Siska melempar semua barang-barang di kamarnya. Dia benar-benar kesal melihat Renaldi membawa pulang wanita lain sebagai istri keduanya. Selama ini Siska sangat mencintai Renaldi yang merupakan kakak angkatnya. Dia sangat ingin menjadi istri Renaldi tapi sayangnya Renaldi hanya menganggapnya adik angkat.
"Sial ..., kenapa kakak harus membawa wanita itu lagi?"
"Apa aku tak pantas untukmu?"
Siska melempar fotonya bersama Renaldi ke lantai. Dia benar-benar kehilangan kesabarannya. Menunggu sekian tahun berharap bisa merebut hati Renaldi dari Angelica tapi kini kompetitornya bertambah satu.
"Aku lelah, aku harus membunuh mereka, dengan begitu Renaldi jadi milikku."
Siska mengambil silet miliknya lalu keluar dari kamar tapi langkahnya dihalangi seorang pembantu di rumah itu.
"Hentikan Siska!"
"Lepas Bu!"
"Kalau kau turuti nafsumu, kita akan kehilangan semuanya."
Pembantu rumah tangga itu membawa Siska masuk ke dalam kamarnya lagi. Dia mendudukkan Siska di sofa dan mengambil silet di tangannya.
"Siska, untuk mendapatkan Renaldi harus pakai otak bukan nafsu."
"Tapi Bu, aku lelah. Ibu tahu kehadiran Angelica sudah merebut kakak dariku dan sekarang Shera, lalu kapan aku jadi istri kakak?"
"Pasti cara untuk menyingkirkan mereka berdua, kalau perlu sekali menepuk dua nyamuk mati sekaligus."
Siska langsung tersenyum. Perkataan ibunya membangkitkan keyakinannya kembali. Apa yang dikatakan ibunya memberinya ide untuk menyingkirkan mereka berdua.
Pembantu rumah tangga itu adalah ibu kandung Siska Tania. Dia bernama Monika Susiana, seorang mantan pelacur yang sengaja menaruh anaknya di depan gerbang Keluarga Hermawan. Dia ingin anaknya masuk ke dalam keluarga kaya itu. Setelah satu bulan bayinya tinggal bersama Keluarga Hermawan barulah Monika masuk ke dalam rumah Keluarga Renaldi sebagai pembantu rumah tangga. Tujuannya adalah mendapatkan kekayaan Keluarga Renaldi melalui anaknya.
***
Di dalam keraguannya Renaldi kembali menguatkan tekadnya. Kembali berusaha menggerakkan tangannya untuk mengetuk tapi berat, seperti membeku. Seperti pengkhianat itulah yang dirasakannya.
"Angelica aku tidak bisa."
Renaldi menurunkan tangannya, berjalan menuju mushola, tempatnya menyendiri dan mengadukan semua masalah duniawinya pada Allah SWT. Dia membasuh tubuhnya dengan air wudhu. Membaca lantunan ayat suci Alqur'an. Hatinya mulai tenang, dia mulai bisa berpikir jernih. Tiada tempat paling indah selain tempat ibadah, tiada tempat meminta selain Allah SWT dan tiada tempat menyelesaikan masalah selain dirimu sendiri. Apapun masalahnya tergantung dirimu mau menyelesaikan, diam ditempat atau memilih pergi.
Renaldi ke luar dari mushola. Berjalan menuju kamarku. Dia sudah memantapkan hatinya untuk mengetuk pintu kamarku.
Tuk tuk tuk
Pintu kamar diketuk. Tak lama aku membuka pintu. Renaldi berdiri tepat di depanku.
Apa yang harus ku katakan?
Aku masih diam. Menatap matanya yang menatap mataku. Gugup rasanya berdiri sedekat ini di depannya walaupun dia suamiku. Kami belum mengenal secara dekat. Perkenalanpun singkat. Bahkan tak banyak yang dikatakannya padaku beberapa jam lalu.
"Tuan Renaldi ...."
"Aku akan tidur bersamamu."
Tidur bersama? bulu kudukku langsung berdiri. Jantung berdebar, tubuhku memanas. Aku tidak mungkin menolak, dia suamiku sekarang. Sudah seharusnya aku menjalankan kewajibanku sebagai istri. Tapi Mas Bagas? kenapa rasanya seperti pengkhianatan. Padahal kami sudah bercerai. Apa karena rasa cinta ini belum hilang sepenuhnya atau selama ini masih tersimpan dan tertidur di hatiku.
"Iya silahkan Tuan!"
