"Bagaimana rasanya, Tuan?"
"Lumayan. Lain kali kalau membuat kopi untukku, pastikan kau mengingat takarannya," ucap Zayden.
"Dua sendok, tidak kurang atau lebih. Saya akan mencatatnya, Tuan." Zesa tersenyum bangga karena berhasil membuat kopi yang pas untuk tuan muda arogan itu.
Ia keluar setelah laki-laki itu menerima kopinya. Zesa pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sumirah mengawasi Zesa dan mengajari gadis itu dengan telaten.
"Setiap hari, kamu hanya bisa memasak makanan ini untuk makan malam. Kalau pagi, mereka hanya makan sereal dan susu low fat," ujar Sumirah.
"Oh … pantas saja tubuhnya bagus. Ups! Bu-bukan itu maksudnya … itu …." Zesa salah tingkah karena keceplosan.
"Kau belum melihat tubuh tuan muda yang lain. Mereka semua sangat menjaga bentuk tubuh. Saat mereka berkumpul, mereka akan mengadu bentuk tubuh mereka sambil berendam di kolam renang. Kalau aku masih semuda Kau, aku juga akan tergoda, haha …."
Sumirah berkelakar dan tertawa lebar. Di usianya yang sudah tua, ia tidak memiliki keturunan. Sehingga, ia menganggap kelima pangeran keluarga Wicaksana sebagai putranya.
Suami Sumirah sudah berpulang lebih dulu saat usianya baru menginjak empat puluh tahun. Wanita itu tidak ingin menikah lagi dan lebih memilih merawat anak-anak keluarga Wicaksana. Itu sebanding dengan perlakuan mereka yang menganggap Sumirah sebagai ibu mereka.
"Bu! Aku pulang!"
Sumirah tersenyum mendengar salah satu pangerannya sudah tiba. Ia melirik jam dinding yang tergantung di atas lemari pendingin. Baru jam enam sore dan biasanya laki-laki itu pulang jam tujuh malam.
"Siapa yang memanggil, Bu?" Zesa bertanya pada wanita paruh baya itu. Suara laki-laki yang memanggil Sumirah terdengar seperti seseorang yang sangat bahagia setelah memenangkan lotere.
"Matikan kompornya! Kita sambut tuan muda Zoe," perintah Sumirah.
'Tuan muda Zoe, putra bungsu yang memiliki sifat periang dan polos. Sepertinya, dia sedang bahagia.'
"Selamat datang, Tuan muda," sapa Sumirah dan Zesa bersamaan. Mereka menunduk dengan hormat.
Zoe tertegun melihat seorang gadis berdiri di samping Sumirah. Ia menghampiri gadis itu dan memintanya mengangkat wajah. Ia merasa familiar dengan wajah Zesa.
"Kau … apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Zoe.
"Saya belum pernah bertemu dengan Anda, Tuan muda."
"Enggak. Aku yakin aku pernah melihatmu, tapi di mana ya?" Zoe mencoba mengingat-ingat. "Ah, aku ingat! Kau pernah mengirimkan kue ulang tahun untuk manajer hotel tempatku bekerja."
"Ah, itu mungkin saja. Saya memang bekerja di toko kue sebelumnya," jawab Zesa seperlunya. Ia takut membuat kesalahan dalam ucapannya.
"Aku tahu itu. Ingatanku tidak mungkin salah. Kau gadis yang sangat manis," puji Zoe dengan wajah memerah.
'Dia yang memuji, tapi dia juga yang blushing. Benar-benar menggemaskan.'
"Apa kau sedang bicara padaku?" tanya Zoe.
Zesa terkejut karena ia hanya menggumam dalam hati, tapi Zoe bisa merasakannya. Ia menggelengkan kepala dengan cepat. Usia Zoe lebih tua dua tahun dari Zesa, tapi sifatnya seperti anak SMA yang masih naif.
"Tuan muda pulang lebih cepat dari biasanya. Apa terjadi masalah?" tanya Sumirah.
Zoe berjalan lunglai mendekati Sumrah, lalu memeluknya dari belakang. Dagunya menempel di bahu wanita tua itu dengan manja. Ia menceritakan apa yang terjadi di resto hotel tempatnya bekerja.
"Gara-gara pelanggan hotel menemukan rambut di dalam minuman yang dipesannya, kepala koki terkena amukan pemilik hotel dan semua koki di resto hotel dipulangkan lebih cepat."
