Reuni kurang dari dua jam.
Sejak pagi, kediaman Balqis telah dibuat sibuk. Padahal penghuni rumah hanya bertambah dua orang tapi sibuknya mengalahkan 10 penghuni. Entah seperti apa keseharian Zahra dan Nanda di rumah masing-masing, tapi di tempat tinggal Balqis yang biasanya tenang dan damai, dalam sehari berubah berisik.
Zahra dan Nanda berebut kamar mandi padahal ada lebih dari satu kamar mandi di rumah. Berebut toilet, berebut menyetrika baju, dan berebut dandan di cermin rias kamar.
Waktu menjadi banyak terbuang sia-sia hanya karena Zahra dan Nanda terus berebut dan berdebat mengenai sesuatu yang tidak penting.
Balqis yang sudah terbiasa hidup teratur dan tenang telah siap sejak Zahra dan Nanda berebut pengering rambut. Ia duduk bertopang dagu sembari memerhatikan kesibukan teman-temannya. Terkadang ia dimintai pendapat, terkadang menjadi penengah, dan lebih sering menjadi pengingat waktu.
Saat akhirnya Zahra dan Nanda telah siap, mereka menghabiskan waktu 10 menit lagi untuk berfoto. Untuk memilih foto terbaik, dan untuk mengunggahnya ke media sosial.
'Siap tempur' menjadi tag line yang serempak mereka gunakan.
Balqis mengenakan blus lengan panjang, kerah agak tinggi berwarna dusty. Ia padankan blusnya dengan rok lipit panjang abu. Rambutnya diikat sebagian, dibiarkan terurai sebagian. Heels 5 senti yang digunakan, senada dengan warna blusnya.
Zahra mengenakan kemeja kerah V lengan panjang berwarna aprikot. Kemejanya ia lapisi rompi putih, dan mengenakan celana kain hitam. Rambutnya yang pendek diikat semua. Memperlihatkan bentuk lehernya yang panjang dan kurus. Untuk alas kaki, Zahra menggunakan cats yang ia beli dua hari lalu.
Nanda mengenakan gamis pink dengan kombinasi abu-abu. Kerudung pasmina instannya berwarna pink, senada dengan gamisnya. Wedges hitam garis putih yang tidak begitu tinggi menutupi kakinya.
Sapuan mekap tipis yang melengkapi penampilan, tetap memperlihatkan kecantikan alami yang mereka miliki.
"Ayo sarapan dulu!" ajak Balqis. "Jangan lupa kartu panitia kalian," tambahnya mengingatkan.
"Betul, kartu panitia."
Untung Balqis mengingatkan. Zahra kembali mengambil kartu panitia miliknya dan milik Nanda di dalam laci.
"Nanda, punyamu!" Zahra melemparkan milik Nanda dan berlari keluar menyusul Balqis.
Lemparan Zahra yang terlalu bertenaga terlewatkan oleh tangkapan Nanda dan jatuh ke lantai.
Mereka telah mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa. Tas, juga perlengkapan lain. Agar setelah selesai sarapan mereka bisa langsung lepas landas, tanpa harus bolak-balik naik tangga lagi.
Semua panitia diharuskan berkumpul satu jam sebelum acara. Mereka akan melakukan pengarahan dan memeriksa kembali semua persiapan. Menyempurnakan beberapa kekurangan.
Sepuluh menit sebelum acara dimulai, para alumni sudah mulai berdatangan. Satu per satu memasuki ruangan. Mengisi kursi-kursi yang sudah disiapkan. Dalam sekejap saja ruangan telah penuh dan kursi-kursi kosong telah terisi.
Ada yang datang sendiri. Ada yang karena acara, kembali saling hubung-menghubungi dan membuat janji untuk datang bersama. Ada yang datang bersama pasangannya. Ada yang datang bersama pasangan dan anaknya. Ada juga yang datang hanya dengan anaknya. Kemudian, mereka semua membaur menjadi satu dalam ruangan yang sama.
Bagi yang membawa anak, panitia telah menyiapkan tempat bermain kecil untuk anak.
Acara dimulai tepat waktu. Pembawa acara membacakan rangkaian urutan kegiatan. Sambutan-sambutan yang disampaikan oleh perwakilan sekolah, ketua panitia, dan perwakilan alumni. Selanjutnya game dan hiburan.
Game membuat acara semakin semarak. Game yang dimainkan mengenai seberapa ingat kamu. Pertanyaan dan pernyataan yang diajukan seputar masa-masa SMA mereka. Tentang guru, teman, penjaga sekolah, pelajaran, ataupun makanan yang dijual di kantin. Permainan dibagi dua: secara berkelompok dan individu.
"Mana yang namanya Al? Kenapa belum kelihatan juga batang hidungnya?" Zahra memepeti Balqis ketika semua orang bersemangat untuk ikut berpartisipasi dalam permainan yang panitia susun.
