webnovel

Revenges of Doctor Moon

Ketika rasa ingin tahu justru mendorongku jauh ke dasar permainan kotor dunia, mengetahui jika kemampuanku mampu menyelamatkan setiap jiwa. Pilihan yang kuambil mengorbankan identitasku di permukaan. Aku Hilal, seorang dokter yang mengetahui rencana pengurangan populasi dunia, mencoba menentang meski harus melepas gelar dan membahayakan nyawa.

AldrichCandra · Sci-fi
Not enough ratings
2 Chs

Nano-chip

Pasien bernama Gibran itu benar. Rontgen tidak memperlihatkan adanya benda asing. Namun, rekam MRI menunjukkan adanya ketidakberesan pada kerja batang otak yang menyebabkan disfungsi kinerja organ dalam.

Operasi yang dilakukan dalam kurun waktu enam jam itu tinggal menunggu hasil.

Bisa saja aku dilaporkan karena melakukan malapraktik. Namun, aku yakin tidak melakukan kesalahan kali ini. Bahkan, aku berhati-hati sekali mengerjakan pembedahan.

Setelah 24 jam pasca operasi, pasien belum menunjukkan kesadaran. Aku mulai was-was, bahkan belum berani pulang jika ini tidak berhasil.

Di ruanganku, aku menilik sebuah benda kecil yang kutemukan melekat pada batang otak. Sebuah nano-chip seukuran ujung kelingking bayi dengan beberapa plat sangat kecil hampir tidak terlihat mata jika tidak menggunakan mikroskop. Benda yang ingin kutanyakan fungsinya.

"Dokter! Pasien sudah sadar!" seru Ardha saat memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu.

Mungkin aku akan sangat tersinggung dengan hal tidak sopan yang dia lakukan jika tidak karena informasi yang dikatakan. "Pak Gibran mampu berbicara lancar dan ingin bertemu dengan Anda." Ardha memelankan suara, menyadari rasa tidak suka dari raut wajah yang kutunjukkan.

Aku mengantongi nano-chip yang telah kugenggam untuk disembunyikan dari siapapun—termasuk Ardha—ketika meninggalkan ruang kerja. Kulanjutkan menemui orang yang sama, di ruangan berbeda, suasana yang sama, dan keadaan pasien yang berbeda. Beberapa orang dari dalam ruangan segera keluar begitu menerima perintah dari Gibran. Suaranya terdengar jelas meski parau.

Setelah memastikan tidak ada seorang pun di dalam ruangan, ia mengisyaratkan untukku mendekat menggunakan ayunan tangannya. Aku pun mengambil kursi untuk duduk di sebelah kanan ranjang.

"Aku beri tahu hal yang sangat rahasia kepadamu."

Aku menyimak setiap kata yang ia ucapkan, mendengarkan dengan seksama tanpa menyela.

"Aku mendengar para pemimpin dunia berbicara melalui telekonferensi. Hal yang membuat aku seharusnya terbunuh dari atas gedung beberapa hari yang lalu." Ia menatap pintu yang terlihat tidak rapat dan terdengar suara jejak melintas. Aku mengerti dan menutup pintu, lalu kembali duduk mendengarkan.

"Chip sangat kecil ditanam pada setiap anak yang lahir semenjak tahun 2000 tepat di bagian krusial untuk memastikan tirani berjalan sesuai rencana. Mereka dapat melakukan pembunuhan pada siapa saja yang memberontak atau merugikan tirani."

Aku tetap mendengarkan, sesekali menatap arloji di pergelangan tangan kiri yang terus berdetak.

Dia bercerita sembari menatap dinding kosong di depannya seakan terdapat layar menampakkan bayangan film. Dia menceritakan mengenai nano-chip yang dirancang untuk mempersiapkan bunuh diri dan mampu melacak keberadaan siapa saja.

Aku mencocokkan beberapa kejadian yang semakin sering terjadi. Para pengkritik, artis, tokoh masyarakat, yang menentang pemerintahan melakukan aksi bunuh diri tanpa alasan logis yang diberikan media.

"Tahun 2062. Berarti sudah cukup lama kita berada pada dunia yang terlihat damai namun dikendalikan, ya?" Aku bertanya tanpa ekspresi. Namun, senyuman yang kulempar cukup menerangkan jika aku tidak ingin terlibat.

"Karena waktu bertugasku telah habis, sebaiknya kita lanjutkan besok. Terima kasih informasinya." Aku membungkukkan tubuh sebelum pamit, menunjukkan rasa hormat.

