Riki terpaksa menuruti perintah ibunya untuk turun dan makan malam bersama di meja makan. Sang ibu selalu punya ancaman yang mampu membuatnya bertekuk lutut.
"Malam, Pa," sapa remaja tampan itu pada ayahnya yang sudah mulai makan.
"Hmm ... makanlah!" sahut pria itu, meminta sang putra untuk duduk di depannya.
Sonya dengan sigap turut menyiapkan makanan untuk putra tunggalnya. Ada rasa bahagia saat mereka bisa berkumpul seperti sekarang dan kesempatan itu sangat jarang terjadi beberapa bulan terakhir.
"Makan yang banyak, Sayang," bisik wanita cantik itu, saat mengangsurkan piring berisi makanan padanya.
"Makasih, Ma." Riki tidak ingin melakukan satu kesalahan pun yang bisa memancing kemarahan sang ayah.
Mbak Pur menghela napas, merasa lega saat melihat majikan mereka berkumpul tanpa keributan seperti yang sudah-sudah. Dalam hati ia berharap, agar kebersamaan itu bisa terus langgeng seperti masa-masa yang telah lalu.
"Bagaimana sekolahmu, Rik?" tanya Bara di sela-sela makan.
"Baik, Pa," jawab Riki, seraya melirik ibunya yang mengunyah makanannya dengan hati-hati.
"Bagus. Ini kesempatan terakhirmu pindah sekolah. Papa tidak mau lagi ada surat panggilan atau apa pun yang melaporkan tentang kelakuan burukmu. Kalau sampai kamu gagal ujian dan harus DO. Papa tidak akan memaafkanmu, ngerti?!" gertaknya dengan tatapan tajam pada sang anak.
"Iya, Pa."
"Pergi ke salon dengan Mama dan rapikan rambutmu! Kayak anak nggak tahu aturan saja kamu ini," gumamnya lagi.
Baru saja Riki hendak menjawab ucapan ayahnya, sorot tajam sang ibu membuatnya urung untuk memberikan perlawanan. Ia kembali menahan diri, tidak ingin merusak kedamaian yang sangat diidamkan oleh ibunya sejak lama.
Acara makan malam pun sukses dan sekaligus menyelamatkan Riki dari lembah penderitaan. Malam itu ia kembali mendapatkan kartu debet miliknya yang sempat diambil paksa oleh ayahnya. Walaupun ia harus menandatangani kesepakatan dengan Bara sang 'Tuan' dalam istana itu.
"Konyol sekali suami Mama itu," gerutu pemuda berkulit bersih yang kini duduk bersama Sonya di ruang tengah.
"Papamu ...." ucap Sonya, merapat perkataan Riki.
"Iya, papa yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri," sahutnya sambil mengerucutkan bibir.
Sonya tersenyum mendengar omelan putranya itu, lalu mengusap kepala sang anak yang berusaha mengelak karena enggan. Tetapi toh, akhirnya ia membiarkan tangan wanita yang melahirkannya itu mengusap bahunya dengan lembut.
"Papa kerja juga kan, buat kita, Nak."
"Aku bukan anak kecil, Ma. Berhentilah membelanya seolah-olah kita ini hanyalah beban keluarga. Itu sudah menjadi kewajiban dia sebagai kepala keluarga."
"Hush! Kamu ini, Rik." Sonya kembali tergelak mendengar ucapan pemuda itu.
Mbak Pur datang membawakan dua gelas coklat panas untuk keduanya, juga satu piring potongan buah yang telah dikupas.
"Makasih, Mbak," ucap Sonya.
"Sama-sama, Bu."
"Oh, iya. Tolong antarkan juga buah yang tadi aku pisahin di kulkas ke rumah sebelah, ya."
"Baik, Bu. Saya antarkan ke rumah sebelah sekarang," jawab asisten rumah tangga itu, lantas berlalu pergi.
Riki mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Mbak Pur yang sudah pergi ke belakang membawa bungkusan plastik berisi buah. Ia memang sempat mendengar kalau rumah sebelah sudah ditempati oleh penghuni baru.
"Sebenarnya mereka itu siapa, Ma? Kenapa Papa sebegitunya memperlakukan orang dengan istimewa sedang sama anak sendiri perhitungan setengah mati."
"Mama 'kan sudah bilang, Om Reno itu sudah seperti saudara buat Papa."
"Kenapa baru sekarang mereka datang? Memangnya dari dulu kemana?" ucap Riki, seolah tidak memahami hubungan pertemanan seperti apa yang sedang dijelaskan oleh ibunya.
