webnovel

Enam

"Kali ini kau harus ikut, Arum!"

Aku menutupi wajahku dengan bantal untuk menghindari tatapannya itu. "Nggak! Sekali nggak, ya nggak mau!"

"Bapak sungguh ingin untuk kau bisa ikut. Pameran ini nggak akan selalu aku, Arsyi atau Ibu aja yang nemenin Bapak. Tapi kau juga. Ini bukan preferensi lagi, Arum. Paling tidak kali ini kau harus nemeni Bapak," bujuknya.

"Nggak mau!" Kata yang sama keluar dari mulutku.

"Astaga… Lagian ya, di sana itu banyak orang-orang hebat. Nggak cuma pertunjukan drama aja, Di sana juga ada pantomime, musikalisasi puisi, grup musik, lukisan, kau bisa menikmati semuanya. Seniman itu bukan orang receh seperti anggapanmu, mereka orang-orang hebat. Berpendidikan? Bahkan mereka jauh berpendidikan dari orang yang berpendidikan… Kau tahu maksudnya apa? Seniman itu bukan berarti orang yang gagal dalam sekolah. Tapi seniman di sana itu kebanyakan tahu apa gunanya sekolah buat hidup mereka. Lagi pula nggak jarang ada seniman yang lulusan S1, S2…"

"Masuk akal alasanmu dengan tujuanmu sekarang. Untuk menarik perhatianku supaya aku ikut ke sana. Aku kesal denganmu, Arsyad…" Dengusku kesal.

Terdengar Arsyad menghela napas. "Kesal kenapa lagi?"

"Ngapain juga tadi bilang kalau kita adap apa-apa… Ini bukan soal niat baikmu untuk mengungkapkan hubungan darah kita, ya… Tapi kata-katamu itu ambigu! Apalagi setelahnya kau bilang, tinggal berdua… Apaan itu?"

"Em… Soal itu," katanya dengan nada ringan yang membuatku semakin kesal karena dia seolah menggampangkan. "Ya emang di mana salahnya? Kalau mereka mengira yang bukan-bukan, ya salah mereka sendiri mengira sampai sejauh itu."

"Dasar laki-laki…"

Arsyad terkekeh… "Tapi, Rum… Kali ini benar. Bapak benar-benar pengin kau ikut ke sana. Paling nggak, kamu punya perhatian sedikit pada karirnya. Kau bisa terlihat bahagia saat kau melihat langsung gimana Bapak kerja keras, bagaimana karyanya. Ini bukan lagi soal preferensi, ini soal apresiasi. Toh, apa kau juga nggak kangen sama Bapak? Udah berapa lama nggak ketemu."

"Kangen, sih. Tapi kalau harus memakan beberapa hari untuk ke Yogya demi sebuah pertunjukan yang nggak lebih penting dari tugas-tugasku di sekolah dan impianku ke UI, ya buat apa…"

Entah kenapa, aku tidak pernah punya gairah ketika ada ajakan yang sama. Sebelum-sebelumnya pun begitu, disuruh ikut ke pentas A, aku tetap tidak mau datang. Tak peduli skala pentas itu sebesar apa, aku tetap tidak punya gairah. Biasanya aku memiliki alasan rasional saat hendak menolak ajakan-ajakan itu. Misalnya dengan aku bilang kalau ada tugas sekolah, atau ada kajian apa di sekolah. Tapi menurutku, untuk ajakan Arsyad kali ini sedikit susah untuk mencari alasan karena tepat tidak ada kegiatan apapun yang ingin aku lakukan lusa.

"Asik, lho ke Yogya itu, Sekalian liburan ke Parang Tritis, Candi Borobudur…" Mulai keluar jiwa marketingnya dia yang muncul sejak dia menjabat sebagai ketua OSIS.

"Kayak study tour SMP aja. Udah pernah ke sana… Lagian, kalau cuma tiga hari ya buat apa." Aku mencoba mengikuti alur bicaranya Arsyad sambil terus keukeuh menyergahnya.

"Ya, kau bisa izin ke sekolah. Lagian ya, Yogya sekarang itu, hem… Lebih cantik, lebih kelihatan romantis."

"Dih, gimana bisa suatu kota dilabeli kata 'romantis'. Itu ukuran orang lain kali, yang mungkin pernah ketemu jodohnya di sana. Toh, aku nggak punya ukuran itu…"

"Dih, ya bisa aja nanti kau ketemu dengan laki-laki ganteng di sana. Lagian ya, laki-laki Yogya itu ramah-ramah, kalem-kalem… Beuh…"

"Keknya nggak begitu pantes ketika kau yang ngomong gitu, Syad."

