Sepulang sekolah kedua saudara Pradipta beserta Anna mendapati 'dia' didalam rumahnya yang sedang berbincang dengan mamah Maria.
John merasa heran dengan keberadaannya, bukannya 'dia' sudah menetap di Paris lalu untuk apa dia datang kemari pikirnya.
Sedangkan gadis mungil itu sendiri hanya diam tak mengerti melihat tatapan mereka yang berbeda beda.
"Kalian sudah pulang rupanya, " Ujar mamah Maria sambil tersenyum tipis, begitu juga dengan 'dia'.
Bukannya menjawab, pria berkulit putih pucat itu menerjang untuk memeluknya sedangkan John hanya terkekeh gemas melihat kakaknya yang begitu manis jika sudah bertemu dengan 'dia' begitu juga sebaliknya.
Bisa dilihat, sekarang justru wajahnya tenggelam di perpotongan leher pria berkulit putih pucat itu karena perbedaan tinggi badan yang sangat kontras.
Berbeda dengan gadis mungil itu, diam-diam dia tersenyum miris melihat pemandangan dihadapannya, ternyata ada yang lebih dekat dengan Gibran selain dirinya. Perasaannya menjadi badmood seketika.
"dunia berasa milik berdua ya, yang lain hanya menumpang, " Sindir John.
Mendengar ucapan dari si bungsu Pradipta lantas membuat mereka melepaskan pelukannya, lalu menundukkan kepalanya karena tersipu malu--ah lebih tepatnya hanya dia, sedangkan pria berkulit putih pucat itu hanya bersikap biasa saja.
"Mah, dia siapa? " Tanyanya ketika netra hazelnya menangkap siluet yang tak dikenalnya.
"sepupunya John dari Bogor, " Sahut Mamah Maria sambil tersenyum tipis.
"wah benarkah? Kenapa aku baru tahu kalau kau punya sepupu secantik ini John? " Tanyanya antusias.
"Kak Laurentnya saja tak ada disini, jadi wajarlah kalau kau baru mengetahuinya, " Jawab John.
"kalau masalah cantik sih memang benar, kakak jangan iri ya, " Lanjutnya sambil merangkul gadis mungil itu dengan mesra.
"namaku Laurent Angeline, kau bisa memanggilku kakak, " Ujar Laurent sambil tersenyum ramah dan mengulurkan tangan kanannya sebagai tanda ingin berkenalan.
"Anna, " Sahut gadis mungil itu singkat sambil menjabat tangannya sekilas tak lupa membalas senyumannya meskipun terkesan terpaksa.
"Mah, aku kekamar dulu ya, " Lanjutnya.
"loh kenapa terburu-buru begitu? Disini saja dulu, ngobrol bareng kita, " Ujar Laurent sambil tersenyum.
"iya agar kau cepat akrab dengan Laurent, " Timpal Gibran dengan gummy smilenya.
"maaf banget kak, aku tidak bisa karena ada tugas yang belum selesai, " Jelas Anna beralibi.
"yasudah sayang, selesaikan saja dulu, " Ujar mamah Maria sambil mengusap kepalanya dengan sayang.
"iya mah, " Jawab Anna singkat sambil tersenyum tipis.
Setelah berpamitan, gadis mungil itu segera beranjak ke kamarnya dengan sedikit berlari kecil menghiraukan tatapan penuh tanya dari Pradipta bersaudara.
"dia kenapa ? " Tanya pria berkulit putih pucat itu, entah kepada siapa.
"entahlah, aku pun tidak mengetahuinya, " John tiba-tiba menyahutnya.
Anna's Bed room
Sesampainya dikamar gadis mungil itu segera menutup pintu juga tak lupa menguncinya, setelah itu dia melepas seragamnya digantikan dengan kaos oblong berukuran oversize.
Anna duduk termenung disofa, pikirannya tiba-tiba terarah tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Yup, dia terpaksa membohongi mereka karena moodnya berantakan dalam sekejap.
Dia masih tak menyangka yang baru saja dilihatnya bukan sebuah halusinasi, pria berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia sejak kedatangan Angel, yang tak diketahui statusnya didalam keluarga ini.
Bukannya dia tak menyukai keberadaan gadis itu, hanya saja dia tak ingin pria berkulit putih pucat itu kembali bersikap dingin kepada dirinya.
Malam harinya perut gadis mungil itu keroncongan akibat terlalu banyak pikiran yang menurutnya sangat sepele, dia merutuki ulahnya sendiri.
Tak mau ambil pusing, dia segera beranjak ke dapur hendak mencari sesuatu yang bisa dimakan, namun langkahnya terhenti ketika mendengar percakapan antara Gibran dan Laurent.
"Gib, sebenarnya selama aku tinggal di Paris, aku tidak bisa melupakanmu, karena bagaimanapun juga kau adalah cinta pertama ku, " Tutur Laurent lembut.
