webnovel

BAD MONDAY

Hari Senin yang cerah ini Randy tidak  berangkat ke kantor. Tubuhnya demam dan terbaring lemah di atas ranjang setelah kemarin malam kehujanan. Ia sudah meminum obat pereda demam, tetapi sekarang sudah saatnya meminumnya lagi karena hari sudah berganti pagi.

Sejak tadi perut Randy keroncongan menahan lapar. Terakhir kali tenggorokannya menelan makanan sekitar dua belas jam lalu.

Namun, kali ini Randy tidak sanggup menahannya lagi. Ia bangkit meski lemah dan berjalan pelan menuju kulkas dua pintu yang berada di dapur lalu membukanya sambil berdoa.

Semoga ada makanan.

Namun, doanya meleset. Randy melihat tidak banyak sesuatu di dalam kulkasnya, hanya beberapa botol air mineral dan dua potong martabak kacang yang sudah mengering seperti dendeng, selebihnya hanya cemilan ringan yang pasti tidak akan membuatnya kenyang. 

Tak ada makanan yang bisa ia makan pagi ini dan tak ada pilihan lain selain menutup kulkas lalu kembali berbaring di ranjangnya yang empuk. Tentu saja menahan lapar dan berharap mendapat pertolongan dari seseorang atau ... mungkin dari 911.

911? Bukankah terlalu berlebihan?

Ketika Randy meringkukkan kembali tubuhnya di balik selimut, ponselnya berdering. Awalnya ia mengabaikan, setelah nada Mr.Pat itu kembali berdering, dengan susah payah ia bangkit dan tangannya meraih ponselnya di atas nakas. 

Joe? 

Ia bergegas mengangkat panggilan masuk dari Joe, rekan kerjanya satu perusahaan Ekspor Impor.

"Hallo, Joe." Randy menyapa. Suaranya lemah seakan menahan lapar selama tiga hari. 

Mendengar suara lemah Randy, Joe tertawa geli. Biasanya Randy selalu bersemangat menyapanya seperti penyanyi Rocker, tapi kali ini terdengar seperti seorang petinju yang K.O dipukul lawan. Lemah dan terdengar lembut.

Joe menghentikan tawa. "What's up dude? Are you okay?" Membalas sapa kawannya yang juga menjadi incaran banyak karyawan wanita di kantor. Sebenarnya ia sudah mengetahui Randy sedang sakit setelah mendapat pesan kemarin malam, tetapi entah kenapa meledeknya memberinya kepuasan tersendiri. Terutama dengan status Randy yang single.

Randy memegang perutnya yang  mengempis. Serasa perut dan punggungnya beradu. "Felt bad, bro. Gue laper tapi enggak ada makanan yang bisa gue makan," keluhnya, berharap mendapat kiriman makanan dari Joe atau setidaknya sebuah solusi yang dapat menolongnya pagi ini.

"Poor Randy …" Joe memulai cemoohannya yang pertama lalu berdecak. "Ck … ck … ck … elu kudet, Bro!" Cemoohan kedua. "Elu 'kan bisa beli makanan delivery. Ini zamannya millennial, Randy Travis. Lu bukan tinggal di zaman batu lagi," saran Joe, tetapi kalimat terakhirnya bermakna cemoohan juga. "Elu tinggal pesan terus duduk manis deh di apartemen. Enggak lama tuh kurir anterin makanan yang elu pesan. Paham enggak, Bos?"  Sambil menahan tawa. Ia paham Randy tidak berpikir ke sana mungkin dikarenakan kurangnya asupan oksigen, sehingga membuat pikiran kawannya itu blank.

"Oh iya!" Randy reflek memukul pelan dahinya. "Gue enggak kepikiran ke situ. Gara-gara gue laper jadi enggak fokus. Ok, gue pesan dulu. Thanks , Bro. Bye!!" Bergegas menutup panggilan Joe tanpa mendengar balasan.

Randy bergegas membuka aplikasi Ojek Gogo, aplikasi ojek online yang juga menyediakan jasa antar makanan minuman dan lainnya. 

Memasuki aplikasi, ia memesan dua jenis makanan dari tempat berbeda. 

Seporsi bubur ayam dan satu box nasi. Tentu saja ia tidak sekaligus memakannya, yang pasti saat ini ia tak sabar menyantap bubur ayam Pak Tejo yang terkenal 'Maknyos'.

Randy merebahkan lagi tubuhnya di atas ranjang sembari menunggu makanan yang akan diantar kurir. Selama menunggu ia lebih memilih memainkan game mobile legends di ponsel, daripada menonton acara televisi.

