"Selamat, ya, semoga langgeng sampai kakek-nenek." Regina berujar tulus saat dirinya akhirnya mendapat giliran untuk bersalaman dengan pengantinnya.
"Kok sampai kakek-nenek? Kalau cerai pas sudah tua, bagaimana?" sahut Eza membuat istrinya menyikut dirinya gemas.
"Baiklah, semoga langgeng sampai di kehidupan selanjutnya, ya?" Eza tersenyum puas mendengarnya. Dipeluknya Regina yang sudah seperti saudarinya sendiri.
"Terima kasih sudah datang dan menyaksikan moment yang sangat berharga di hidupku ini, ya? Semoga kamu akan segera menyusul."
"Semoga kalian selalu dilimpahi kebahagiaan," bisik Regina masih belum melepas pelukannya pada Eza.
"Bahagia semoga juga melimpah padamu juga, hey, Gina? Kenapa nangis?" Eza cukup terkejut saat melepas pelukannya dia menemukan Regina yang sudah berlinangan air mata.
"Aku terharu," balas Regina seraya mengusap matanya dengan kedua tangan.
"You okay?" Eza berbisik, mencoba menelisik raut sahabatnya itu. Dan seperti ada yang mengganjal di hatinya saat melihat senyum yang nampak menyembunyikan sesuatu itu.
"Remember, meskipun aku sudah menikah, kamu masih bisa cerita tentang apapun padaku, pada istriku. Kami berdua selalu terbuka untukmu, Gina." Wanita itu mengangguk, menghambur memeluk mempelai wanita membuat Eza menatapnya kemudian berlaih pada Adhi. Tatapannya seolah menannyakan ada apa, dan Adhi hanya menggeleng pelan.
"Aku jadi sangat emotional, maaf." Wanita itu menyusut air matanya, tersenyum lebar dan menggenggam tangan Eza dan istrinya dengan senyum tulusnya. "Semoga kalian semakin Bahagia."
***
"So, whats for that tears?" tanya Adhi begitu mereka keluar dari barisan dan kini tengah berdiri santai dengan gelas di tangan mereka. Bukan, bukan alcohol yang jelas. Itu hanya jus jeruk.
"Aku sudah bilang bukan? Aku hanya terlalu emotional," balas Regina tanpa minat.
"Menurutmu aku bisa percaya hanya dengan jawaban itu? I'm not that stupid!"
Wanita itu menatap Adhi dengan tatapan datarnya. "Jadi kamu mau aku jawab apa?"
"Kamu menyukai Eza?"
Regina tergelak. Tuduhan sampah macam ap aitu?
"Jangan membuat lelucon."
"Apa itu terdengar lucu bagimu? Bagiku tidak, sih." Regina menoleh, menyesap minumannya sampai tandas, lalu berkacak pinggang.
"Apa menurutmu mungkin aku menyukai temanku sendiri?" tanya Regina penasaran. Adhi mengangguk setuju. "Tidak ada yang tidak mungkin antara sepasang manusia beda gender. Terlebih tidak ada ikatan darah di antara kalian, bukan?"
Senyum wanita itu terbit. "Memang, memang tidak ada ikatan darah di antara kami. Tapi, astagaa aku tidak mungkin menyukainya. Kami teman, yang sudah seperti saudara. Aku bahkan berbahagia untuknya. Aku ikut Bahagia melihaya Bahagia dengan pernikahannya."
"Lalu, untuk apa tangis itu?" tanya Adhi masih belum puas. Regina tersenyum getir, menatap pria di depannya dengan tatapan mata yang berusaha ikut bicara.
"Aku iri."
"Iri?" Adhinatha membeo mendengar ucapan Regina.
"Bagian mananya yang kamu irikan?" tanya pria itu heran.
"Kebahagiaan mereka. Mereka bisa menikah dengan orang yang merekaa inginkan. Mereka bisa hidup dengan orang yang mereka cintai. Mereka terlihat sangat Bahagia, dan aku iri."
Adhi kini mengerti. Wanita ini memang pantas iri. Dirinya pun sama, dia juga iri, karena sepasng manusia tadi bisa menikah dengan orang yang mereka inginkan, bisa mencintai sepuasnya, dan bisa terang-terangan menunjukkan perasaannya. Sedangkan dirinya tidak. Dia harus memakai topeng setiap hari, harus menjaga sikap setiap hari, dan tidak boleh mencintai orang seperti keinginannya. Bahkan pernikahan yang akan dirinya laksanakan pun bukan karena inginnya. Dia terpaksa, sama seperti yang Regina rasakan sekarang.