Tuan Renaldi masuk begitu saja. Aku menutup pintu kamarku. Berjalan di belakangnya. Dia melihat ke segala arah.
"Shera apa kamarmu sudah nyaman untukmu?"
"Sudah Tuan."
"Kau suka boneka dan bunga?"
"Iya."
Aku tak berani menjawab lebih panjang. Tuan Renaldi berbalik melihat ke arahku.
Deg
Apa yang harus ku lakukan? mataku menunduk, rasanya malu saat dia menatap ke arahku. Aku ingin semua ini segera berakhir.
"Shera ada yang ingin ku bicarakan."
"Iya Tuan."
Aku dan Tuan Renaldi duduk di ranjang. Salah satu tanganku memegang rok yang ku kenakan untuk menyembunyikan rasa grogi ini.
"Shera kau tidak usah memanggilku Tuan Renaldi, aku sudah menjadi suamimu. Panggil aku Mas Renaldi."
"Iya Mas."
Renaldi mengeluarkan sebuah kartu kredit dan debit, dia memberikannya padaku.
"Ini untuk apa Mas?"
"Itu hakmu sebagai istriku, kau bisa membeli semua kebutuhanmu dengan itu."
Aku tak menyangka Tuan Renaldi akan memberiku nafkah secepat ini padahal aku saja belum memintanya. Aku jadi teringat Mas Bagas. Dulu saat kami menikah dia memberiku nafkah di malam pertama kami. Air mataku tak kuasa kembali menetes mengingat kenangan itu.
"Shera kau kenapa? apa kau tidak suka?"
"Aku suka."
"Kalau kau butuh sesuatu bilang padaku."
"Iya Mas."
Tuan Renaldi sangat sopan dan ramah, aku pikir dingin dan tertutup. Ternyata dia sangat baik.
"Shera, sebenarnya aku menikahimu karena permintaan Angelica, aku tidak mencintaimu tapi aku harus memiliki seorang anak sebagai penerus Keluarga Hermawan."
Aku sudah tahu itu. Tuan Renaldi memang terlihat sangat mencintai istrinya. Pasti tak mudah untuknya menikah lagi di saat hatinya begitu mencintai istrinya. Hanya demi penerus Angelica berbesar hati merelakan suaminya dimiliki wanita lain.
"Apa kau siap seandainya malam ini kita melakukannya?"
Deg
Jantungku berdebar saat pertanyaan itu diucapkan Tuan Renaldi. Haruskah aku menolak? Tidak, aku istrinya. Sangat berdosa jika aku menolaknya. Kita sama-sama sudah tahu untuk apa pernikahan ini disepakati.
"I_iya Mas."
Mas Bagas.
Kata itu yang ada dipikiranku. Benarkah semuanya tak akan berakhir tak bersisa. Apa ini awal untuk hidup baruku. Apa malam ini aku akan benar-benar melupakanmu?
Tuan Renaldi mendekatiku. Dia memegang kedua pipiku dengan tangannya, mencium keningku dan membaca basmalah. Bibirnya perlahan turun mendekati bibirku. Ketika dia hendak menciumku, dia berhenti. Dia terdiam.
Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Kami berdua sama-sama tertekan dan belum bisa mengatasi jarak yang masih membatasi hubungan ini.
"Shera aku belum bisa."
Tuan Renaldi beranjak dari ranjang. Dia berdiri di depanku.
"Maafkan aku Shera." Tuan Renaldi berjalan ke luar. Menutup pintu kamarku kembali. Aku hanya termenung. Tadi begitu menegangkan. Sampai nafasku tersengal-sengal. Jantungku pun masih berdebar kencang.
"Mas Bagas, aku rindu Mas," keluhku. Entah di mana Mas Bagas sekarang. Aku merindukannya. Tapi rindu ini terlarang. Aku dan Mas Bagas terbentang takdir yang tak mungkin kami langgar.
Aku terdiam. Duduk di bawah. Teringat saat bersama Mas Bagas. Jakarta adalah tempat di mana cinta kami tumbuh dan diukir begitu indah.
"Tidak, aku sudah lama berusaha melupakan Mas Bagas, aku sudah bersuami itu kenyataannya," ujarku.
Tak ada air mata yang harus ku teteskan. Aku harus kuat. Ku yakin aku dan Mas Bagas akan bahagia dengan takdir yang berbeda. Meski beriringan.
Tak lama Tuan Renaldi kembali. Aku terkejut melihatnya membawa selembar kertas. Dia mengajakku duduk bersama di sofa. Aku tidak tahu kenapa Tuan Renaldi membawa sebuah kertas di atas meja. Apa isinya?