"Ya, pokoknya kau besok harus ikut. Jangan begadang, karena besok kita harus berangkat pagi-pagi banget…"

Belum sempat menyergahnya, Arsyad sudah terlebih dahulu meninggalkan kamarku. Sial, ada saja ulahnya buat bikin aku punya pikiran.

***

Aku terkejut ketika bertubi-tubi pesan datang dari Gea yang berisi pertanyaan mengenai kejadian kemarin itu. Tak henti-hentinya dia meminta klarifikasiku soal apa yang sudah dikatakan Arsyad kemarin. Apalagi tepat usai Arsyad muncul dan mengatakan ungkapan yang menjadi sumber masalah, Gea langsung menarikku—tepatnya seperti menyeret. Benar-benar seperti seorang yang diserang kepanikan. Dan sialnya, aku tidak sempat menjelaskan apa-apa, karena saking bodohnya aku untuk membuat elakan saat itu. Dan sergapan kebodohan itu masih merayap dalam benakku sampai sekarang. Benar-benar membuatku tidak tenang sebelum aku menemukan alibi yang tepat untuk aku katakan pada Gea.

Aku dan Arsyad masih transit di stasiun. Pikiranku penuh dengan asumsi macam-macam. Aku sangat tidak nyaman dengan salah satunya, pasti nanti sangat ramai. Kata Arsyad di sana juga ada grup musik, aduh tambah makin ramai. Juga kalau ada aktor dan aktris, pasti akan ada penggemar di seputar lingkungan tempat pamerannya. "Balik aja, yuk," gerutuku pada Arsyad.

Melihat tas yang aku bawa, kini baru aku menyadari kalau seorang Arum Chandara Prima akan menghadiri pameran drama Bapaknya.

Bagaimana aku nggak risau, ini perdana. Mungkin waktu kecil aku pernah dibawa, tapi sama sekali aku nggak memiliki momen yang aku inget. Kata Ibu, sih memang pernah. Pasti itu. Saat Ibu masih mengandungku, dia pasti membawaku ke mana-mana, salah satunya ya, ke pentas drama, lihat Bapak syuting, dan lain-lain.

Arsyi yang duduk di sebelah Arsyad pun mulai terdengar tarikan napasnya. Sepertinya menandakan kalau dia mulai kesal karena dengar ucapanku barusan. "Udah jauh-jauh dari Malang terus udah sampai Solo, mau balik lagi?"

"Kau kenapa? Toh, nggak ada yang mau merepotkanmu," kataku.

Ya, seperti ini cara bicaraku dengan Arsyi. Bisa ditebak juga kalau kami memang tak pernah saling sapa. Ya, karena pasti aneh, bukan? Sapaan nggak pernah menghasilkan dua makhluk yang saling ribut satu sama lain. Aku tak pernah mengerti sejauh ini kenapa dia seperti itu. Padahal kami sama-sama perempuan yang lazimnya gampang buat saling mengerti satu sama lain. Tapi tak berlaku pada kami. Mungkin karena ada hierarki yang perlahan dibangun oleh Arsyi dalam kehidupannya menyebabkan dia menjadi sosok angkuh seperti itu.

"Udah, deh, ya. Kali ini aku bukan lagi belain Arsyi… Tapi, Rum… Kita udah sampai sini, toh kita juga sudah izin ke pihak sekolah untuk beberapa hari nggak masuk sekolah. Kita sudah telanjur untuk ke Yogya dan datang ke acara Bapak. Mungkin kalau mau kau bisa jalan-jalan dulu di Solo."

"Nggak perlu, deh," kataku dengan nada kesal.

Sedang kami ribut satu sama lain, Ibu tampak sibuk membaca majalah. Ibu duduk di kursi di belakang kami, oleh karena itu Ibu juga terbatas mengawasi jika kami ribut seperti ini. Kami memutuskan untuk naik kereta sebab akses perjalanan dari Malang ke Yogya tak terlampau jauh. Di sisi lain memang sopir di rumah sedang cuti dan Ibu juga lebih memilih naik kereta, ya kami ikut saja. Meskipun sempat ada perdebatan sebelumnya.

Saat kereta berhenti di stasiun—biasanya selama sepuluh menit—Arsyad menepi dari tempat duduknya dan lantas menghampiri Ibu. Hal itu membuatku semakin kesal padanya. Bisa-bisanya ninggalin aku sama Arsyi dengan kondisi yang lagi runyam.