webnovel

Revenges of Doctor Moon

Ketika rasa ingin tahu justru mendorongku jauh ke dasar permainan kotor dunia, mengetahui jika kemampuanku mampu menyelamatkan setiap jiwa. Pilihan yang kuambil mengorbankan identitasku di permukaan. Aku Hilal, seorang dokter yang mengetahui rencana pengurangan populasi dunia, mencoba menentang meski harus melepas gelar dan membahayakan nyawa.

AldrichCandra · sci-fi
Zu wenig Bewertungen
2 Chs

Kematian

Brakkk!!!

Suara jatuh yang cukup kencang terdengar tepat di belakang tubuhku. Bukan suara benda keras, melainkan benturan benda seperti tubuh manusia membentur aspal.

Ya. Aspal yang kini kubelakangi. Aku lekas berbalik, turut memperhatikan pusat perhatian banyak orang yang menghentikan kegiatan mereka beberapa meter dari tempatku berdiri menunggu lampu merah khusus pejalan kaki yang berubah hijau.

Klakson mobil bersahut-sahutan ketika kerumunan manusia spontan memenuhi jalan dengan kamera ponsel, tidak peduli dengan penghalang, yang penting mereka bisa lewat, terdengar dari keluhan, umpatan, hingga sumpah serapah yang dilontarkan. Kejadian yang terjadi saat jam sibuk di pagi hari memang kerap merusak jadwal seharian. Termasuk untukku.

Aku melangkah lebih dekat. Semakin dekat, semakin jelas siapa yang kulihat. Pria muda telentang dengan darah mengalir dari belakang kepala memenuhi trotoar yang menerima tubuh utuhnya.

Aku yang sedang menikmati roti berisi potongan daging sapi dengan saus kemerahan sembari melangkah cepat menuju halte bis sebelumnya menjadi tidak berselera dan menjatuhkan begitu saja makanan yang baru sekali kugigit. Kenikmatan yang terbayangkan sebelumnya berganti amis dalam rongga mulut.

Aroma campuran besi dan garam yang seolah menyeruak kuabaikan saat memaksa menembus kerumunan, memeriksa jasad yang kuharap masih bernyawa.

Beberapa petugas keamanan dari gedung setempat yang datang terlihat berusaha mengamankan keadaan di sekitar. Bahkan aku pun dilarang mendekat jika saja tidak menunjukkan tanda pengenal sebagai dokter salah satu rumah sakit terkemuka.

Tanganku segera mengambil stetoskop dan senter dari dalam tas yang dibawa. Senter yang kugunakan untuk memeriksa pembesaran pupil, dan stetoskop untuk memastikan masih adanya suara denyut dari organ jantungnya berpindah pada genggaman sampai mencapai pria yang mungkin saja melakukan aksi bunuh diri.

Siapa tahu?

Aku menekan dada korban beberapa kali, melakukan resusitasi jantung paru-paru atau lebih dikenal dengan CPR sebagai pertolongan pertama sebelum ambulans datang. Tampaknya ia adalah seorang pria bersahaja di usia sekitar 30-an ditilik dari penampilannya yang terlihat mahal untuk pakaian formal.

Satu kali, dua kali, tidak berhasil mengembalikan napasnya yang tercekat di tenggorokan. "Ya Tuhan!" Aku hampir berteriak putus asa saat mengulangi CPR yang ketiga kali setelah memastikan denyut jantungnya menggunakan stetoskop.

"1 ... 2 ... 3 ...." Aku menghitung dengan suara lelah, napas yang mulai putus-putus hingga akhirnya kudengar embusan dan tarikan napas bergantian. Kuperiksa lagi denyut jantungnya yang mulai membaik bersamaan dengan datang ambulans yang akan mengangkutnya.

***

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju unit perawatan intensif ketika akan mengemasi perlengkapan setelah selesai bertugas. Tidak ada hal yang genting, namun para perawat memanggilku ketika pasien yang terindikasi bunuh diri kemarin tidak ingin menerima tindakan apapun jika aku tidak datang.

"Kenapa tidak menggunakan obat penenang saja?" tanyaku pada perawat namun tiada jawaban.

Sebaiknya dokter yang bertugas untuk perawatan setelah tindakan mempertimbangkan pemberian obat penenang, meski pasien tidak mampu berpindah dari tempat tidur.

Beberapa saraf gerak selain tangan kanannya memang tidak berfungsi karena tekanan yang diterima tulang punggungnya saat menjatuhkan diri dari lantai empat, namun itu sudah mampu mengacaukan penanganan.

