webnovel

BAB 2. SURPRISE ON TUESDAY 

"Perasaan gue enggak pernah punya lipstik? Jangankan lipstik, cewek aja enggak punya."

Kalimat itu terluncur dari mulut Randy meski sambil mengunyah sisa makanan dengan sebelah tangan memegang lipstick. Ia ingat benar kapan terakhir wanita berkunjung ke apartemennya. Dan, wanita itu tak lain adalah ibunya sendiri, itu pun sebulan yang lalu. Sedangkan lipstik yang ia pegang sangat jelas bukan warna lipstik yang ibunya sering pakai. Lipstick itu  berwarna nude, bukan merah cabe, warna kesukaan Siska Travis.

Sekali lagi Randy mencoba mengingat, tiba-tiba terbesit di ingatannya tentang ojek online tadi. Randy yakin lipstik itu milik Ari yang mungkin terjatuh saat membantu dirinya pingsan menuju ranjang.

 But wait, Ari itu cowok! Masa iya dia pakai lipstik? Apa dia berubah wujud kalau malam?

Karena penasaran dan tergesa-gesa, Randy mengakhiri suapan terakhir, sebelah tangannya meraih ponsel dari atas meja sofa lalu mengecek history saat melakukan transaksi bersama Ari. 

Setelah menyimpan nomor ponsel Ari, Randy menghubunginya cepat. Ia takut lipstik yang ia temukan adalah barang yang harus Ari antarkan untuk seseorang, tentu saja akan menjadi masalah karena barang itu ada di tempatnya sekarang.

Panggilan Randy tersambung, tetapi Ari belum mengangkatnya. Ia terus mencoba hingga akhirnya suara operator menyapa dan memintanya untuk menekan salah satu angka yang akan terhubung dengan voice mail.

Randy berpikir Ari mungkin sedang mengendarai motor atau bisa jadi ponselnya sedang lowbat. Namun, ia masih penasaran dan kembali mencoba meski hasilnya sama seperti tadi. Ia pun menyerah dan menaruh lipstik itu di meja panjang, tepatnya di bawah televisi androidnya yang menempel di dinding. 

Tangan Randy mendorong masuk obat ke dalam mulut lalu melanjutkannya dengan meneguk segelas air. Ia berharap keadaannya membaik dan bisa bekerja seperti biasa, walau sudut hatinya merasa sedih dan kesepian harus melewati masa seperti ini seorang diri. Tanpa ibu, teman dan kekasih.

❤️❤️❤️

Suara alarm dari ponsel berdering nyaring di sebelah kasur Randy yang terbaring telungkup di atas ranjang dan berhasil membuatnya terjaga. Sebelah tangannya meraba ponsel dan melirik waktu sudah menunjukkan jam enam pagi. Ia menyentuh dahi dan pipinya sendiri. Keadaannya sudah membaik, sakit di kepalanya pun sudah berkurang walaupun tubuhnya terasa sedikit lemah.

Randy bangkit dari ranjang, ia yakin dirinya sanggup untuk bekerja hari ini. Setidaknya ia tidak merasa kesepian karena harus terbaring di ranjang, lagi pula banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan di kantor, terlebih lagi mengejar deadline yang tak bisa ia tunda.

Setelah memastikan dirinya lebih baik, ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang sempurna begitu juga membasahi rambutnya yang sedikit kecoklatan.

Tak sampai menghabiskan lima belas menit Randy membersihkan diri. Hari ini ia mengenakan kemeja biru lengan panjang yang digulung hingga bawah siku dipadukan dengan celana drill hitam. Setelah sepatu pantofel hitam menutupi kedua telapak kakinya, tak lupa ia juga menyandangkan tas menyilang di depan dada. 

Berhubung mobilnya masih berada di bengkel, dengan terpaksa ia harus memesan kendaraan dari aplikasi taksi online.

Pilihan Randy jatuh pada layanan ojek motor. Ia berharap cepat sampai di kantor mengingat menaiki motor lebih nyaman untuk menerobos kemacetan pagi ini. Namun, pikirannya teringat dengan Ari. Ia bergegas menghubungi Ari dan tak lama panggilannya tersambung.

