berdiri dan bergegas meninggalkan sang sahabat yang terus memanggil namanya di belakang.

Sejak awal kedatangan Reno, ia sudah merasakan sesuatu yang tidak biasa. Entah karena feeling atau hanya perasaannya saja. Keputusan Sonya untuk memberikan tempat tinggal di rumah mereka pun harusnya tidak langsung ia aminkan.

"Kenapa dengan wajah Papa yang masam itu?" tanya Sonya, saat mereka berpapasan di ruang makan.

Bara tidak menjawab, tapi malah mengambil air dingin dari dalam lemari es dan menenggaknya hingga saparuh botol.

"Mari makan dulu, Pa. Mbak Pur sedang memanggil Riki untuk makan bareng," ucap istrinya yang sedang mempersiapkan makanan di meja.

"Mama yakin menyuruh mereka untuk tinggal.di rumah sebelah?" tanya Bara tiba-tiba.

"Loh, memangnya kenapa, Pa? Kita sudah membicarakan ini dari jauh hari, kan?" sahut Sonya kebingungan.

"Mendingan kasih saja mereka uang dan suruh cari tempat lain saja. Aku tak mau ikut terseret dalam masalah pribadi mereka, Ma."

"Memangnya kenapa? Apa yang kalian bicarakan tadi saat pergi ke sana? Sahabatmu ada ngomong sesuatu apa gimana?" cecar Sonya, masih dengan tatapan bingung pada suaminya yang kini duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan.

"Mereka bermasalah, Ma," pungkasnya.

--