Setelah aku keluar dari kamar mandi dan menuju ke tempat kedatangan, perasaanku masih saja berdebar. Aku masih kaget dengan kejadian tadi. Bagaimana mungkin, hanya karena satu acara saja, ada orang asing yang langsung mengenaliku. Bahkan di saat aku tidak memakai kaca mata sekalipun.
Aku merasakan ponselku bergetar. Aku melihat pesan masuk dari Arsyad yang menjelaskan posisinya saat ini. Dengan pandangan mata fokus ke ponsel, aku berjalan sesuai instruksi yang diberikan Arsyad. Tapi tiba-tiba tubuhku menabrak seseorang, dan perlahan aku melangkah mundur.
"Waah, keberuntungan hari ini. Bisa ketemu seorang Arum di sini!" katanya. Aku mengangkat kepala dan melihat seorang lelaki memakai kaus putih dibalut kemeja yang dibiarkan tidak dikancing. Bisa-bisanya aku ketemu dia sendirian di sini.
"Eh, Kevin!' Aku berlagak terkejut. "Kok di sini?"
"Mau ke toilet bentar. Yang lain pada ke mana?" katanya sambil celingak-celinguk seolah mengira ada yang lain di belakangku.
"Pada nungguin di sana. Tapi tahu-tahu kamu di sini," jawabku sambil menunjuk tempat kedatangan.
"Oalah... Ya udah, toh aku telanjur ke sini. Kau duluan aja sana. Nanti aku nyusul. Atau mau ikut aku ke kamar mandi?" katanya jahil.
Aku hanya membalasnya dengan tatapan mata tajam.
"Tenang. Aku cuma bercanda. Bilang ke mereka kalau aku masih di kamar mandi." Setelah itu dia berpaling dan berjalan menuju kamar mandi.
Menyebalkan dasar si Kevin ini. Bisa-bisanya terlihat santai gitu sementara orang lain sedang menunggunya. Dikira orang penting saja.
Aku melihat Arsyi dan Dara tengah sibuk mencelingak-celingukkan kepala mereka. Mereka sepertinya tengah berbagi tugas untuk memelototi setiap orang yang keluar dari kedatangan untuk memastikan itu Kevin atau bukan. Seketika aku ingin tertawa. Kevin sudah keluar sedari tadi. Dan aku yang termasuk satu-satunya orang yang tidak sedang benar-benar menunggunya atau ingin bertemu dengannya, justru aku yang pertama kali mengetahuinya. Sementara mereka berdua yang terlihat berharap bisa bertemu segera dengan Kevin, justru masih celingak-celinguk seperti orang bodoh.
"Kevin masih di kamar mandi," kataku pada Arsyad. Sudah jelas kalau aku lebih memilih untuk memberitahu Arsyad daripada memberitahu para gadis centil dan norak itu. Aku menghindari wajah sumringah mereka setelah penantian sekitar hampir satu jam.
"Tahu dari mana?" tanya Arsyad.
"Barusan ketemu waktu aku habis dari kamar mandi. Kasih tahu mereka berdua. Udah melas gitu wajahnya nungguin dari tadi."
"Biasa aja dong, wajahnya," kata Arsyad sambil mengacak rambutku. Memang wajahku terlihat agak malas ketika mengatakan kalmat terakhir. Setelah itu Arsyad beranjak dan menghampiri Arsyi. Seketika para nenek sihir itu sontak mencak-mencak setibanya Arsyad dengan informasinya.
Tidak lama setelah itu Kevin akhirnya datang. la meminta maaf pada Arsyi dan Dara karena tidak menyadari bahwa mereka menunggunya di pintu kedatangan.
"Nggak apa-apa, Kevin." Dengan cepat Arsyi menyergah. Suaranya dibuat sok lembut, wajahnya pun begitu. Aku berusaha untuk tidak memperhatikannya dan memilih melihat kerumunan orang lain yang lalu lalang. Hal itu untuk menghindari emosi yang berlebihan dan rasa jengkel yang tak keruan.
"Terus di mana mobilnya?" tanya Kevin. Dia dengan santai mengabaikan Arsyi yang berusaha sok manis di depannya.
"Ayo, ikut aku," seru Arsyad sambil berjalan menuju area parkir. Aku mengikutinya.
Tiba-tiba aku merasa sebelah tangan melingkar di pundakku dengan cekatan.
"Boleh tidak kalau aku bilang kangen sama kau?"
Aku menatapnya tanpa ekspresi. Tidak menyangka kata-kata itu bakal keluar dari mulut Kevin.
"Beneran aku! Jangan datar gitu mukanya. Emangnya kau nggak kangen sama aku?" Ternyata suara Kevin nggak jauh beda dengan suara Arsyi yang seolah dimanis-maniskan.