"Baik, Mas. Saya ke sana sekarang." Ari mengakhiri pembicaraannya bersama Randy yang kebetulan berada di dekat area apartemen Randy. Ia melajukan motornya hanya beberapa menit dan tiba di depan lobi. Ia melihat jelas Randy berdiri dan tersenyum lebar menyambut kedatangannya.

"Pagi, Mas. Gimana keadaannya?" Ari menyapa dengan tangan menyodori helm half face dan sebuah masker. Ia  rapi dengan penampilan mengenakan kaos hitam dilapisi jaket seragam yang bertuliskan nama aplikasi, celana jeans, sneakers dan menutupi sebagian wajahnya dengan masker.

"Baik, Ri." Randy menerima dan mengenakan helm dan masker. "Sudah sehat karena bantuan kamu kemarin." Lalu duduk di belakang Ari.

"Syukurlah." Ari menoleh  Randy duduk nyaman di belakangnya. "Sudah siap, Mas?"

Randy mengangguk. "Yes, I'm ready, Ri." Ia tak sabar untuk segera tiba di kantor, menyelesaikan tugas yang harus ia selesaikan untuk menebus ketidak hadirannya kemarin.

Tanpa menunda waktu Ari melajukan motor menuju jalan raya yang untungnya belum terlalu macet.

Kedua tangan Randy berada di sisi pinggang Ari. Kecil dan ramping, bahkan terlalu ramping untuk ukuran pinggang seorang pria. Entah kenapa Randy merasa aneh berpegangan Ari. Dengan perlahan ia melepaskan pegangannya dan fokus melihat suasana jalanan yang terbilang masih lancar untuk rute ke arah kantornya pagi ini.

Hari Selasa pagi ini tidak berbeda dengan hari-hari yang lain. Tinggal di kota Jakarta yang terbiasa terjebak macet, berdesakan menaiki angkutan umum dan mengejar waktu adalah pemandangan biasa. Setiap orang berusaha menerobos kemacetan pagi dengan berbagai bertujuan. Bekerja di perkantoran, berdagang di pasar, berbelanja atau mencari uang untuk menyambung hidup.

Begitu juga dengan Randy yang sudah empat tahun lamanya bekerja di perusahaan Ekspor impor ternama di Jakarta selatan. Dengan penghasilan delapan digit setiap bulan, Randy bisa membayar cicilan apartemen sederhana dan berhasil membeli mobil pabrikan Jepang. Katakanlah hidup Randy sudah mapan di usia yang terbilang masih muda, 27 tahun. Semua keinginannya berhasil ia miliki kecuali satu hal.

Kekasih. 

Wanita manapun yang melihat Randy pasti akan terpesona. Ia berbadan tegap dengan tinggi 180 sentimeter dan berwajah tampan seperti pria Filipina, atau Asia mix latin.

Tak hanya wanita saja, bahkan tak sedikit pria gay mencoba mendekati Randy saat workout di Gym untuk menjadikannya pasangan. Walaupun status Randy sedang single, tetapi ia pria normal dan dengan lugas menolak mereka.

Menurut Randy mendapatkan kekasih di kota besar tidaklah mudah. Banyak hal yang menjadi pertimbangannya untuk menjadi kekasihnya. 

Pertama; ia tidak menyukai wanita yang terlalu mengumbar dada dan paha di tempat umum. Kedua; wanita yang senang menutupi wajah dengan make up tebal sebaiknya menyerah. Randy mencari wanita yang sederhana penampilannya dan tampil dengan makeup flawless. Ketiga; wanita itu harus bisa berdamai dengan ibunya yang sempurna. Point selanjutnya bisa Randy bicarakan baik-baik pada wanita yang menjadi kekasihnya tapi sebelum berlanjut di tahap itu kebanyakkan mereka menyerah di poin ketiga.

Ada apa dengan Siska Travis? Wanita berumur 52 tahun itu ternama sosok yang perfeksionis. Karena sifat perfeksionisnya itu, ia selalu menggagalkan hubungan Randy dan menjadikan anak keduanya menjadi single sampai saat ini.