Tidak sampai tiga puluh menit menunggu. Bel apartemennya berbunyi, senyumnya mengembang dan tak sabar untuk menyantap makanan yang sejak tadi membuatnya menelan ludah.

Dengan pelan-pelan sekali Randy bangkit dan berjalan dengan langkah gontai menuju monitor dekat pintu. Dari sana ia melihat seorang kurir berdiri dibalik pintu dengan sebelah tangan menggenggam dua plastik.

Dengan semangat 45, Randy  membuka pintu dan menyambut si kurir dengan senyuman.

"Bapak Randy?" sapa si kurir yang memakai seragam yang berupa jaket berbahan parasut berwarna hijau terang dengan logo GA itu melekat di tubuh rampingnya. 

"Ya," balas Randy dan pandangannya kini ke arah tangan si kurir yang terjulur ke depan.

"Ini pesanannya." Si kurir menyodorkan dua plastik terdiri dari dua jenis makanan yang berbeda tempat.

Randy terdiam. Tatapannya lekat pada kurir di depannya sekarang. Tingginya 165 sentimeter atau rendah sepuluh sentimeter dari tubuhnya. Tubuh kurir itu terlihat kurus namun berisi. Tulang pinggulnya terlihat kecil dan rapuh. Tidak seperti tubuh pria umumnya. Ia meyakini di balik jaket parasut itu pasti tubuhnya kurus. Melebihi kurus dari tubuhnya. Sebenarnya Randy tidak terlalu kurus. Ia memiliki dada bidang, bisep dan otot perut yang mumpuni untuk ia pamerkan seperti yang biasa dimiliki supermodel pria. Namun, sayangnya kesempurnaan tubuhnya sering membawa petaka terhadap pria lain yang melihat dan menganggap dirinya gay.

Tatapan Randy terhenti pada babyface si kurir yang cocok dengan rambut pendek ala boyband K-pop. Walau menutupi setengah wajahnya dengan topi, kurir itu terlihat tampan, imut dan menarik. Ia yakin cukup membuat para wanita tergila-gila. Seperti wanita-wanita di luar sana memperlakukannya.

Randy menerima bungkusan plastik itu. Setelahnya, ia memeriksa isi makanan yang dikemas dengan styrofoam.

Bungkusan pertama yang Randy lihat adalah nasi dengan lauk ayam kecap beserta sayur yang dipisah kemasannya.

Bungkusan kedua ia membukanya perlahan lalu terkejut dengan isi di dalamnya.

"Ini apaan, Mas? Saya 'kan pesan bubur ayam Pak Tejo. Kok rujak ulek isinya sih?!" keluh Randy menunjuk sterofoam berisi rujak ulek. Ia tidak  merasa memesan rujak. Tidak sedang mengidam ataupun menginginkan sesuatu yang segar di tenggorokannya. Yang ia butuhkan adalah bubur ayam yang terkenal 'Maknyos'.

Si kurir mengamati bungkusan yang ditunjuk Randy, ia cek lagi pesanan Randy di ponselnya. Di sana memang tertulis jelas bahwa Randy memesan rujak ulek dan nasi ayam kecap. Untuk meyakinkan Randy, ia memperlihatkan ponsel itu di depan wajah Randy. 

"Mas, tadi pesan itu juga. Ini buktinya," kilah si kurir, memberikan bukti otentik walau sejak tadi ia menahan tawa dalam hati setelah tahu yang memesan rujak ulek adalah seorang pria.

Randy tak percaya dengan tulisan di ponsel kurir itu, ia berpikir bisa saja kurir itu menggantinya tadi untuk menutupi kesalahannya. "Sebentar. Saya cek di handphone dulu." Karena tak percaya ia beranjak menuju ranjang dan mengambil ponsel. 

Randy membaca dengan seksama isi pesanan yang sudah ia klik tadi. Mulutnya ternganga dan sadar jika kesalahan ternyata pada dirinya yang sudah salah memilih makanan. 

Dengan langkah gontai Randy mendekati si kurir yang masih berdiri di depan pintu lalu memberikan uang lima puluh ribu. Membayar ala COD.

"Maaf, saya salah klik tadi, Mas. Tapi saya gak butuh rujak. Saya lagi gak enak badan. Saya butuh---"

Belum selesai bicara, Randy tumbang dan tergeletak di lantai.

"Mas!" Si Kurir kaget melihat Randy terjatuh dan tak sadarkan diri. Dengan cepat ia menaruh dua makanan tadi di lantai lalu mengangkat dan memapah Randy untuk membawanya ke dalam kamar. "Aduh pake pingsan lagi nih cowok!"  Kurir itu sedikit mengalami kesulitan memapah Randy yang terasa berat, tiba di kamar ia merebahkan pria yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek itu di atas ranjang.