"Oh, begitu. Kalau begitu, jangan diambil pusing. Itu bukan rambutmu, kan, Tuan muda?"
"Bukan, Bu. Tapi, aku khawatir pada asisten koki utama. Rambut yang ditemukan adalah rambut wanita. Dan hanya ada satu wanita di sana. Aku kasihan kalau sampai dia dipecat," ucap Zoe dengan wajah sedihnya.
Sumirah mengusap rambut laki-laki itu seperti sedang membujuk anak kecil. Zesa tersenyum melihat kehangatan hubungan tuan muda dan pengasuh itu. Ia jadi teringat ibunya.
'Sedang apa mama sekarang?'
"Ah, aku sampai lupa berkenalan denganmu. Perkenalkan, aku~"
"Tuan muda Zoe, saya sudah mengingat nama Anda. Bu Sumirah sudah memberitahu saya," potong Zesa. "Saya Zesa, pelayan baru di mansion ini."
"Hum? Tumben sekali, papa mengirim gadis yang sopan seperti ini?" Zoe bergumam heran. Selama ini, Damar Wicaksana selalu mengirim pelayan yang membuat mereka berlima tidak menyukainya.
Bagaimana mereka tidak membenci pelayan yang dikirim ayah mereka, jika pekerjaan pelayan itu hanya menatap mereka berlima dengan pandangan seperti singa betina yang bermimpi dikelilingi beberapa singa jantan. Tapi, Zesa berbeda. Sejak Zoe datang, gadis itu terus menundukkan wajahnya dengan sopan. Tidak seperti pelayan yang dibuat berhenti oleh mereka berlima.
"Dia bukan dikirim oleh tuan besar," celetuk Sumirah.
"Eh? Itu lebih aneh lagi. Siapa yang menerima dia bekerja? Apa kakak pertama sudah memberi izin?" tanya Zoe penasaran.
"Zesa dipanggil oleh tuan muda Zayden," jawab Sumirah, singkat, padat, dan jelas.
"Hah?!"
"Berisik! Kamu baru pulang, bukannya mandi, malah mengganggu pekerjaan ibu," omel Zayden sambil berjalan menuruni anak tangga dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya.
"Saya permisi, Tuan muda," pamit Zesa saat laki-laki itu menapaki anak tangga terakhir.
"Ambilkan gelas kotor di kamarku. Aku lupa membawanya ke cucian," perintah Zayden.
'Ini bukan mimpi, kan? Kakak pertama mengizinkan orang lain masuk ke kamarnya? Aku ketinggalan berita berapa abad ini?'
Zoe dibuat tercengang berkali-kali oleh kakak pertamanya. Kakak yang selama ini paling anti jika ada orang lain apalagi pelayan masuk ke kamarnya, sekarang memerintahkan Zesa masuk sendirian ke kamarnya cuma untuk mengambilkan gelas kopi. Zoe menatap kakaknya dengan pandangan mencurigakan.
Plak!
"Singkirkan pikiran anehmu! Cepat mandi sana! Kau mau diguyur lagi oleh Aron?"
"Tidak! Zoe pergi sekarang," ucap laki-laki itu sambil berlari ke kamarnya.
"Ck! Kapan dia bisa bersikap menjadi pria dewasa," gerutu Zayden.
"Lalu, menjadi tidak berperasaan sepertimu," seloroh Sumirah.
"Aku menyesal menjadi dewasa. Karena sejak aku menjadi dewasa, kau hanya memanjakan Zoe," balas Zayden dengan ketus.
"Haha …." Sumirah tertawa sambil melangkah pelan dengan tubuh bungkuknya. Ia memerlukan tongkat untuk membantu menahan beban tubuhnya saat berjalan. Ia kembali ke dapur untuk membantu Zesa.
Walaupun Zayden mengatakan tanpa tersenyum, tapi wanita tua itu tahu kalau Zayden hanya sedang bercanda. Dia jarang tersenyum, bahkan saat sedang bergurau. Tapi, Sumirah paling tahu sifat laki-laki itu.
Zesa baru bertemu dengan tuan muda pertama dan tuan muda kelima. Ia penasaran dengan tiga tuan muda lainnya. Karena mereka tidak suka fotonya dipajang di luar kamar. Tidak ada satu foto pun yang bisa dilihat Zesa. Mereka sangat aneh, tapi ia juga tidak peduli. Asalkan dia bisa menyelesaikan perjanjian hutang selama satu tahun dengan damai, itu saja sudah cukup.
*BERSAMBUNG*