 Kejam? Mungkin. Setidaknya kata itu yang terucap dari wanita-wanita yang pernah mendekati Randy.

"Sudah sampai, Mas." Ari menghentikan motor di depan gedung perkantoran sekaligus membuyarkan lamunan Randy. "Mas?"

Randy mengerjap, mencoba tersadar dirinya sedang tidak bersama ibunya yang ekstrim. "Oh iya." Ia bergegas turun lalu merogoh saku celana, mengambil uang selembaran nominal lima puluh ribu. "Ini." Menyodori uang itu sambil tersenyum menatap lekat wajah Ari yang setengah ditutupi masker. Terlalu manis untuk ukuran pria yang usianya diatas dua puluh tahun. Semanisnya wajah pria pasti ada sisi macho-nya, tapi Ari berbeda. Ia terlalu sulit dijabarkan dengan kata-kata. Tepatnya wajahnya selalu terbayang-bayang dalam ingatan Randy.

Pandangan Ari beralih dari uang menuju wajah Randy yang tersenyum dan memperlihatkan sebuah lesung dari salah satu pipinya. Ia menggeleng. "Maaf, Mas. Enggak ada kembaliannya. Soalnya yang lain pesan pakai aplikasi dan bayarnya ...,"

"Pegang aja dulu." Randy sedikit memaksa. "Kalau saya butuh kamu, mau 'kan datang ke tempat saya?"

"Hah?" Ari terkejut dan mencoba berpikir jernih. "Maksudnya?" Dahinya berkerut, tidak mengerti makna ucapan Randy.

Sepertinya Randy harus sedikit menjelaskan mengenai ucapannya agar Ari tidak salah paham. Setidaknya mengerti akan maksudnya saat ini. "Maksud saya, karena kamu sudah menolong saya, terima aja uang itu dulu. Terserah kamu mau anggap uang itu upah ojek  atau yang lain. Saya cuma berharap setiap saya butuh bantuan, kamu bisa datang ke tempat saya. Itupun kalau bisa." Ia mengucapkan dengan pasti kalimat terakhir, mengingat Ari memiliki pekerjaan yang banyak menghabiskan waktu di jalan dan tentu saja tidak bisa berharap banyak.

"Ini kebanyakkan, Mas." Ari enggan menerima uang itu baik sebagai upah jasanya atau menilai kebaikan yang sudah ia lakukan kemarin. Menurutnya, ia menolong hanya  kewajibannya sebagai manusia untuk memberikan bantuan semampu yang ia bisa. Tanpa ada niat terselubung lainnya dan hanya bisa dilakukan pada orang tertentu di saat Apatis merajalela di kehidupan kota besar.

Sekali lagi Randy tersenyum, ia meraih tangan Ari, menaruh uang itu di atas telapak tangannya dan memaksa untuk menerima. "Ambil aja," katanya dengan tulus. "Saya tunggu nanti malam di apartemen. Ada sesuatu yang mau saya kasih buat kamu." Kepalanya menoleh ke belakang melihat rekan kerjanya yang terus berdatangan. "Saya pergi dulu. Sampai ketemu nanti malam. Bye." Randy mengangkatnya tangan lalu berbalik, beranjak meninggalkan Ari yang terdiam.

"Nanti malam?" Ari mencoba mengingat dan ia yakin tidak pernah membuat janji pada Randy. "Mas Randy." Ia setengah berteriak memanggilnya tapi Randy terus berjalan membelakangi sambil melambaikan tangan. "Mas!" Panggilannya tidak berhasil, ia terpaksa turun dan mengejar Randy.

"Mas Randy!" 

Kepala Randy meneleng ke kanan. Kok suara Ari makin dekat ya? Ia terus berjalan sama sekali tidak berbalik atau pun menoleh dan menganggap hanya halusinasinya saja.

"Mas!" Ari berhasil mencengkram lengan Randy dan memaksanya berbalik.