Zahra telah mengajukan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya sepanjang acara berlangsung. Pertama tepat ketika acara dimulai. Kedua ketika ia selesai membacakan laporan dan sambutan dan ini yang terakhir.
Balqis hanya menggeleng. Tatapannya lurus ke arah panggung. Zahra memerhatikan Balqis dan telah memerhatikannya sepanjang pagi ini. Zahra seperti menangkap ekspresi lain yang berusaha Balqis tutupi.
Bagi Zahra, Balqis adalah misteri. Meski telah lama mengenalnya, Zahra tetap merasa tidak pernah bisa mengenal Balqis secara utuh. Balqis yang ramah, baik, tenang, pendiam. Zahra menyukai Balqis yang seperti itu. Tapi akhir-akhir ini, Balqis menjadi sangat tertutup.
"Sial! Kemana sih anak itu, padahal di grup kemarin sudah isi daftar absen," umpat Zahra. "Sudah telanjur penasaran ini," tambahnya mengomel.
Balqis tidak menanggapi. Tatapannya masih tertuju pada titik yang sama. Zahra maju selangkah. Ia membungkukkan punggungnya dan menghadapkan wajahnya pada Balqis. Ia memperhatikan lekat-lekat wajah sahabatnya. Menatap penuh selidik. Seolah tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di sana.
"Apa?" tanya Balqis.
"Apa kamu kecewa?"
Balqis nyaris tergelak. Tetap tidak menjawab. Ia menyipitkan matanya dan menyenggol Zahra yang masih menatap ke arahnya.
"Zahra!" Seseorang memanggil. Panitia lain dari koordinator acara.
Dengan sigap, Zahra merespons. Ia meninggalkan Balqis dan pergi ke arah si pemanggil. Ada beberapa hal terkait acara yang harus didiskusikan dengannya. Begitu Zahra pergi, kini Nanda yang datang memepeti Balqis.
"Anak itu kepo sekali, sih," celetuk Nanda. "Makanya aku malas cerita ke Zahra kalau enggak darurat-darurat amat," tambahnya.
Nanda telah memerhatikan Zahra sejak tadi. Zahra selalu mencari kesempatan untuk mendekati Balqis. Untuk mengorek-ngorek informasi mengenai Al. Ia jadi menyesal karena semalam keceplosan.
"Kalau dia enggak kepo, berarti dia bukan Zahra yang kita kenal," sahut Balqis. Nanda setuju dan mereka tertawa.
Ketika permainan kelompok selesai dimainkan, waktu istirahat diberikan. Para alumni yang datang dipersilakan menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Meja hidangan ada di kanan ruangan. Dijajar model prasmanan.
Sembari menikmati hidangan, hiburan dari band dan stand up, ditampilkan bergantian. Band yang tampil pertama sedang naik ke atas panggung ketika Rasyid Aldebaran memasuki ruangan. Ia terengah-engah. Teman-teman yang melihat kedatangannya memanggil.
Balqis dan Nanda yang masih berdiri tidak jauh dari kursi-kursi yang disiapkan untuk tamu juga melihat kedatangan Al. Dari jauh, mereka seolah beradu pandangan.
"Baru datang, Bro? Telat banget," seorang teman yang sebelumnya berasal dari kelas yang sama menyapa. Mereka melakukan tos yang sangat akrab dilakukan di masa lalu.
"Iya, tadi ada masalah sedikit," Al tersenyum lega. Setidaknya ia masih bisa datang.
"Baju lu basah?" tanya yang lainnya.
"Iya sedikit." Al tidak menjelaskan alasannya. Rahang Al sempat mengeras selama sepersekian detik pertanda mengingat apa baru saja menimpanya adalah hal yang sangat mengesalkan.
Begitu band pertama selesai tampil, permainan putaran kedua dimulai. Panitia sedang memilih peserta yang mau diajak bermain. Mereka menunjuk secara acak.
"Eh itu, yang tadi datang terlambat." Zahra merebut mik dari pembawa acara dan menunjuk Al. "Tolong naik ke panggung."
Al menunjuk dirinya sendiri, tidak menyangka akan dipilih menjadi peserta yang ikut bermain. Padahal ada beberapa orang yang telah mengajukan diri. Bukannya memilih mereka, Zahra justru menunjuk Al.
Sebenarnya Al malas bermain, ia baru datang dan belum cukup lama duduk untuk mengatur nafas. Tapi teman-teman yang lain bertepuk tangan, mendukung, dan menyoraki. Membuat Al mau tidak mau naik ke panggung.
Permainan individu dimulai. Pertanyaan yang diajukan seputar siapa teman paling menyebalkan, siapa yang paling pelit kasih contekan waktu ulangan, macam-macam makanan paling murah yang dijual di kantin, sampai rumus kimia yang harus diurai, dan soal matematika yang harus dijawab.