Aku menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan kasar, menatap ragu pada pegangan pintu masuk yang harus kubuka. Sedikit celah yang terlihat, menunjukkan tatapan mengerikan dari seseorang yang seakan menghadapi malaikat maut.

"Ah, mungkin perasaanku saja," sanggah batinku. Perasaan gugup sempat menghampiri karena ada sesuatu yang janggal dari keadaan pasien. Ia masih mampu berkomunikasi dengan cedera berat seperti yang kujelaskan sebelumnya.

Seketika seluruh orang yang masih berada dalam ruangan turut keluar saat aku telah berdiri tepat di hadapannya. Raut wajahnya tampak meremehkan, mungkin karena usiaku yang tergolong muda untuk menjadi seorang dokter spesialis bedah.

"Siapa namamu?" tanya pria itu ketika mulai mengangkat tubuhnya untuk duduk tegak. Aku jelas terkejut. Hal yang mustahil untuk seseorang yang memiliki cedera berat mampu terbangun.

"Hilal, Pak," jawabku singkat. Aku mulai merasakan ada yang tidak beres di ruangan ini. Seketika di depanku terlihat pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri, terbaring dengan beberapa alat penopang hidup.

"Apa aku berhalusinasi?" tanyaku pada diri sendiri karena ini semua terasa tidak logis.

"Tapi, perawat tadi mengatakan pasien memanggil saya. Lalu, ini tidak sadarkan diri."

Aku tidak berhenti dengan rasa penasaran terutama karena tadi jelas pasien sadar dan bertanya.

Aku mendekat, dan mendapati tangan kanan pasien menangkap lenganku. Dia sadar, atau hanya bayangan sadar. Sulit membedakan seperti kilasan yang terus berubah.

"Kamu bisa mendengarku."

Aku bergidik ngeri mendengar ucapan itu. Seperti dalam banyak film horor mengenai roh yang terombang-ambing saat tubuh tidak sadarkan diri.

Langkahku mundur beberapa langkah dan menabrak tubuh tegap di belakangku. Tubuh yang sama dengan yang terbaring di atas ranjang. Aku berbalik hendak berlari, namun reflek tubuhku seakan berhenti di tempat. Tidak mampu bergerak ataupun berteriak.

"Tolong aku! Lepaskan sesuatu yang berada di sini ...," ucapnya seraya menunjuk ke arah belakang kepala bagian kiri. Letaknya tepat pada titik batang otak. "... alat yang tidak dapat terdeteksi meski di-rontgen sekalipun."

Batang otak. Rontgen. Bagaimana dengan MRI?

"Coba saja. Akan kuceritakan banyak hal padamu," janjinya sebelum meniup tengkuk belakangku hingga membuatku tersadar jika mengalami pembicaraan pada dimensi lain kesadaran. Pasien itu masih tertidur. Tidak ada masalah selain detak jantung dan pola pernapasan yang mengkhawatirkan.

Waktu bertugasku telah selesai, namun rasa penasaran menggelayut dalam benakku untuk memecahkan pesan dari pasien yang entah nyata atau tidak.

Aku meminta data latar belakang pasien pada petugas administrasi yang sedang bertugas. Tidak memiliki kerabat dekat. Bahkan dia berada di rumah sakit pun melalui pembiayaan perusahaan. Tidak jelas apa posisinya, namun memiliki penghasilan sangat besar.

"Tapi, Dokter. Bukannya tindakan yang dilakukan ini termasuk malapraktik?" tanya seorang perawat yang selalu mendampingiku di rumah sakit ini.

"Aku hanya penasaran."

"Penasaran bukan berarti Anda harus bertindak sendirian. Apa bayangan-bayangan itu kembali muncul?" tanya perawat itu lagi. Ardha namanya. Seorang perawat yang kebetulan diposisikan di bagian bedah semenjak aku bertugas di rumah sakit ini. Seorang yang mengetahui kemampuanku berkomunikasi dengan makhluk astral.

"Bukan satu dua kali aku benar."

"Tapi, tindakan anda beresiko." Ardha terus saja mendebatku dengan bahasa formalnya.

"Lakukan rontgen dan MRI, aku akan menentukan apa yang dapat kulakukan terhadap pesan darinya." Aku tetap keukeuh dengan rasa penasaranku.

Ardha-pun menyerah dan menjadwalkan sesegera mungkin tindakan sebelum penentuan operasi.

Mungkin, aku tidak peduli dengan profesi ataupun sumpah profesi yang kulakukan. Aku berusaha sebisa mungkin melakukan yang kurasa benar, meski suatu saat mungkin resiko terlempar dari konklusi masyarakat begitu besar.

***