Ternyata bukan halusinasi. Tangan Ari terasa halus. "Ada apa lagi, Ri?" Walaupun dahinya berkerut, Bibir Randy kembali melengkung ke atas. "Aku sudah bilang kalau kamu enggak usah sungkan. Apa uangnya kurang?" Wajahnya berubah serius, entah kenapa ia berpikir seperti itu.

Ari menjawab diawali gelengan kepala. Ia tertawa kecil lalu menunjuk ke arah kepala Randy. "Itu." Berusaha untuk tidak tertawa. "Helmnya. Mas lupa lepas helmnya."

"Apa?!" Kedua mata coklat Randy membulat, kedua tangannya reflek melepas helm dan menyodorkan pada Ari. "Maaf, Ri. Saya enggak sadar kalau belum lepas helm. Sorry." Wajahnya merah padam, karena kecerobohannya menjadi perhatian rekan kerjanya yang sejak tadi tertawa kecil melihatnya tapi tidak ada seorangpun memberitahu keadaannya yang masih mengenakan helm.

Tawa Ari pecah walau tidak lantang seperti orang lain, dengan cepat ia menghentikan tawanya. "Enggak apa-apa kok, Mas. Ini salah saya juga," ucapnya yang tahu Randy merasa tidak nyaman. " Maaf, saya harus pergi." Bukan karena tak ingin berlama-lama bicara dengan Randy, motornya terparkir di bahu jalan dan sejak tadi notifikasi ponselnya terus berdering.

Kedua mata Randy memperhatikan gerak langkah Ari yang melangkah panjang hingga memastikan menaiki dan melajukan motor meninggalkan area lingkungan kantornya. Lamunannya buyar ketika Joe mengejutkan dengan suaranya yang berat.

"Cakep juga," kata Joe mengundang Randy mengerutkan dahi.

"Maksud lo?" Bukan Randy tidak mengakui ketampanan Ari yang berbeda dari pria tampan lainnya, Ari tampan tapi tidak membosankan untuk dilihat.

Joee setengah tertawa. "Dia cakep. Di mata gue dia cakep. Emangnya gue salah ngomong gitu?"

Kepala Randy menggeleng dan ia juga berdecak. "Lo udah bosen sama cewek?" Sebagai sahabat, Joe termasuk tipe pria penakluk wanita dan dia bukan gay.

Tangan Joe merangkul Randy. Mereka berjalan beriringan menuju lift. "Gue masih suka cewek dan gue masih normal." Ia mendekatkan bibir ke telinga Joe. "Enggak kayak lo." Tawanya pecah sementara langkah mereka terhenti di depan pintu lift yang tertutup.

Mata Randy menyipit menatap Joe yang tampaknya puas menertawai statusnya yang single selama beberapa tahun ini. "Gue single bukan berarti gue gay, Dude. Gue cuma lagi bernasib jelek belum ketemu sama cewek yang sesuai kriteria gue." Randy membela diri, kalimat yang sama ia ucapkan sebagai tameng dengan status kesendiriannya sekarang.

"Oke, oke." Seperti biasanya, Joe menyerah. Mereka melangkah memasuki lift bersama karyawan yang lain. Joe membisiki Randy. "Tapi cewek tadi cocok sama kriteria lo."

Randy menoleh dan dahinya berkerut lagi. "Apa?!"

❤️❤️❤️

Di kota besar semakin malam semakin ramai. Para pria lajang biasanya hangout bersama teman-teman setelah pulang dari kantor, baik untuk meneguk kopi hangat atau menghabiskan segelas minuman racikan bartender sebelum mengistirahatkan tubuh di rumah.

Namun, malam ini Randy sudah terlanjur membuat janji dengan Ari dan terpaksa menolak ajakan Joe dan temannya yang lain untuk merayakan hari ulang tahun salah satu temannya yang akan berujung dengan mabuk.

Dengan alih-alih belum sehat sepenuhnya, Randy membuat alasan. Ia berada di zona nyaman sekarang. Terbaring di sofa dengan tangan terjulur memegang remote dan menghirup aroma petrichor yang menyeruak sejak lima belas menit yang lalu dari pintu balkon yang terbuka setengah. Tak ada kata "Minum! Minum!" yang berujung tubuhnya tumbang di lantai klub karena mabuk atau dalam pelukan wanita malam. 