Rasa penasaranku cukup beralasan untuk menyelamatkan seseorang dan mendapatkan fakta. Nano-chip yang mampu mengendalikan kematian seseorang. Insiden bunuh diri. Jantung yang mendadak berhenti dengan berbagai alasan yang dikemukakan media.

Lalu, nano-chip yang kugenggam dalam saku jas putihku menunjukkan keberadaan seorang Gibran. Perpindahan yang seharusnya telah mati.

Otakku mendadak berat dengan segala pemikiran, merasa ada yang mengikuti dari berbagai arah.

Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruanganku. Seketika aku menarik-embus napas dengan cepat semenjak pintu ruangan mampu ditutup. Kuraih tas yang tidak begitu berat sebelum keluar ruangan, memastikan ponselku berada di tempatnya untuk berjaga.

Kuraih gagang pintu, memastikan tidak ada siapa pun mengawasi ketika pergantian jadwal jaga di malam hari. Aku melangkah cepat, memperhatikan setiap kamera pengawas yang terasa mengarah padaku.

"Ah, nano-chip itu masih berada di saku." Ingin kubuang, namun masih ada yang membuatku penasaran.

Beberapa langkah, ritmenya sama, mengikuti di belakangku. Semakin aku mempercepat langkah, semakin dekat pula suara jejak mereka. Aku bahkan bersembunyi di belakang salah satu pintu menuju tangga darurat.

Mereka berlalu begitu saja saat tidak menemukan pencarian. Aku berbalik keluar dan terkejut.

"Maaf, Dok. Saya mencari Anda sedari tadi. Saya tidak menemukan Anda di kantor atau pun di ruangan pasien," ucap seorang perawat yang kukenal bernama Ardha.

Wajah tirusnya begitu khawatir, bukan karena aku, melainkan pasien yang baru saja kutinggalkan.

Tidak ada tubuh pasien ataupun petunjuk di ruang rawat inap yang ia tempati. Semua bersih seakan tidak ada bekas seorang Gibran di sana.

Ardha setengah berlari ke bagian administrasi untuk memastikan.

"Tidak ada data mengenai pasien bernama Gibran," ucap Ardha saat menemuiku di ruang kerja. Aku tidak tinggal diam dan mengecek segala hal yang sebelumnya kutemukan di internet maupun data rumah sakit mengenai pasien. Nihil.

"Apakah kita mengoperasi hantu? Padahal data sebelumnya mengenai pasien bernama Gibran sangat jelas sebelum kita melakukan tindakan," ucapku pada Ardha. Hanya dia yang kini percaya padaku karena kami jelas berseteru di hari sebelumnya untuk menentukan tindakan pada Gibran.

***

"Tunggu!" Aku mengeluarkan benda dari saku jas putihku, menunjukkan nano-chip yang kudapat dari otak Gibran pada Ardha.

"Apakah ini—"

Aku mengangguk sebelum Ardha melanjutkan pertanyaan. Perawat yang melangkah bersamaku di sepanjang lorong rumah sakit memperhatikan baik-baik chip seukuran ujung kelingking dengan seksama.

Chip itu sangat tidak biasa. Berbeda dengan susunan chip yang pernah ditunjukkan padaku dalam benda-benda untuk keperluan medis.

"Satu hal yang pasti, keberadaan nano-chip itu ada hubungannya dengan pemerintah." Aku menebak.

Banyak teori berputar dalam kepala setelah percakapan singkat dengan sosok roh dari seorang Gibran. Atau mungkin lebih kupercaya sebagai jin yang menyertainya semenjak melihat dunia.

Kami semakin cepat berjalan seiring bertambahnya langkah yang mengikuti dari suara-suara sepatu di belakang. Semakin dekat, membuat kami harus berlari.

Lorong rumah sakit yang begitu panjang dan bercabang membuatku harus menarik lengan Ardha untuk ikut menyelamatkan diri.

Di ujung lorong, pintu kaca bergeser saat mendeteksi keberadaan manusia beberapa senti di depannya. Namun, sayang tidak bekerja hingga aku menabraknya cukup keras.

"Dokter?" tanya Ardha begitu menyadari jika tubuhnya kulindungi dari tekanan tabrakan.

Ia langsung berdiri. Rautnya terlihat panik saat menekan rentetan tombol pada dinding di samping pintu. Satu-dua kali terdengar bunyi bip tanda gagal. Mereka semakin dekat, membawa senjata api kecil seperti yang kulihat di film pada umumnya.

Aku memaksa tubuh untuk bergerak, melawan rasa sakit yang tidak pernah kualami sebelumnya. Menarik Ardha, lagi, begitu pintu membuka.

Dor!