Hampir saja aku berhasil membantahnya, tapi Arsyi kembali lebih cepat dalam urusan sergah-menyergah. Dia menampik lengan Kevin dan secara mandiri menggamitnya seolah tidak mau melepasnya. Kemudian partnernya—Dara—berdiri di antara aku dan Kevin. Seperti ingin menunjukkan bahwa dia tidak rela jika kakaknya dekat denganku.
"Nggak usah sok dekat," bisiknya padaku.
"Kakakmu sendiri yang mulai, dasar bocah!" ketusku.
Aku melirik sekilas kalau Kevin masih memperhatikanku seolah dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku memilih untuk mengabaikan tatapannya itu dan berjalan menyejajari Arsyad. Kalau mau menyalahkan, salahkan dua gadis di dekatmu itu.
Apabila dia memang butuh, toh pasti dia akan bicara sendiri padaku nanti.
Aku hanya ingin memberitahu padamu. Bahwa di sini aku adalah pihak yang selalu dilemahkan. Kau sendiri sudah tahu itu. Tapi, camkan ini baik-baik, bahwa di sini aku masih berusaha untuk tidak terlihat lemah, dan aku menolak kalau aku termasuk pihak yang pantas dilemahkan. Oleh karena itu aku masih melawan. Aku masih sanggup dan berani menggertak. Dilemahkan dalam arti karena aku tidak punya bakat, atau penampilan yang sederhana, tidak apa-apa. Itu penafsiran mereka untuk menganggapku lemah. Tapi sekali lagi, di sini aku tidak tunduk pada siapapun. Aku masih berani dan sampai kapanpun selalu berani untuk menolak posisi superior orang lain terhadap diriku. Termasuk dalam hal ini adalah sikap dan sifat superior Arsyi terhadap diriku.
***
"Arum!" pekik Darsam.
Aku menoleh dan melihatnya tengah berjalan mendekatiku dari arah pintu perpustakaan. Di bahunya sudah tersampir tas ranselnya dan kedua tangannya menentang tasku. Memang bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tapi aku menunda untuk mengambil tasku karena tugas sebentar lagi selesai.
"Lah, Sam! Ngapain bawa tasku segala?" tanyaku.
"Bilang makasih, kek."
"Ya, makasih."
"Nah gitu."
"Kan aku bisa bawa sendiri."
"Tahu, kok."
"Terus?"
"Ya, nggak apa-apa."
"Toh aku udah bilang kalau aku pulang belakangan."
Darsam menarik kursi dari meja sebelah dan duduk di sebelahku. "Aku cuma penasaran. Apa yang kau lakuin di sini sampe betah gitu."
"Kelihatan banget."
"Apa?"
"Bohongmu."
"Sialan," kata Darsam sambil memelototiku.
"Aku udah bilang aku mau ngerjain tugas."
"Halah..."
"Beneran, hem. Udah ya, aku udah bilang makasih. Sekarang sana, gih. Ganggu orang sibuk aja."
"Sabar-sabar..."
"Yang ada itu aku yang musti sabar punya temen sebangku kayak kau. Ngapain aja tadi waktu kelas terakhir?"
Sekadar informasi, tadi saat kelas terakhir, itu jam kosong. Bebas, yang mau main basket bebas, yang mau main petak umpet di kelas, bebas. Bahkan yang mau pacaran di kelas pun, bebas. Dan asal kau tahu, pembiaran kelas seperti ini adalah sesuatu yang langka di sekolahku. Tapi biasanya, kalau guru yang sebenarnya mengisi kelas adalah guru mata pelajaran, maksudku pelajaran-pelajaran inti seperti sejarah, geografi, ekonomi—kalau IPS—pasti akan diganti dengan tugas. Tapi beruntungnya kali ini, guru yang tidak masuk adalah native speaker. Jadinya tidak ada tugas apa pun dari guru piket.
"Rasan-rasan," kata Darsam.
Istilah rasan-rasan itu sejenis dengan ungkapan sedang membicarakan sesuatu. Entah itu manusia, binatang, dan lain-lain. Bahasa gaulnya itu bergosip, lah.
Aku hanya manggut-manggut. Setelah kata terakhir yang bisa aku tulis di lembar tugas, aku dengan segera membereskan seluruh alat tulisku yang berantakan di meja. Karena Arsyad sudah pulang lebih dulu, aku takut kalau Kevin bisa nekad ke sini dan menjemputku. Aku tidak tahu pasti, ya. Aku hanya mengira-ngira. Aku tidak berharap hal itu terjadi. Aku harus segera pulang.