Randy beruntung, tapi melihat hujan turun deras malam ini ia ragu Ari mendatanginya malam ini. Pikirannya pun bercabang dan pandangannya sesekali melirik arloji.

Apa dia lagi banyak orderan? Atau dia lagi sibuk sama keluarganya? Atau dia batal datang karena kehujanan?

Itu hanya sedikit dugaan Randy melihat waktu terus berlalu sementara Ari tidak juga datang.

Di saat petir menggelegar kencang, di saat itu juga pandangan Randy beralih menuju pintu utama setelah mendengar bel apartmennya berbunyi.

Randy bergegas bangkit dan mematikan televisi. Suara petir kembali menggelegar dan kali ini suaranya lebih keras daripada tadi. Ia melangkah panjang menuju pintu lalu terkejut. "Ari?"

Kemeja kotak-kotak Ari basah begitu juga dengan celana cargo panjangnya yang berwarna hijau army. Tetesan air menetes dari rambut pendeknya, tapi ia tersenyum. "Maaf, saya kehujanan. Tadinya ragu mau datang, karena sudah janji saya harus datang." Dan ia masih sempat tersenyum.

Entah karena mengetahui ketulusan Ari atau penampilannya yang berbeda karena kehujanan dan terlihat manis, Randy terdiam. Ia memuji Ari dalam hati.

"Sorry." Randy terkesiap dan membuka lebar pintu. "Masuklah. Aku ambilin handuk dulu sebentar." Ia bergegas menuju kamar mandi, tapi baru beberapa meter berjalan ia berbalik mendekati Ari yang masih berdiri di dekat pintu. "Sebaiknya kamu mandi deh biar enggak sakit. Nanti aku siapin baju ganti buat kamu," serunya sedikit memaksa.

Ari tersenyum kecut. "Tapi, Mas. Saya …."

"Ayo buruan mandi." Randy menarik tangan Ari menuju kamar mandi. "Kalau enggak mandi nanti kayak aku kemarin. Jadi demam. Lagi pula kamu enggak perlu sungkan. Kita sama-sama cowok 'kan," ucapnya lalu terkekeh.

Mau tak mau Ari mengikuti langkah Randy lalu terhenti di depan pintu kamar mandi.

Tangan Randy membuka knop pintu  kamar mandi. "Di dalam rak ada handuk baru, sikat gigi baru juga ada di atas wastafel. Kamu pakai aja. Sekarang aku cari baju dulu buat kamu. Kayaknya ada deh yang kecil." Memastikan tubuh Ari terlalu kecil untuk ukuran cowok. Randy bergegas menuju lemari pakaian. Sementara Ari tersenyum tipis.

"Terima kasih, Mas." Ari melihat Randy tersenyum dan mengacungkan jempol lalu tangannya sibuk mencari baju.

Satu persatu Ari membuka pakaiannya. Setelah menanggalkan semua, ia berjalan menuju shower lalu berdiri di bawahnya.

Tangan Ari memutar kran air panas dan air dingin hingga mengeluarkan air hangat. Ia menengadahkan kepala saat air membasahi rambut hingga ujung kakinya. Tak lupa ia juga memberi shampoo dan menggosokkan spons yang sudah diberi sabun cair ke seluruh tubuhnya. Setelah membilas bersih ia terkejut mendengar suara pintu terbuka dan Randy berdiri dengan tangan memegang baju ganti.

Tangan Ari meraih cepat handuk lalu memunggungi Randy dan membaluti tubuhnya hingga batas dada tergesa-gesa.

Randy berdiri mematung melihat Ari. Baru sekali ini ia melihat tubuh pria terlalu mulus dan indah. Selain itu ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpikir jernih; dada Ari terlalu menonjoll tidak seperti dada cowok pada umumnya. Ia pun tersadar bahwa Ari bukan cowok. 

Ya, Randy yakin Ari bukan cowok. Tepatnya bukan cowok 'biasa'.