Si kurir memegang dahi Randy. "Oh no. Dia butuh obat daripada rujak," gumamnya lagi, merasakan hangat suhu tubuh Randy melebihi batas normal.

Tanpa banyak berpikir si kurir bergegas melangkah mencari sesuatu. Langkahnya bimbang namun ia berlari menuju kamar mandi.

Si kurir menghela napas lega melihat beberapa handuk kecil terlipat rapi di lemari dekat wastafel. Kemudian ia berlari menuju dapur, mengambil wadah yang berupa mangkuk lalu menuang air hangat ke dalamnya setelah mengambilnya dari dispenser.

Mengompres solusinya saat ini pada  Randy yang memiliki wajah tampan dan umurnya yang mungkin tidak jauh berbeda darinya. 

Cukup lama kurir itu memperhatikan wajah Randy saat mengompresnya. Memiliki alis lebat, hidung mancung, bibir yang ditumbuhi sedikit bulu halus di atasnya, wajah mulus tanpa jerawat dan kulit kuning langsat memang sempurna bagi siapapun wanita yang melihatnya.

Tak hanya wajah pria itu. Si kurir mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen. Ia melihat jelas lemari bufet dipenuhi dengan koleksi action figure di dekat sofa dan beberapa foto melekat di dinding. Foto yang gambarnya Randy travelling ala backpacker.

Dari sekian banyak foto, yang membuatnya terheran tak ada satupun foto wanita di sana. Hanya seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi berdampingan pria tua dan Randy berdiri di belakangnya.

Saat ini pikiran kurir hanya dua. Pria bernama Randy itu  single atau mungkin … gay.

Sayang sekali. Ia berharap Randy pria normal.

"What! Ngapain juga gue mikirin dia!" Ia mengeplak kepalanya pelan. 

Setelah mengoleskan minyak kayu putih di depan lubang hidung Randy, setengah jam kemudian pria itu tersadar. Ya, setelah ketiga kalinya mengolesi minyak itu.

Randy membuka matanya perlahan, samar-samar ia melihat si kurir duduk di bibir ranjang. Ia juga mencoba bangkit dan duduk dengan sisa tenaganya. "Saya pingsan ya?" Merasakan kepalanya sakit dan sedikit benjol karena terantuk lantai tadi.

Si kurir mengangguk lugas. "Ya." Menjawab singkat.

"Sudah berapa lama, Mas?" Randy Makin merasakan perutnya yang keroncongan walau pandangannya fokus pada si Kurir yang menaruh handuk kecil ke dalam mangkok.

"Lumayan lama." Si kurir bangkit, menaruh mangkuk lalu mengambil nasi kotak. "Setengah jam lebih, Mas." Tangannya menyodorkan nasi yang berisi lauk ayam kecap. "Sebaiknya Mas makan nasi dulu terus minum obat. Saya dengar dari tadi perut Mas bunyi terus," katanya lalu merogoh saku jaketnya. Ia memberikan uang dua puluh ribu. "Ini kembaliannya." Lalu berdiri.

Randy menerima bungkusan nasi dan uang kembalian. "Terima kasih."

Kurir itu mengambil mangkuk berisi handuk kompresan lalu tersenyum tipis. "Saya permisi dulu, sepertinya Mas sudah lebih baik," pamitnya, melihat Randy bersiap untuk menyantap sarapan paginya.

Randy bangkit. Tangannya meraih  bungkusan berisi rujak tadi lalu menyodorinya ke depan. "Ambilah. Ini buat kamu. Mubazir daripada saya buang," katanya, sekalipun dalam keadaan sehat ia tidak terlalu menyukai rujak.

Tanpa basa basi si kurir menerima sambil tersenyum. "Ok, saya terima. Thanks rujaknya dan ... saya permisi dulu." Si kurir beranjak berjalan keluar kamar namun langkahnya tertahan.

"Tunggu!" Randy setengah berteriak dan berhasil membuat si kurir berbalik dan tersenyum. "Nama kamu siapa?!"

Senyum tipis itu terpoles dari bibirnya yang sedikit tipis dan berwarna ranum. "Ari. Nama saya Ari." Menjawab singkat lalu kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Randy sendirian di kamar.

Randy membuka bungkusan nasi itu lalu memakannya perlahan. Setelah memakan beberapa suap, pandangannya lekat ke arah lantai.

Tak ingin banyak berpikir, Randy bangkit dan mendekati sesuatu yang tergeletak di dekat pintu kamarnya yang setengah terbuka.

Ia meraih benda yang ukurannya sepanjang jari tengahnya. Dengan dahi berkerut ia bertanya sendiri, "Lipstick?"