Peraturannya, yang paling cepat menjawab dan yang jawabannya benar adalah pemenangnya. Jika ada jawaban yang berbeda, para penonton yang akan menjadi juri. Penerima suara terbanyak dari juri adalah pemenangnya. Hukumannya adalah setiap satu kali salah menjawab, akan memakan satu cabai rawit.
Di atas panggung, Zahra beberapa kali memanas-manasi peserta lain dan para juri untuk melawan Al. Zahra sangat ingin membuat Al dihukum.
Dari awal Zahra memang sudah menargetkan Al. Pria itu datang terlambat dan karenanya membuat Zahra menunggu dengan penasaran. Tidak ada alasan lain. Zahra sangat tidak suka menunggu dan tidak suka penasaran. Meski bukan Al yang minta, tetap Al yang salah. Hukum alam mengatakan wanita selalu benar.
Sayangnya semua usaha Zahra sia-sia. Keberuntungan Al terlalu banyak. Tidak sekali pun ia dihukum memakan rawit. Al bahkan keluar sebagai pemenang.
Balqis yang awalnya masih memerhatikan segala yang terjadi di atas panggung, mulai beralih. Ia pergi mengambil minum. Tiga teman yang baru selesai makan, yang pernah sekelas dengan Balqis, datang menyapa.
Sembari berdiri, Balqis dan yang lainnya membahas banyak hal. Membicarakan banyak kenangan. Hal-hal lucu yang terjadi semasa sekolah juga tidak luput diperbincangkan. Meski telah diceritakan berulang kali tetap masih mampu mengundang gelak tawa.
Aroma nostalgia terasa begitu pekat, membaur bersama semua orang yang datang. Setiap pembicaraan yang terjadi, pasti ada masa itu di dalamnya.
Semua kenakalan dan kejahilan di masa itu, kini jika diingat-ingat lagi ada rasa malu, tapi tetap mampu mengundang tawa. Mereka sama-sama tumbuh. Sama-sama telah meninggalkan masa itu. Masa remaja. Masa yang disebut putih abu-abu tapi tidak hanya ada warna putih dan abu-abu di sana.
"Kerja keras panitia sukses. Berarti positif dong tahun depan reuni akbar," ujar Aya sembari menepuk-nepuk bahu Balqis.
"Ah!" Balqis mengernyit kesakitan dan menghindari sentuhan Aya.
"Kenapa?" teman yang lain bertanya.
"Habis kejatuhan balok kayu. Tapi enggak apa-apa," jawab Balqis tersenyum.
"Benar enggak apa-apa?" Aya memastikan.
Balqis mengangguk yakin. "Oh iya, kalau tahun depan jadi reuni akbar, kalian mau gabung jadi panitia?" Balqis mengalihkan.
Seperti dikomando oleh satu aba-aba, ketiganya memaksakan tawa dan menggeleng bersamaan. Mereka antusias dengan acaranya tapi tidak dengan kerumitannya. Balqis juga tertawa. Ia sangat mengerti.
Selesai bercakap, Balqis memisahkan diri untuk mengambil makan. Sama seperti yang lain, ia juga sudah mulai kelaparan.
Balqis mengambil tempat duduk di kursi peserta kosong paling belakang. Ketika telah menelan suapan pertamanya, ia sadar meninggalkan gelasnya saat tadi berbicara dengan Aya. Balqis menghela nafas. Terlalu malas untuk kembali berdiri.
"Nih!" Zahra muncul dan memberi air minum dalam kemasan. Entah bagaimana ia bisa tahu apa yang Balqis butuhkan.
"Terima kasih," ucap Balqis dengan suara diimut-imutkan.
Seperti halnya Balqis, Zahra juga sudah mulai terlihat kelelahan. Suaranya terdengar serak.
Selama acara berlangsung, Zahra bereaksi terlalu aktif. Berteriak ke sana kemari. Berlarian, dan melompat-lompat tidak jelas. Balqis yang tahu Zahra belum makan apa pun selain sarapan, menawarkan miliknya. Zahra hanya mencomot kerupuk, ia masih terlaku sibuk.
Mata Zahra tidak pernah diam. Sejak tadi ia memerhatikan Al dan sedang mencari kesempatan. Saat dilihatnya pria itu membawa minuman dan akan kembali pada teman-temannya, Zahra, dengan gaya bak preman pasar memanggilnya bergabung.
"Kamu dari kelas IPA 3, 'kan, kok baru kelihatan?" Zahra bertingkah sok akrab padahal saat di panggung jelas berniat buruk pada Al.
"Iya, baru dipindah tugaskan." Al memilih tempat duduk yang tepat berada di depan Balqis. Mereka saling bertukar pandangan dan tersenyum.