Deg!
mendengar ucapan itu hatinya terasa begitu perih seperti ada yang menghujam dengan beribu pisau, ingin melanjutkan langkahnya pun gadis mungil itu terlihat tak sanggup karena kakinya tiba-tiba lemas begitu saja.
Dia diam berdiri sambil memperhatikan keduanya dengan jarak yang cukup dekat, maniknya sudah berkaca-kaca namun dia menggigit bibirnya berusaha untuk tak menangis.
"Aku ingin selalu bersamamu. Bisakah kita menjadi sepasang kekasih yang seutuhnya dan tidak memendam satu sama lain? Aku sangat mencintaimu Gib, aku ingin kau hanya menjadi milikku, " Lanjutnya.
Kemudian dia memeluk pria berkulit putih pucat itu dengan erat seakan takut kehilangan, sia-sia sudah pertahanannya luntur ketika mendengar ucapan yang selanjutnya keluar dari bibir Laurent, apalagi melihat pria berkulit putih pucat itu membalas pelukannya.
Hiks..
Satu isakan lolos dari bibirnya, gadis mungil itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, dia menggelengkan kepalanya dengan kuat merasa tak percaya dengan semua yang sudah terjadi, hatinya merasa hancur berkeping-keping.
Sedangkan Gibran melepaskan pelukannya dengan spontan karena terkejut mendengar isakan dari orang yang sangat disayanginya, rasa keterjutannya semakin bertambah dua kali lipat ketika mendapatkan gadis mungil itu wajahnya sudah berantakan akibat air mata yang mengalir di pipinya.
Dia hendak menarik Anna kedalam pelukannya, namun terlambat gadis mungil itu justru berlari kearah kamarnya.
Tak tinggal diam, pria berkulit putih pucat itu segera mengejarnya meninggalkan Laurent yang tak peduli statusnya pernah menjadi cinta pertamanya, karena kini hatinya sudah dipenuhi oleh sepupu adiknya.
Masih dalam rangka kejar-kejaran
Karena larinya dalam keadaan menunduk gadis mungil itu tak sengaja menabrak seseorang, dia segera mendongakkan kepalanya ternyata John.
Namun dia tak peduli, dia lebih memilih kembali berlari namun tak berhasil karena pria berlesung pipit itu mencekal lengannya.
"Na, kenapa kau menangis? Siapa yang sudah berani melukaimu?" Tanya John posesif.
"maaf bang aku tak bisa menceritakannya sekarang, dan tolong lepaskan tanganku, " Sahut Anna sambil menundukkan kepalanya.
Beruntunglah John mempunyai tingkat IQ diatas rata-rata, jadi dia sangat memahami perasaan sepupu sekaligus pujaan hatinya ya walaupun cintanya sebelah pihak, mungkin?
Setelah John melepaskan cekalannya, gadis mungil itu hendak berlari namun kembali tertahan karena mendengar interupsi dari suara yang sangat familiar di indera pendengarannya.
"Anna, kau sudah salah faham, aku bisa menjelaskannya, " Ujar Gibran lemah.
"apa yang perlu kau jelaskan kepadaku bang? Memangnya aku siapanya kamu? Kalau kau memang mencintainya, maka berbahagialah dengannya, lagi pula itu tak masalah bagiku, " Cecar Anna dengan memunggungi Gibran.
"kalau tidak masalah bagimu, lalu kenapa kau menangis? apa kau tahu hatiku sangat perih ketika melihat air matamu terjatuh? " Tanya pria berkulit putih pucat itu dengan nada rendah.
"itu bukan urusanmu, dan terimakasih sudah mempedulikanku, " Sahut Anna dingin.
Setelah itu Anna kembali berlari segera masuk kedalam kamarnya dengan bantingan cukup keras lalu menguncinya rapat-rapat. Sedangkan pria berkulit putih pucat itu hendak melangkah kearah kamar sang doi, namun John menahannya dengan nasehat.
"Bang sebaiknya jangan sekarang, biarkan dia sendiri dulu, dia butuh waktu, " Ujar John.
"tapi John, jika tak sekarang, aku khawatir kesalah fahaman ini akan berlarut, " Sahut Gibran cemas.
"Aku yakin semuanya akan baik-baik saja bang, mungkin dia hanya shok, " Ucap John.
"sepertinya cintaku memang bertepuk sebelah tangan, apa aku harus merelakan Anna dengan bang Gibran? " Lanjutnya dalam hati sambil tersenyum miris.
"semoga ucapanmu benar, " gumam Gibran.
"yasudah bang, kalau begitu aku kekamar dulu, " pamit John.
Awalnya pria berlesung pipit itu ingin mengambil air minum karena tenggorokannya terasa kering, namun akibat menyaksikan drama melon kolis tiba-tiba moodnya hancur.
John udah kaya anak perawan aja :v