"Jangan suka berburuk sangka. Mereka pasti punya alasan yang kemungkinan kita tak perlu tahu, Nak. Doakan saja agar mereka segera pulih dan tidak lagi terlilit dalam masalah."
"Asal jangan sampai menolong orang yang salah saja, Ma. Tahu sendiri sekarang, orang gunain berbagai macam cara buat dapatin apa yang mereka incar."
Sonya kembali tergelak mendengar ucapan Riki yang tidak biasa. Bahkan terkesan jauh lebih matang dari usianya yang masih sangat muda.
"Kalau sempat, main lah ke sana. Sapa dan perkenalkan diri biar mereka tidak merasa canggung tinggal di dekat kita," usulnya.
"Bukan urusanku," jawab Riki datar.
"Kok, gitu?" tegur Sonya dengan raut wajah yang memperlihatkan kurang setuju dengan jawaban sang anak.
"Ya ... harus gitu, Ma. Kita tuan rumah di sini, mereka tamu. Harusnya mereka dong, yang memperkenalkan diri. Kenapa harus Riki?"
"Riki ...."
"Udah deh, Ma. Pokoknya Riki nggak mau disuruh-suruh ke rumah itu hanya untuk membungkuk sama mereka. Riki naik dulu, udah malam."
"Hmm, selamat tidur, Sayang." Sonya membalas ciuman di pipinya dengan senyum lembut.
Riki bergegas naik ke kamarnya setelah mengucapkan salam pada sang ibu yang masih ingin melanjutkan menonton acara favoritnya. Bersamaan dengan Mbak Pur yang muncul dan menghampiri nyonya rumah untuk melaporkan hasil pekerjaannya.
"Gimana, Mbak? Udah?" tanya Sonya.
"Udah, Bu. Malah langsung dikupas dan dimakan sama Mbak Dini kok, apelnya." Mbak Pur menjelaskan.
"Dini sudah sembuh?" tanya Sonya, sedikit terkejut dengan perkataan Mbak Pur.
"Sudah, Bu. Dia bahkan sudah beberes dan mencuci piring, tadi. Saya lihat rak di dapur juga sudah rapi," jawab perempuan bertubuh gempal itu dengan antusias.
Sonya mengangguk pelan, lalu menghela napas dan mengambil coklat hangat yang telah disediakan oleh Mbak Pur sebelumnya.
"Duduk sini deh, Mbak!" pinta Sonya, seraya menepuk sofa di dekatnya.
Sempat merasa ragu, tapi kemudian Mbak Pur menuruti perintah majikannya untuk duduk di sebelahnya. Mungkin wanita itu ingin membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
"Kenapa Bu?" tanya Mbak Pur ikut berbisik.
"Mbak jawab dengan jujur, ya."
"Baik, Bu." Mbak Pur mengangguk.
"Menurut Mbak Pur, ada kemungkinan penghuni rumah sebelah iti akan melakukan sesuatu yang kurang ajar, nggak? Maksudku, Dini itu ada potensi menjadi penggoda gitu, nggak?" tanya Sonya dengan suara pelan berbisik.
"Mbak Dini?" ulangnya.
"Iya. Menurut Mbak, genit nggak dia orangnya? Kira-kira papanya Riki ada kemungkinan untuk tertarik sama dia, nggak?"
"Enggaklah, Bu!" jawab Mbak Pur cepat, sembari tertawa lirih mendengar pertanyaan konyol sang majikan. "Mana mungkin Bapak kepincut sama perempuan lain. Apa lagi dia itu nggak ada apa-apanya sama Ibu," tambahnya.
Sonya terdiam mendengar ucapan Mbak Pur, lalu ikut tersenyum seperti orang bodoh yang tak berpikir panjang. Mbak Pur pasti menertawakan kecemasannya yang tidak masuk akal. Ia pun tak habis pikir, bagaimana bisa merasa takut kalah saing dengan perempuan seperti Dini, istri dari orang yang akan menjadi suruhan suaminya kelak?
"Bener begitu, Mbak?" tanya Sonya, ingin memastikan kembali pernyataan Mbak Pur.
"Ya iyalah, Bu. Jauh. Saya saja yang bukan laki-laki langsung bisa membedakannya, kok. Ibu itu jauh lebih cantik, lebih seksi dan lebih menarik bila dibandingkan sama Mbak Dini yang tinggal di sebelah itu," jelasnya lagi, menyakinkan Sonya.
--