"Aku ingat kamu," dusta Zahra. Jelas baru semalam ia mencari informasi mengenai Al. Zahra bahkan sempat terbalik menyebut nama Rasyid Aldebaran. "Kamu ingat kita, enggak?" tambahnya menunjuk Balqis dan dirinya. Basa-basi.
"Ingat," jawab Al cepat. "Ariqa Balqis, ketua kelas XII IPA 2. Kita berapa kali ketemu di ruangan guru pas lagi kumpuli tugas, 'kan?" Keduanya kembali bertukar senyum.
"Iya," Balqis menimpali. "Padahal kamu sering dihukum karena enggak bawa tugas."
"Ingat juga bagian yang itu." Al tertawa malu-malu. "Zahra, 'kan?" Al beralih pada Zahra. "Siapa yang enggak kenal jagoannya IPA 2."
Mereka tertawa. Jagoan adalah bahasa halus dari kata preman. Julukan yang memang terkenal untuk Zahra.
"Tahu aja." Zahra menepuk punggung Al terlalu bersemangat sampai-sampai gelas minuman Al yang masih penuh, menumpahi ujung sepatu Al. "Maaf, maaf," kata Zahra sembari mencomot lagi kerupuk Balqis. Tidak seperti orang yang benar-benar meminta maaf.
"Kamu enggak makan?" Balqis bertanya pada Al.
"Nanti aja. Soalnya anak-anak mau lanjut putaran kedua di luar." Al meneguk air sirupnya yang masih bersisa. "Acaranya sukses, panitianya hebat loh. Apa lagi itu, kalian sampai bikin tempat bermain anak juga." Al menunjuk area bermain yang ramai.
"Iya, dong. Siapa dulu ketua panitianya," sahut Zahra bangga. "Eh, aku mau ambil makan dulu, ya," katanya kemudian beranjak.
Begitu Zahra ikut antri di belakang beberapa orang yang juga akan mengambil makan, Nanda memepetinya.
Nanda sama sekali tidak suka dengan cara Zahra. Sejak semalam Zahra terus-menerus membahas Al. Al dan Balqis sudah berada di dunia yang berbeda. Balqis sudah menikah dan kesempatan untuk mereka berdua harusnya sudah selesai.
Kening Zahra berkerut dalam. Ia menatap Nanda seperti melihat ada yang aneh di wajah temannya itu. Ia tentu saja tahu apa yang juga Nanda tahu. Ia juga tahu Balqis tidak mungkin sampai tergoda seperti yang Nanda takutkan dalam pikiran. Ia mengenal Balqis. Mereka mengenal Balqis dan tahu bahwa teman mereka itu senantiasa menjaga nama baik keluarganya.
"Setiap orang punya kisah yang belum selesai." Zahra menjelaskan alasannya dengan gaya sok bijak. "Jadi, ini sudah saatnya mereka menyelesaikan kisah mereka dan berhenti penasaran satu sama lain."
Kali ini Nanda yang menatap Zahra seperti ada sesuatu yang aneh di wajahnya. "Kamu yakin?" Nanda masih ragu.
Zahra mengangguk yakin.
Memang sangat jarang melihat Zahra bijak. Akhirnya ia memutuskan untuk ikut percaya juga. Tidak menyangka pola pikir Zahra bisa jauh berkembang hanya dalam waktu satu malam. Nanda merasa kagum. Ia meninju lengan Zahra, membuat ayam bakar yang akan dipindahkan ke piringnya jatuh ke lantai.
Sebelum terkena jurus melotot seribu bayangan dari Zahra, Nanda buru-buru kabur.
"Kalau butuh bantuan hubungi, ya." Al beranjak dan memisahkan diri.
Nanda berjalan ke arah tempat Balqis duduk. Zahra ada di belakangnya. Setelah Al bergabung dengan teman-temannya, Zahra dan Nanda diam-diam mengintip ekspresi Balqis. Tidak ada perasaan lega atau kebahagiaan. Tidak juga senyum yang menghiasi wajahnya. Tidak ada sama sekali. Ini bukan seperti yang Zahra harapkan.
Zahra dan Nanda saling bertukar pandangan. Ekspresi Balqis terlalu rumit untuk dijelaskan, untuk bisa dipahami. Zahra dan Nanda sama-sama tidak mengerti.
"Hayo, habis obrolin apa?!" Zahra berpura-pura menggoda. Ia duduk di sebelah kanan, dan Nanda di sebelah kiri Balqis.
"Obrolan biasa. Tentang kerjaan," jawab Balqis. Sempat ada ekspresi terkejut tapi kini Balqis telah menjadi dirinya. Balqis yang tenang dan selalu tersenyum.
Zahra dan Nanda kembali bertukar pandangan.
Pasti ada sesuatu.