"Tapi pilihan menikah kita itu yang terbaik, Gina. Mungkin menikah denganku akan membuat hatimu terluka. Tapi kalau kamu menkah dengan yang lain, bisa saja hatimu jauh lebih terluka, bukan?"Regina tersenyum pahit.
"Apa jaminannya kalau aku dengan yang lain bisa jauh lebih terluka?" Wanita itu akhirnya meluncurkan tawanya. "Lucu sekali, Adhi. Kamu keliru, benar-benar keliru."
Menatap pria yang menjadi calon suaminya itu, Regina tersenyum kecil. "Kemungkinannya sama antara aku akan terluka lebih hebat atau justru Bahagia lebih banyak jika selain denganmu. Itu yang benar."
Regina meninggalkan Adhi yang berdiri terpaku di tempatnya. Mendadak dirinya haus, dan rasanya ingin sekali air dingin. Bukan hanya untuk dahaganya tapi juga untuk menyiram kepalanya agar tidak terus-menerus bicara melantur.
"Padahal yang mabuk semalam itu dia, kenapa justru aku yang masih tidak waras, sih?" gerutu Regina tidak habis pikri. Dia berjalan terus sampai tanpa sengaja menubruk seorang pramusaji yang membawa bermangkok-mangkok sup panas. Regina memekik terkejut, saat merasakan sup panas itu tumpah, merembes pada bajunya dan membuat kulit perutnya kepanasan.
"Aduh, maaf, Nona. Maaf, saya tidak sengaja." Pelayan itu sudah hampir menangis sambil meminta maaf sedangkan Regina masih belum bisa merespon dan hanya sibuk mengibahkan tangannya di perutnya yang panas.
Otaknya tumpul karena rasa panas itu. Entah apa korelasinya, Regina juga tidak mengerti. Tapi yang jelas dia hanya pasrah saat dirinya digiring pergi dari tempat itu.
***
"Mendingan?" tanya Adhi yang tengah mengopres perut Regina dengan sekantung es batu. Ya, orang yang sigap memberi Regina pertolongan adalah Adhi, yang memang lokasinya masih di dekat sana. Pria itu segera membawa Regina kembali ke penginapan, mendapatkan es batu segera dan mengompres Regina dengan sekantung es batu itu.
"Aku bisa melakukannya sendiri," ujar Regina yang berusaha meraih es batu di tanagan Ahi tapi pria itu menolak dan menjauhkan bend aitu dari jangkauan Regina.
"Aku bisa sendiri, Adhi."
"Jemarimu bahkan masih gemetaran begitu. Menurutmu aku bisa percaya?"
"Aku bisa." Regina tetap saja bersikeras. Mendecak sebal, Adhi mengulurkan tangannya yang bebas dan menyentil kening wanita itu keras.
"Bisa tidak jangan terlalu keras kepala? Kalau aku bilang aku yang akan melakukannya, ya menurut saja."
Regina mengerucutkan bibirnya kesal. Dibuangnya pandangannya dari Adi yang kembali focus pada perutnya yang memerah karena air panas tadi.
"Aku sebenarnya pria baik, Regina. Tapi memang keadaan kita yang tidak memungkinkan membuatku tidak bisa berbuat banyak untukmu, maaf." Adhi berujar pelan nyaris berbisik.
"Aku memang tidak bisa memberimu bahagia seperti pasangan seharusnya. tapi aku janji aku akan berusaha untuk melukaimu terlalu banyak." Mengambil jeda, pria itu akhirnya menatap Regina dan melakukan hal yang sama seperti yang Regina lakukan tadi. Berusaha berbicara dengan mata.
Namun baru beberapa saat dia menggeleng pelan. "Ah, tidak tidak. Kamu tidak akan terluka Regina, selama kamu tidak menyukaiku dan memendam rasa padaku, kamu akan baik-baik saja. Aku jamin itu. Jadi, jangan pernah jatuh hati padaku, ya? Karena kamu bisa terluka kalau kamu melakukan itu. Mengerti?"
Regina menatap pria itu datar. "Dasar pria brengsek." Kalimat itu terucap dengan nada pelan tapi tajam dan penuh amarah.